REPUBLIK VS KERATON (Pro Kontra Keistimewaan Yogyakarta)

Friday, December 24, 2010

KOMPILASI TELISIK MEDIA INDONESIA

I. Bagian Pertama

Pro dan Kontra RUU DIY
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta menimbulkan masalah setelah adanya perubahan (amandemen) UUD 1945. Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan pasca reformasi, kehilangan daya responsifnya terhadap realitas sosial politik baik di tingkat lokal maupun nasional.

Dalam orasi budayanya berjudul "Mengabdi Untuk Pertiwi" pada 7 April 2007, Sri Sultan Hamengku Buwono X, menegaskan bahwa dirinya tidak bersedia dicalonkan kembali menjadi Gubernur Yogyakarta. Pro dan kontra di sekitar pernyataan itu mengundang rekasi dan interpretasi. Sebagian masyarakat kampus dan terpelajar lainnya memaknai sikap Sri Sultan sebagai bukti keberpihakan terhadap nilai modernitas dan demokrasi.

Dampaknya penerapan nilai-nilai demokrasi dalam pengisian posisi kepala daerah sesuai UUD 1945 hasil amandemen lebih luas tumbuh dan berkembang. Namun nilai-nilai tradisional yang tidak sesuai sistem hukum dan politik era reformasi semakin termajinalkan. Apalagi pernyataan Sri Sultan menjadi titah atau hukum yang mengikat masyarakat Yogyakarta.

Di lain sisi, pakar hukum, aparat pemerintah dan sebagian masyarakat dengan pendekatan normatif menanggapi pernyataan Sri Sultan dalam posisi yang berbeda. Esensi UU No.3 Tahun 1950 yang menegaskan Sri Sultan sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai Wakil Gubernur dimaknai mutlak. Tapi hal itu bertentangan dengan prinsip kedaulatan di tangan rakyat (Solus Populi Suprima Lex). Untuk memahami substansi UUD 1945, tidak dapat dilakukan melalui penafsiran yang parsial, tetapi harus integratif dalam satu kesatuan nafas atau spirit dari bangunan kosntitusi itu sendiri.

Sebagian politisi di daerah dan pusat memaknai pernyataan dan sikap Sri Sultan HB X sebagai manuver politik. Mereka menafsirkannya sebagai upaya terselubung mencari legitimasi politik. Ada pula yang menafsirkan karena adanya peluang kepemimpinan nasional di Jakarta yang ditawarkan elit-elit partai politik.Tudingan di atas lebih bernuansa rumor politik dan bukan fakta ini ditolak berulang kali oleh Sri Sultan HB X.

Meskipun ketiga pandangan sah-sah saja dalam kehidupan berdemokrasi, pernyataan tulus dan ikhlas Sri Sultan untuk melepaskan model dualisme kepemimpinan di DIY sepatutnya kita hargai dan hormati.

Keistimewaan Yogyakarta 
Pelestarian keistimewaan tidak saja menjadi keniscayaan sejarah dan konstitusi, melainkan merupakan fakta politis yang tak mudah dihapuskan oleh kondisi zaman yang berubah.

Yogyakarta dalam perjanjian Gianti 1755 sebagai negara berdaulat dengan wilayah teritorial dan penduduk yang jelas. Status tersebut diperkuat oleh dokumen sejarah dalam Kontrak Politik antara Sultan HB IX dengan Adam Lucean 1940 dan perjanjian pemerintahan Dai Nippon Jepang tahun 1942.

Asal usul Keistimewaan Yogyakarta tercatat dalam tiga dokumen tersebut antara lain dapat dirunut dari pengakuan gelar keagamaan bagi Sri Sultan Hamengku Buwono Ingalogo Khalifatullah Sayyidin Panotogomo.

