Hukuman Mati Di Kamboja dan Singapura

Wednesday, March 16, 2011

 Ilustrasi: google.com

Fokus Penghapusan Hukuman Mati (Bagian III)

Kamboja merupakan negara yang telah menghapus hukuman mati untuk segala macam bentuk kejahatan. Kamboja telah menghapus hukuman mati untuk segala macam bentuk kejahatan sejak 1989[1]. Sikap Kamboja dalam menghapus hukuman mati ini ditegaskan dalam Undang-undang Dasarnya, yaitu dalam pasal 32 Undang-undang Dasar Kerajaan Kamboja 1993 (The 1993 Constitution of the Kingdom of Cambodia), yang menyatakan: “All people have the right to life, freedom and personal security. There shall be no capital punishment.[2].

Di Singapura, hukuman mati mulai diberlakukan sejak Singapura masih berada di bawah kekuasaan Inggris dan tetap diberlakukan dalam sistem hukum Singapura ketika Singapura merdeka pada tahun 1965. Hukuman mati diancamkan terhadap tindak pidana pembunuhan dan kejahatan narkotika. Dalam hukum Singapura terdapat ketentuan yang mengancamkan hukuman mati terhadap seseorang di atas 18 tahun yang dinyatakan bersalah atas keterlibatannya dalam perdagangan heroin di atas 15 gram, morfin di atas 30 gram, kokain di atas 30 gram atau ganja di atas 500 gram. Kejahatan yang juga diancam hukuman mati di Singapura, yaitu pengkhianatan terhadap negara, kejahatan terhadap Presiden, kepemilikan senjata illegal, penculikan dan menyebabkan seseorang yang tidak bersalah menjadi dihukum karena kesaksian palsu. Tetapi dalam hukum Singapura itu sendiri terdapat pembatasan untuk dilakukannya hukuman mati, yaitu hukuman mati tidak dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang sedang hamil dan seorang anak yang berusia di bawah 18 tahun[3].
Pada tahun 1995, tercatat 34 putusan hukuman mati dijatuhkan dan lebih dari 50 terpidana mati di eksekusi. Pada tahun berikutnya, 1996, tercatat 19 putusan hukuman mati dijatuhkan dan 38 terpidana mati di eksekusi. Sejak tahun 1991, lebih dari 420 terpidana mati di eksekusi di Singapura. Mayoritas dari terpidana mati tersebut adalah terpidana dengan tuduhan perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang[4].
Singapura merupakan salah satu negara yang bersikukuh mempertahankan hukuman mati dalam beberapa diskusi di lembaga-lembaga internasional. Dalam Konferensi Diplomatik 1998 yang membahas mengenai Statuta Roma, Singapura memprotes penghapusan hukuman mati. Dalam argumennya Singapura menyatakan: “Bentuk hukuman pasti akan berhubungan dengan tingkat kejahatan… Kita tidak boleh mempermainkan hak hidup dari seorang terpidana, sebaliknya, hak untuk melindungi korban juga tidak dapat dikesampingkan.[5].


[1]Abolitionist for all crimes”, From Amnesty International, op cit, Last updated: 27 September 2005.
[2]Constitutional prohibitions of the death penalty”, From Amnesty International, London-United Kingdom, http://web.amnesty.org/library/Index/ENGACT500092005, Last update: 5 April 2005.
[3]Singapore, The death penalty: A hidden toll of executions”, From Amnesty International, London-United Kingdom, http://web.amnesty.org/library/Index/ENGASA360012004?open&of=ENG-SGP, Last update: 15 January 2004.
[4]Death Penalty News January 2006, Singapore Execution for Drug Trafficking”, From Amnesty International, London-United Kingdom, http://web.amnesty.org/library/Index/ENGACT530012006?open&of=ENG-SGP, Last update: 1 January 2006.
[5] Hans Goran Franck, “The Barbaric Punisment; Abolishing the Death Penalty”, Martinus Nijhoff Publishers, Great Britain, 2003, hal. 120.

(Tim JLC)