Krisis Konstitusionalitas

Monday, March 28, 2011

 Ilustrasi: google.com

Pada mulanya adalah rakyat, bukan pemerintah, juga bukan negara, begitu tesis Thomas Paine tentang konstitusi.

Rakyat mengesampingkan sekat-sekat primordial mereka untuk berbangsa. Hasrat luhur itu tertuang dalam piagam kesepakatan rakyat untuk membentuk pemerintah yang mengayomi kepentingan bangsa. Konstitusi Indonesia adalah dasar hukum rakyat untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa lain untuk tak dijajah lagi dalam bentuk apa pun. Konstitusi tidak hanya sebagai dokumen tertulis yang dimiliki, tetapi memberi arah ke mana bangsa harus bergerak, membentuk jati diri, dan membentuk masyarakat sipil yang beradab.

Konstitusi demokratis
Konstitusi adalah hukum rakyat, bukan hukum Allah, juga bukan hukum pemerintah. Pemerintah dibentuk dan dikontrol oleh konstitusi. Otoritas pemerintah didelegasikan, bukan direbut, karena dipercaya rakyat. Pemerintah harus menerjemahkan kepercayaan itu dalam kerja profesional dan jujur kepada masyarakat.

Konstitusi bukan hasil kesepakatan rakyat dan pemerintah. Satu-satunya yang disepakati rakyat adalah mengongkosi orang-orang yang mereka pilih mengurus negeri. Pemerintah ada untuk (melayani) rakyat, bukan sebaliknya. Rakyat berhak memantau, menuntut transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan kekuasaan. Kedaulatan di tangan rakyat.

Dalam pembangunan PLTN, pemerintah harus menjelaskan mengapa sumber energi yang lebih murah dan aman dijual ke luar negeri, lalu mengapa kita terpaksa memiliki PLTN yang berisiko sangat tinggi itu. Publik tentu berhak bertanya mengapa sumber energi alternatif yang lain tidak dieksplorasi dengan serius.

Konstitusi tidak untuk melanggengkan kekuasaan, tetapi untuk menjinakkan dorongan liar kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan dapat melahirkan tirani yang akhirnya memfasilitasi kejatuhan penguasa sendiri. Itu sebabnya, elite politik menolak gagasan calon presiden perseorangan hanya dengan alasan normatif, sementara di Aceh itu sudah berlaku. Dalam jangka panjang, pemerintah yang kukuh tidak dari dirinya sendiri, tetapi dari keberpihakannya pada (kepentingan) rakyat. Pemerintah melakukan yang terbaik bagi rakyat. Namun, di Indonesia ada kecenderungan sakralisasi negara. Kekuatan negara bertumpu pada kelemahan rakyat.

Terjaminnya hak
Beberapa anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, terutama Bung Hatta, mengkhawatirkan paham negara integralistik yang digagas Soepomo. Dengan meleburkan rakyat ke dalam negara sebagai totalitas, posisi rakyat menjadi amat lemah. Negara pun cenderung totaliter dan tak mendukung penguatan kontrol masyarakat. Pegawai pemerintah merasa sebagai abdi negara, bukan abdi rakyat. Kendati begitu besar kontribusi pajaknya, swasta tak dipandang sebagai abdi negara. Negara pun lamban membangun infrastruktur bagi perkembangan sektor swasta. Di bidang pendidikan, pemerintah menganaktirikan sekolah swasta dan memajakinya layaknya badan usaha komersial.

Legitimasi demokrasi adalah terjaminnya hak ekonomi, sosial, dan kultural rakyat. Kontrol publik atas pemerintah menguat. Oposisi jadi mitra pencegah penguasa tak mabuk kuasa. Partai bukan kepanjangan tangan penguasa. Penguasa tak bertumpu pada kontrak koalisi. Hingga kini institusi penegak hukum belum mandiri dan pembusukan sistem dipelihara. Alhasil, penegakan hukum jadi maju mundur dan praktik korupsi tetap di atas angin. Indonesia negara yang lemah dari segi produksi dan hanya bagus diposisikan sebagai pasar, sebagai bangsa konsumtif.

Musuh terbesar demokrasi adalah kekerasan. Kekerasan modal menghancurkan ekonomi tradisional dan kerakyatan. Kekerasan massa menghancurkan kebebasan sipil. Atas nama demokrasi, fondasi demokrasi dihancurkan. Rakyat digempur secara ekonomi dan sosial, pemerintah sibuk membela diri dari terpaan isu tak sedap, sibuk dengan politik pencitraan.

Politik kerakyatan meredup. Penyalahgunaan dan manipulasi kekuasaan meluas. Rakyat dikeluarkan dari posisi sebagai faktor penentu kehidupan bernegara. Orientasi koalisi partai adalah kue kekuasaan, bukan mengangkat harkat bangsa jadi mandiri dan terhormat. Kepentingan bangsa direduksi jadi kepentingan partai. Cita-cita konstitusi dikhianati. Soal konstitusionalitas adalah inti bocoran kawat diplomatik. Wibawa pemerintah dibangun di atas ketulusan dan kerja keras menegakkan konstitusi. Pemerintah berwibawa karena para pejabatnya rela menunda menikmati fasilitas negara ketika sebagian besar rakyat masih harus berjuang untuk hidup layak.

Konstitusi adalah payung hukum tertinggi yang menjamin hak-hak asasi rakyat sebagai individu. Konstitusi memberi ruang bagi warga lemah (ekonomi, sosial) untuk bergerak dan bertumbuh sesuai dengan harkatnya. Demi konstitusi, negara wajib melindungi hidup dan harkat warga dari setiap pelanggaran hak asasi.

Pemerintah belum berhasil mendidik rakyat berjiwa demokratis dan menghormati konstitusi. Rakyat dibiarkan bermimpi dan berlaku semaunya di luar koridor hukum dan konstitusi. Di jalan-jalan, kita lihat kekacauan berlalu lintas dibiarkan dan kian parah. Pemerintah menganggap kecil persoalan itu. Padahal, tertib di jalan raya cermin keadaban publik. Hukum jalanan berkuasa di ruang publik. Demokrasi konstitusional menjunjung kesetaraan warga dan membela warga lemah dari kesewenang-wenangan.

Reformasi dan otonomi daerah baru melahirkan birokrat sekelas peraturan daerah. Ribuan perda dinyatakan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, bahkan UUD 1945. Namun, politisi yang wanprestasi dalam ketatanegaraan tidak diapa-apakan.

Negeri kaya dan subur titipan Tuhan ini dirusak oleh birokrasi kita yang lemah. Kesatuan bangsa dirusak oleh birokrat yang lebih berwatak teokrat, miskin karakter kebangsaan.

Oleh: Yonky Karman
Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

(Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Maret 2011)