Keberadaan keistimewaan Yogyakarta terus terpatri kuat setelah Indonesia merdeka. Sikap tersebut dikukuhkan oleh Surat Presiden RI pertama yang meneguhkan kedudukan Sri Sultan HB IX, sebagai Gubernur dan Sri Paduka Paku Alam sebagai Wakil Gubernur.
Keistimewaan juga dibuktikan melalui fungsi kesultanan sebagai pemelihara (Hamangku), pemersatu (Hamengku), pelindung atau pengayom (Hamengkoni) dalam menyelamatkan NKRI dari ancaman agresi Belanda 1946 hingga 1949.

Secara sosio-politik dokumen yang mengakui keberadaan Yogyakarta sebagai daerah Istimewa ditandai adanya dualisme kepemimpinan di Yogyakarta. Di satu pihak, pemberlakuan sistem hukum adat sejak dulu sampai sekarang masih berlaku efektif. Partisipasi publik belum dapat dioptimalkan dalam membuat kebijakan pemerintahan.

Jaminan keistimewaan secara berkesinambungan diatur dalam berbagai peraturan perundangan secara konsisten, baik Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Mulai dari Pengaturan Keistimewaan pada UU No.22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.1 Tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 18 tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 5 tahun 1974 , UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Keistimewaan DIY hanya satu-satunya dalam NKRI tidak saja merupakan keniscayaan sejarah dan konstitusi melainkan fakta sosiologis yang sampai sekarang didukung khususnya masyarakat Yogyakarta dan umumnya masyarakat Indonesia.
***
II. Bagian Kedua

Dualisme Kepemimpinan di DIY  
Setelah melalui kajian kritis terhadap keberadaan UU Nomor 3 Tahun 1950 ditemukan tiga persoalan utama yang dikaji dari parameter UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak memenuhi persyaratan.

Undang-undang ini yang semula dipandang sebagai instrumen hukum yang legimit, justru pada masa pemerintahan era reformasi mulai menimbulkan persoalan yang tidak mudah diperoleh solusinya.

Dualisme kepemimpinan yang sesungguhnya tidak dikehendaki dalam alam demokrasi. Tugas dan kewenangan pemerintahan yang mengatur urusan publik, seperti sistem politik dan birokrasi pemerintahan, penegakan hukum, keuangan dan moneter, sistem pertahanan dan keamanan adalah urusan publik yang tidak kebal dari pengawasan institusi demokrasi yang rasional.

Sehingga monarki konstitusional, sebagaimana terlihat dalam kepemimpinan Dwi-Tunggal, Sri Sultan HB X sebagai Gubernur dan Paku Alam IX sebagai Wakil Gubernur selama ini telah berlangsung dipandang kurang relevan untuk dipertahankan. Pengisian kepala daerah tanpa proses pemilihan secara demokratis, jabatan seumur hidup, tidak tersedianya partisipasi publik, lebih memperlihatkan tata cara kekuasaan politik yang tradisional dan feodalistik.

Karena itulah sikap tegas Sri Sultan yang tidak bersedia menduduki jabatan publik dapat menepis pelestarian nilai-nilai feodal dalam sistem pemerintahan modern di Yogyakarta. Padahal Yogyakarta sejak revolusi hingga reformasi telah menjadi barometer perubahan dalam birokrasi modern yang rasional dan berdaya guna.

Namun, eksistensi Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman tetap merupakan Dwi-Tunggal dalam kepemimpinan moral, budaya dan kearifan lokal bagi masyarakat Yogyakarta. Selain itu prinsip-prinsip pemerintah yang baik dan bersih ditandai oleh parameter rasional, transparan, akuntabel yang tidak kebal dari pengawasan publik baik fungsi kontrol dari lembaga legislatif maupun dari masyarakat secara langsung.

Dalam perspektif inilah keberadaan institusi Kesultanan dan Puro Pakualaman seyogyanya harus dipisahkan dari birokrasi pemerintahan modern agar nilai keluhuran dan kewibawaannya di hadapan masyarakat tidak tercemari dan terhindar dari intervensi politik jangka pendek.

Konsekuensinya, Sri Sultan HB X dan Paduka Paku Alam ditempatkan menjadi pemimpin yang menempuh institusi Adat Tertinggi di DIY dengan hak-hak perogatif.


