Ilustrasi: google.com
Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia (Bagian I)
I. Pengertian Hukum Pidana Adat Di Indonesia
Pada dasarnya, sumber hukum terdiri sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Zevenbergen menyebutkan sumber hukum merupakan sumber terjadinya hukum yang secara konvensional dapat dibagi menjadi sumber hukum materiil dan sumber hukum formal. Utrecht menyebutkan sumber hukum materiil yaitu perasaan hukum (keyakinan hukum) individu dan pendapat umum (public opinion) yang menjadi determinan materiil membentuk hukum, menentukan isi hukum sedangkan sumber hukum formal yaitu menjadi determinan formil membentuk hukum dan menentukan berlakunya hukum yang terdiri dari Undang-Undang, Kebiasaan dan Adat yang dipertahankan dalam keputusan dari yang berkuasa dalam masyarakat, traktat, yurisprudensi dan pendapat ahli hukum yang terkenal (doktrina). Polarisasi pemikiran doktrina di atas, hampir identik dengan rumusan ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) Ketetapan MPR-RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang menentukan sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan dimana disebutkan sumber hukum tersebut terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis.
Begitu pula halnya dengan sumber hukum pidana Indonesia. Apabila dijabarkan lebih intens maka sumber hukum pidana Indonesia dapat terdiri atas hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis. Apabila dijabarkan, sumber hukum pidana tertulis sumber utamanya bertitik tolak kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie (WvSNI) yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Akan tetapi, sebelum tanggal 1 Januari 1918 di Hindia Belanda berlaku 2 (dua) WvS yaitu WvS yang berlaku untuk golongan Eropa (K.B 1866 Nomor 55) dan WvS untuk orang Bumiputera atau yang dipersamakan berdasarkan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872. Konsekuensi logis dimensi konteks di atas, dapat dijabarkan bahwa pada kurun waktu itu secara formal hukum pidana adat tidak diperlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, akan tetapi secara materiil tetap diterapkan dan berlaku dalam praktik peradilan.
Terminologi hukum pidana adat, delik adat atau hukum adat pidana cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum adat yang terdiri dari hukum pidana adat dan hukum perdata adat. Terminologi hukum adat dikaji dari perspektif asas, norma, teoretis dan praktik dikenal dengan istilah, “hukum yang hidup dalam masyarakat”, “living law”, “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, “hukum tidak tertulis”, “hukum kebiasaan”, dan lain sebagainya.
Apabila dikaji dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat juga bersumber baik sumber tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tertulis dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat bersangkutan. Kemudian sumber tidak tertulis dari hukum pidana adat adalah semua peraturan yang dituliskan seperti di atas daun lontar, kulit atau bahan lainnya.
I Made Widnyana menyebutkan di Bali sumber tertulis dari hukum pidana adat dapat ditemukan pada beberapa sumber seperti:
Pertama, Manawa Dharmasastra (Manu Dharmacastra) atau Weda Smrti (Compendium Hukum Hindu). Kedua, Kitab Catur Agama yaitu Kitab Agama, Kitab Adi Agama, Kitab Purwa Agama, Kitab Kutara Agama. Ketiga, Awig-Awig (Desa Adat, Banjar) adalah aturan-aturann atau keinginan-keinginan masyarakat hukum adat setempat yang dibuat dan disahkan melalui suatu musyawarah dan dituliskan di atas daun lontar atau kertas. Di dalam awig-awig ini dimuat/diatur larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh warga masyarakat yang bersangkutan atau kewajiban-kewajiban yang harus diikuti oleh masyarakat tersebut, yang apabila dilanggar mengakibatkan dikenakannya sanksi oleh masyarakat melalui pimpinan adatnya.
Terhadap pengertian hukum pidana adat ditemukan dalam beberapa pandangan doktrina. Ter Haar BZN berasumsi bahwa yang dianggap suatu pelanggaran (delict) ialah setiap gangguan segi satu (eenzijding) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barang-barang kehidupan materiil dan imateriil orang seorang atau dari orang-orang banyak yang merupakan suatu kesatuan (gerombolan). Tindakan sedemikian itu menimbulkan suatu reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat (adat reactie), karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali (kebanyakan dengan jalan pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang). Konklusi dasar dari pendapat Ter Haar BZN menurut Nyoman Serikat Putra Jaya disebutkan bahwa untuk dapat disebut tindak pidana adat, perbuatan itu harus mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat. Kegoncangan itu tidak hanya terdapat apabila peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar, tetapi juga apabila norma-norma kesusilaan, keagamaan, dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar. Van Vollenhoven menyebutkan delik adat sebagai perbuatan yang tidak diperbolehkan. Hilman Hadikusuma menyebutkan hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (living law) dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan perundang-undangan. Andaikata diadakan juga undang-undang yang menghapuskannya, akan percuma juga. Malahan, hukum pidana perundang-undangan akan kehilangan sumber kekayaannya oleh karena hukum pidana adat itu lebih erat hubungannya dengan antropologi dan sosiologi dari pada perundang-undangan. I Made Widnyana menyebutkan hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (the living law), diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat, oleh sebab itu, bagi si pelanggar diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi adat oleh masyarakat melalui pengurus adatnya.
Konklusi dasar dari apa yang telah diterangkan konteks di atas dapat disebutkan bahwa hukum pidana adat adalah perbuatan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya gangguan ketentraman dan keseimbangan masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu, untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut terjadi reaksi-reaksi adat sebagai bentuk wujud mengembalikan ketentraman magis yang terganggu dengan maksud sebagai bentuk meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial akibat suatu pelanggaran adat.
Pararel dengan konteks di atas I Made Widnyana menyebutkan ada 5 (lima) sifat hukum pidana adat. Pertama, menyeluruh dan menyatukan karena dijiwai oleh sifat kosmis yang saling berhubungan sehingga hukum pidana adat tidak membedakan pelanggaran yang bersifat pidana dan perdata. Kedua, ketentuan yang terbuka karena didasarkan atas ketidakmampuan meramal apa yang akan terjadi sehingga tidak bersifat pasti sehingga ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau pebuatan yang mungkin terjadi. Ketiga, membeda-bedakan permasalahan dimana bila terjadi peristiwa pelanggaran yang dilihat bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya tetapi dilihat apa yang menjadi latar belakang dan siapa pelakunya. Oleh karena itu, dengan alam pikiran demikian maka dalam mencari penyelesaian dalam suatu peristiwa menjadi berbeda-beda. Keempat, peradilan dengan permintaan dimana menyelesaikan pelanggaran adat sebagian besar berdasarkan adanya permintaan atau pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil. Kelima, tindakan reaksi atau koreksi tidak hanya dapat dikenakan pada si pelaku tetapi dapat juga dikenakan pada kerabatnya atau keluarganya bahkan mungkin juga dibebankan kepada masyarakat bersangkutan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu.
______________________________________
Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang dan Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis Buku Ilmu Hukum dan Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Email: lilikmulyadi@yahoo.com