Negara Absen Akui Inisiatif Rakyat

Thursday, March 24, 2011

 Gambar: Hukum Online.com


Negara tak pernah hadir terhadap inisiatif rakyat menangani dampak perubahan iklim. Padahal, upaya masyarakat itu terbukti membantu mereka mengatasi kemerosotan ekonomi akibat perubahan iklim.

“Tanpa kehadiran negara, dampak krisis perubahan iklim akan membuat hidup rakyat makin sulit,” ujar Basuki Rahmat, Program Officer pesisir dan pulau-pulau kecil Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati), dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF) di Jakarta, Rabu (23/3).

Dia mencontohkan, inisiatif nelayan dan masyarakat pesisir Indramayu. Merasakan sulitnya mencari tangkapan ikan dan hasil laut lain akibat perubahan iklim, mereka berinisiatif membuat hutan pesisir (mangrove-red) secara swadaya.

Hasil penanaman tumbuhan di mangrove menimbulkan tanah timbul, yang menurut peraturan perundang-undangan menjadi tanah negara. Maksud untuk menjaga kelestarian mangrove yang mereka kelola, lanjut Basuki, rakyat berharap tanah tersebut ditetapkan Pemerintah Daerah Indramayu untuk tidak diubah atau alih fungsi. Tapi, menjadi lahan yang dikelola rakyat setempat.

“Tapi, permintaan tersebut sampai kini tak diamini Pemda Indramayu,” sebut Basuki.

Mengacu UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pada Pasal 28 ayat (2), untuk kepentingan konservasi, sebagian wilayah pesisir maupun pulau kecil dapat ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Kawasan ini ditetapkan menteri serta dikelola pemerintah dan pemerintah daerah.

Peran masyarakat dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 33, yaitu rehabilitasi dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau setiap orang yang secara langsung dan tidak langsung memperoleh manfaat dari wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Basuki menduga keengganan negara mengakui inisiatif rakyat karena ada kepentingan politik jangka panjang. Menurutnya, jika inisiatif tersebut diamini, maka akan ada dampak dari kebijakan itu pada waktu mendatang.

Abdul Halim dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menilai negara juga kerap mengulang kebijakan pembangunan lama. Dia mencontohkan pembahasan rancangan tata ruang dan wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010-2030.

Halim sampaikan, dalam dokumen pembahasan yang didapat, Pemerintah DKI Jakarta masih menyertakan rencana reklamasi Pantai Utara Jakarta. Padahal Keputusan Mahkamah Agung No 109 K/TUN/2006 menguatkan Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup No 14 Tahun 2003 yang menyatakan reklamasi Pantura tidak layak. Serta tetap melakukan pengkaplingan wilayah pesisir.

Pendapat Halim segendang seirama dengan pengalaman Habibah dan Gobang, warga pesisir Jakarta. Keduanya menceritakan, akibat perubahan iklim dan model pembangunan dengan cara lama yang diterapkan pemerintah setempat, berdampak buruk pada ekonomi warga.

Kedua warga Marunda Kepu itu menguraikan, terhitung sejak 2000, pendapatan warga setempat mengalami penurunan drastis. Jika sebelum kurun waktu itu, mereka melaut mulai 19.00-22.00 WIB, jaring tancap (silo) yang dimiliki dapat mengangkut hasil laut melimpah dan membawa uang sekira Rp100.000-Rp200.000 per hari, tetapi sekarang berubah.

Untuk mendapatkan Rp50.000 sehari sudah sangat sulit. “Membawa pulang Rp10 ribu saja sudah beruntung,” ujar Gobang. Habibah menimpali, uang tersebut setara dengan ongkos anak ke sekolah, karena itu sebagai ibu rumah tangga, dia harus banting tulang mendapatkan tambahan rejeki.

“Ada yang mencari rongsokan, buruh cuci dan seterika, atau jual ikan yang didapat sampai jauh dari rumah,” keluhnya. Karena itu dia mendesak, pemerintah menunjukkan keberpihakan pada masyarakat pesisir dengan produk kebijakan yang terasa dampaknya.

Penulis : Inu
Sumber: Hukum Online