Kontrak Politik III untuk DIY?
Pengukuhan status Keistimewaan Yogyakarta telah melewati sejarah panjang, yang dimulai dari perjanjian Gianti 1755 hingga UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Selain itu, dasar perumusan status tersebut pun merujuk pada beberapa sumber utama, yaitu Piagam Presiden Soekarno tertanggal 19 Agustus 1945, amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945, amanat 30 Oktober 1945 yang ditandatangani bersama-sama antara Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII, dan Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945.

Namun, ketika saat ini status tersebut kembali diapungkan, perlu dilihat dahulu keberadaan Kasultanan Yogyakarta, apakah sebuah entitas pemerintahan atau entitas budaya?

Jika  ditinjau dari sisi politik, Yogyakarta sebagai sebuah daerah istimewa sebenarnya merupakan sebuah "kontrak politik" dengan pemerintah RI. Melihat sejarahnya, DIY telah 2 kali menandatangani "kontrak" tersebut.

Pertama, kontrak politik yang mengakui adanya Nagari Ngayogyakarto Hadiningrat sebagai sebuah entitas pemerintahan. Kontrak politik kedua ditegaskan dengan Piagam Presiden Soekarno, amanat Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII,  serta amanat 30 Oktober 1945 yang ditandatangani bersama-sama antara Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII.

Jika piagam dan kedua amanat tersebut dianggap sebagai sebuah kontrak politik, Yogyakarta hakikatnya merupakan sebuah entitas pemerintahan sebelum RI merdeka. Demi penegakan bangunan unitarisme, entitas pemerintahan di Yogyakarta tersebut menundukkan diri dalam ikatan Negara Kesatuan RI.

Namun, eksistensi Kasultanan Yogyakarta sebagai entitas pemerintahan telah memudar. Hal ini dikarenakan politik perundang-undangan yang entah sengaja atau tidak mengarahkan secara perlahan-lahan Yogyakarta hanya merupakan entitas budaya.

Untuk itu, RI dan Yogyakarta tampaknya perlu meneken "kontrak politik jilid III". Kontrak ini mengatur hak dan kewenangan masing-masing institusi dirumuskan secara bersama-sama. Jika disepakati, hak dan kewenangan ini akan mewarnai substansi UU Keistimewaan Yogyakarta, Hal ini cukup mengingatkan kita pada terbentuknya UU Pemerintahan Aceh setelah kesepakatan damai (MoU) Helsinski.

"Kontrak politik" tersebut diharapkan bisa mengukuhkan legitimasi Yogyakarta sebagai daerah istimewa. Sehingga tak perlu lagi muncul perdebatan yang semata-mata hanya mengungkit-ungkit persoalan hukum soal status semata, tanpa mempertimbangkan kenyataan dan politiko historis yang menyebabkan Yogyakarta menyandang status Daerah Istimewa. 
 ***

III. Bagian Ketiga

Transkip Pengantar Presiden pada Sidang Kabinet Terbatas 26 November 2010
Saudara-saudara,
Hari ini agenda Rapat Kabinet Terbatas adalah untuk mendengarkan laporan dan presentasi dari Menteri Dalam Negeri tentang kemajuan di dalam penyiapan empat rancangan undang-undang.

Pertama adalah RUU tentang perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Ada urgency untuk melakukan revisi atas undang-undang itu dikaitkan dengan dinamika dan perkembangan, baik dalam pembangunan, dalam sisi-sisi pemerintahan di daerah maupun perkembangan demokrasi yang tengah berlangsung di negeri kita ini. Juga mendengarkan masukan serta aspirasi dari berbagai pihak, dari publik, dengan tujuan revisi ini makin efektif pelaksanaan tugas jajaran pemerintah daerah, makin berhasil lagi pelaksanaan otonomi daerah, termasuk desentralisasi fiskal. Dengan demikian, hasilnya adalah pembangunan di negeri kita yang lebih berhasil lagi.

