Konstitusionalisme Bercita Rasa Feodal

Friday, March 25, 2011

 Ilustrasi: blogger.com

Konstitusionalisme feodal membenarkan kesewenang-wenangan penguasa dalam mengelola negara, di samping mengistimewakan satu kelompok manusia dari kelompok manusia lainnya berdasarkan asal-usul, jenis pekerjaan dan kekayaan.

Inilah yang ditolak, sekaligus menjadi dasar lahirnya konstitusionalisme klasik di Barat maupun di Timur. Konstitusionalisme bercita rasa feodal ini mengagungkan individu, dan menempatkan rakyat pada poros kekuasaan.

Kecuali sama dalam menempatkan rakyat pada poros kekuasaan, konstitusionalisme yang dicita-citakan pendiri negara berbeda. Konstitusionalisme pendiri negara ini menghasratkan pemuliaan setiap orang sesuai kodrat alamiahnya sebagai hamba Tuhan, sekaligus mengakui kodrat sosialnya sebagai sesama manusia, warga negara, yang memiliki harkat dan martabat. Tak ayal lagi, hasrat itu merupakan saripati dari -isme bernegara menurut akal budi yang diberi bentuk hukum, bukan kemauan penguasa, dasar konstitusionalisme feodal.


Nilai-nilai

Lantaran selalu curiga terhadap penguasa, konstitusionalisme klasik menyediakan ruang yang amat terbatas terhadap peran negara. Biarkan individu mengurus dirinya sendiri menjadi tesis elementer dalam konstitusionalisme ini. Tesis ini merupakan anak kandung dari tesis elementer lainnya, yakni ikut aktifnya negara dalam urusan-urusan individu akan mematikan kebebasan individu. Konstitusionalisme jenis ini mengasumsikan penguasa selalu tak lepas dari kecenderungan korup.

Akibatnya, peran negara menjadi minimalis, sebatas penciptaan tatanan bernegara yang memiliki kekuatan untuk memungkinkan setiap individu mengusahakan sendiri kesejahteraannya secara bebas. Peran ini diangap ideal. Wujudnya berupa penegakan hukum selurus-lurusnya. Itulah tugas utama negara. Urusan selebihnya terserah pada individu.

Dalam perkembangannya, terutama pada pertengahan abad ke-20, tak sedikit negara yang memilih aktif mengurus rakyat. Kebebasan berkontrak, sebuah doktrin yang bertumpu pada kebebasan individu, yang begitu diagungkan sampai mendekati pertengahan abad ke-20 di Amerika, harus ditinggalkan. Perkaranya bukan sekadar mempercepat pemulihan krisis ekonomi besar di tahun 1930-an, tetapi karena doktrin itu diyakini membahayakan eksistensi individu ketika berhadapan dengan korporasi besar.

Para pendiri negara ini jelas menolak cara pandang konstitusionalisme klasik. Negara yang akan kita buat ini, demikian menurut Bung Karno, tidak untuk satu orang, tidak untuk satu golongan, melainkan untuk kita semua.

Negara yang akan kita buat ini harus negara pengurus, demikian sepenggal kata Bung Hatta yang disampaikan dalam sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945.

Maknanya jelas: negara dilarang membiarkan segolongan orang mengisap segolongan orang lain. Tetapi karena negara dibuat untuk memanusiakan setiap warga negara, maka negara harus memberi perhatian lebih dalam mengurus mereka yang papa. Hanya dengan cara itu martabat mereka yang papa terperbaiki, sekaligus terpenuhi pulalah esensi dibentuknya negara.

Negara dalam makna cita-cita para pendiri negara, jelas tak memberi ruang bagi para penyelenggaranya ugal-ugalan menggunakan hukum. Mereka, saya pastikan tak sudi melihat hukum yang pembentukan dan penegakannya berdasar perhitungan untung-rugi kelompok sini atau kelompok sana. Mereka, para pendiri negara, seolah tak terima tesis Alexis De Tocqueville (1994:262)): “tyranny may be exercised by means of the law itself, and in the case it is not arbitrary.”


Bermutu Rendah

Selain menghendaki negara pengurus, Bung Hatta dalam rapat pada tanggal 15 Juli 1945 juga menghendaki agar ada pasal yang mengatur jaminan kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat bagi setiap warga negara. Bung Hatta jelas tak sudi melihat negara ini kelak berubah dari negara pengurus menjadi negara pengisap. Sungguh Bung Hatta khawatir terhadap kemungkinan penguasa menyalahgunakan kekuasaan. Boleh jadi bukan DPR yang diharapkan Bung Hatta mengawasi pemerintah, melainkan rakyat.

Nurani konstitusionalisme macam apakah yang mesti digunakan untuk memahami dua kenyataan; Jamkesmas di satu sisi, dan rencana penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional? Negara sudah menanggung langsung biaya kesehatan masyarakat tak mampu di satu sisi, tetapi UU SJSN hendak menggesernya menjadi asuransi di sisi lain. Mutu konstitusionalisme macam apakah yang mesti dimiliki untuk bisa memahami pergeseran terminologi warga negara menjadi pekerja dan peserta?

Bukankah terminologi ini–pekerja dan peserta–merupakan jalan hukum menuju asuransi? Bukankah premi-premian bermakna setiap orang mengurus dirinya sendiri. Korporasi sekadar instrumen penampung uang setiap orang yang menjadi “peserta asuransi” sebelum akhirnya, sesuai hukum, memenuhi kewajibannya memberikan pelayanan, atau manfaat lainnya, sekali lagi, menurut hukum asuransi? Sungguh konstitusionalisme ini bercita rasa feodal.

Nurani keadilan macam apakah yang mesti dimiliki untuk bisa memahami hukuman penjara 7 bulan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Bojonegoro kepada Nyamidin, hanya karena ia mencuri sembilan ekor kelinci seharga Rp 56.000? Nurani macam apa pula yang harus dimiliki untuk bisa memahami hukuman penjara 3,5 bulan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Bojonegoro kepada suami-istri, Supriyono dan Sulastri, hanya karena mereka mencuri setandan pisang? Kepada siapa lagi warga negara harus menyandarkan mimpinya memperoleh keadilan menurut nurani konstitusionalisme para pendiri negara?

“Aku tak mampu lagi menerima derita ini”, begitulah sebait lagu grup musik D’Loyd, mungkin tak akan digunakan oleh warga negara untuk menggambarkan suasana hati mereka. Akan tetapi, hidup di tengah konstitusionalisme seperti ini sungguh merupakan derita tersendiri. Apa mau dikata, beginilah postur konstitusionalisme kita; konstitusionalisme bercita rasa feodal.
***
Oleh: Margarito Kamis 
Doktor Hukum Tata Negara, staf pengajar di FH Universitas Khairun Ternate.
(Sumber: Sinar Harapan, 23 Maret 2011)