Kemudian kita juga akan mendengarkan nanti Rancangan Undang-Undang tentang keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ini juga penting untuk kita segera proses bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan kehadiran satu undang-undang yang tepat sungguh diperlukan.

Berkali-kali saya menyampaikan posisi dasar pemerintah berkaitan dengan undang-undang tentang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta atau tentang Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pertama-tama pilarnya adalah sistem nasional, yaitu Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia, yang dalam Undang-Undang Dasar kita telah diatur dengan gamblang, termasuk Pasal 18.

Yang kedua, juga harus sungguh dipahami keistimewan Daerah Istimewa Yogyakarta itu sendiri dari bentangan sejarah, dari aspek-aspek lain yang memang harus kita perlakukan secara khusus, sebagaimana pula yang diatur dalam Undang-Undang Dasar kita, harus tampak dalam struktur pemerintahan keistimewaan itu.

Namun yang ketiga, negara kita adalah negara hukum dan negara demokrasi sesungguhnya. Oleh karena itu nilai-nilai demokrasi, democratic values, tidak boleh diabaikan, karena tentu tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan dengan baik konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi. Saya yakin akan bisa kita temukan satu pranata yang tiga-tiganya bisa dihadirkan, sistem nasional atau keutuhan NKRI.

Yang kedua, keistimewan yang harus kita hormati dan kita junjung tinggi di Yogyakarta, dan kemudian implementasi nilai-nilai demokrasi untuk negeri kita yang itu pun sesungguhnya secara implisit juga terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Yang ketiga adalah Rancangan Undang-Undang tentang pemilihan kepala daerah. Setelah diberlakukan sistem pemilihan secara langsung, baik pada tingkat Presiden dan Wakil Presiden maupun pada tingkat Gubernur dan Wakil Gubernur dan juga tingkat Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota, maka bangsa ini belajar dan kemudian muncul sejumlah pemikiran, karena ternyata banyak hal positif yang telah kita raih dari sistem pemilihan langsung ini, direct elections.

Namun dalam implementasinya ada sejumlah ekses. Ekses ini setelah kita evaluasi, kalau tidak bisa kita carikan formula apa yang ingin kita capai sistem pemerintahan yang efektif, kemudian juga pemilihan itu sendiri yang kredibel, yang tepat, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di negeri kita maupun nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah mendengar sejumlah pemikiran, baik dari lembaga-lembaga pemikiran, dari masyarakat luas tentang kemungkinan untuk melihat, apakah harus sama pemilihan pada tingkat Presiden dan Wakil Presiden dengan pemilihan pada tingkat Gubernur dan Wakil Gubernur. Dan kalau kita perluas dengan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, serta pemilihan Walikota dan Wakil Walikota. Ada pemikiran yang tengah kita matangkan sekarang ini, bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan Bupati dan Wakil Bupati dan Walikota, serta Wakil Walikota itu tepat kalau dilaksanakan dengan sistem pemilihan langsung, direct mode elections, seperti itu. Namun ada pemikiran, Gubernur apa harus begitu itu.

Inilah yang sedang kita finalkan. Dengan demikian, harapan kita pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, di mana pemerintah dipimpin oleh Presiden yang saya juga mendapat mandat dari rakyat, dipilih langsung oleh rakyat. Demikian juga DPR dipilih langsung oleh rakyat. Itu bisa mencari dan menemukan format dan aturan yang paling tepat dalam pemilihan kepala daerah ini. Ini juga akan kita dengar nanti progress dan perkembangan apa yang dilakukan oleh Saudara Mendagri dengan jajaran dengan timnya.

Yang terakhir adalah Undang-Undang tentang Desa. Kita harus kembali kepada Undang-Undang Dasar. Kita harus kembali pada hakikat desa itu apa. Kita harus kembali kepada prinsip-prinsip pemerintahan yang efektif dan efisien. Dengan demikian, semua tugas pemerintahan umum dapat dilaksanakan dengan baik, demikian juga tugas pembangunan, tetapi dalam kerangka efisiensi yang mesti kita junjung tinggi di negara kita ini. Oleh karena itu, dengan pikiran yang jernih, tidak emosional, tidak karena muatan-muatan politik tertentu kita telaah secara mendalam seperti apa yang paling tepat Undang-Undang tentang Desa.

Saudara-saudara,
Itu sebagai pengantar dan setelah ini Saudara Menko Polhukam barangkali langsung kita serahkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk mempresentasikan. Catatan saya, sekali lagi, ini adalah penggodokan dari empat RUU itu, digodok, dikembangkan pilihan-pilihannya setelah kita mendengarkan berbagai aspirasi dari masyarakat luas, dari rakyat Indonesia dan juga dari hasil evaluasi yang dilaksanakan secara sistematis. Hasil akhirnya seperti apa, tentu akan ada proses lagi nanti antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan tentu juga akan mendengar pandangan-pandangan dari yang lain. Tujuannya jelas, apa yang dikembangkan oleh pemerintah itu ingin betul pemerintahan ini berjalan dengan efektif, dengan efisiensi yang setinggi-tingginya. Lantas untuk pemilihan ya, kaidah-kaidah dalam pemilihan dalam negara demokrasi bisa dicapai dengan baik dan tidak ada eksesnya.

Kemudian khusus keistimewaan Yogyakarta, kita ingin mencari format yang memadukan tiga kepentingan tadi. Dan kita juga berharap sebetulnya ada komunikasi yang baik antara pemerintah dengan DPR RI dengan parlemen kita, pemerintah dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta maupun komunitas lain yang memiliki kepedulian dan pikiran-pikiran, baik tentang sistem dan tata pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Demikian, Saudara-saudara, pengantar saya. Setelah ini, akan saya berikan kesempatan kepada Mendagri.
 ***

 IV. Bagian Keempat

Transkrip Penjelasan Presiden terkait Polemik Yogyakarta  
  Assalamualaikum, Salam sejahtera untuk kita semua. Saudara-saudara yang saya cintai dan saya banggakan, dengan terlebih dahulu memohon ridho Allah SWT pada siang hari ini ini saya akan menyampaikan penjelasan tentang proses dan substansi RUU tentang Keistimewaan DIY. Penjelasan ini sebagai bagian dari komunikasi saya dengan rakyat Indonesia termasuk saudara-saudara kita yang ada di DIY.

Beberapa hari terakhir ini saya mendengar berbagai pendapat, komentar dan masukan dari masayaarakat luas tentang isu RUUK DIY. Baik yang langsung saya terima melalui sms, ataupun telpon maupun yang saya ikuti dari media massa baik yang datang dari kalangan masayaarakat DIY maupun dari saudara-saudara kita dari berbagai pelosok Tanah Air baik yang masih relevan dan berkait langsung dengan materi dari RUU itu maupun yang saya rasakan sudah memasuki wilayah politik praktis dan sesungguhnya tidak berkait langsung dengan substansi pokok.

Kalau saya teruskan, masukan, komentar, dan rekomendasi itu banyak yang disampaikan secara rasional maupun juga ada yang bernada emosional. Dan baik itu itu yang datang dari berbagai kalangan, katakanlah dari masyarakat luas yang pro atau yang berpandangan sebaiknya posisi gubernur dan wagub itu ditetapkan saja, otomatis ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur, maupun saudara-saudara kita yang berpendapat berbeda, sebaiknya itu dilaksanakan pemilihan secara demokratis. Meskipun sesungguhnya kalau kita bicara Keistimewaan DIY tidak boleh direduksi hanya seputar posisi dan kekuasan Gubernur dan wagub DIY.

Saudara-saudara

Kalau saya ikuti perdebatan atau diskursus yang terjadi baik itu dari kalangan akademisi, pengamat, politisi, dan bahkan juga masyarakat luas, itu menyusul penjelasan saya dalam sidang kabinet bidang polhukukam tanggal 26 November yang lalu.

Sebagai biasanya Saudara tahu dalam sidang kabinet saya selalu berikan pengantar dan diakhir sidang kabinet saya ambil keputusan yang perlu saya ambil. Setelah saya ikuti, Saudara-saudara, apa yang diramaikan baik itu di media massa maupun elektronik , selama ini ada yang memang sesuai dengan apa yang sesuai dengan yang saya sampaikan pada tanggal 26 November itu. Tapi saya rasakan ada pula yang bergeser atau di geser ke sisi lain, bahkan seolah-olah ada konflik pribadi antara saya dan Pak Sultan, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur DIY.

Untuk itu saya pandang perlu untuk sampaikan kembali kepada rakyat Indonesia apa yang sesungguhnya saya sampaikan pada pengantar sidang kabinet saat itu. Pengantar saya sesungguhnya cukup singkat karena RUU sendiri itu masih dalam tahap penggodokan dan pematangan sebelum kita nantinya serahkan ke DPR untuk dibahas bersama. Kata-kata saya waktu itu adalah sebagai berikut:

Kita juga akan mendengarkan nanti RUU tentang keistimewaan DIY. INI juga penting utk kita segera proses bersama DPR dan kehadiran satu UU yang tepat sungguh diperlukan

Berkali-kali saya menyampaikan posisi dasar pemerintah berkaitan dgn UU tg keistimewaan DIY atau tentang Pemda DIY terutama pertama pilarnya adalah sistem nasional yakni NKRI yang dalam UUD telah diatur dengan gamblang termasuk dalam Pasal 18. Yang kedua, juga harus sungguh dipahami keistimewaan DIY itu sendiri berkaitan dengan bentangan sejarah dari aspek-aspek  lain yang memang harus kita perlakukan secara khusus sebagaimana pula yang diatur dalam UUD kita yang harus nampak dalam struktur pemerintahan keistimewaan itu.

Namun, yang ketiga negara kita adalah negara hukum dan negara demokrasi. Oleh karena itu nilai-nilai demokrasi, democratic values tidak boleh diabaikan karena tentu tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan dengan, baik konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi.

Saya yakin akan bisa kita temukan satu pranata yang tiga-tiganya bisa dihadirkan. Sistem nasional atau keutuhan NKRI, keistimewaan yang harus kita hormati kita junjung tinggi di Yogyakarta, dan implementasi nilai-nilai demokrasi untuk negeri kita, yang itupun sesungguhnya secara implisit juga terkandung dalam UUD 45.

Waktu itu, saya belum mengatakan apakah gubernur DIY mesti dpilih secara demokratis atau otomatis ditetapkan sebagaiamana  yang diperdebatkan dengan hangat saat ini. Sekali lagi saya persilahkan kepada masyarakat luas untuk memeriksa, mendengarkan kembali, kalau yang punya rekaman, pernyataan saya pada tanggal 26 November itu di depan sidang kabinet.

Saudara-Saudara, ini kesempatan yang baik bagi saya setelah beberapa hari terakhir saya mendengarkan banyak hal termasuk komentar dari yang hangat atau panas yang mengait pada posisi politik praktis dan bahkan masuk ke saya, seolah-olah Presiden SBY mengahalang-halangi Pak Sultan untuk menjadi gubernur lima tahun berikutnya lagi setelah masa perpanjangan beliau selesai pada bulan Oktober 2011 mendatang.

Kalau menyimak statemen seperti ini nampaknya ada pencampur adukkan antara fakta dan perkiraan dan antara sisi politik praktis dengan upaya mencari tatanan daerah DIY yang memang bersifat istimewa.

Kalau dari sisi politik praktis, tolong dicatat tebal tebal oleh saudara oleh insan pers, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan di republik ini, saya berpendapat bahwa untuk posisi kepimimpinan dan gubernur DIY lima tahun yang paling tepat mendatang tetap Sultan HB X. Ini posisi saya sebagai Presiden. Dan dalam kapasitas saya yang lain, saya meminjam tempat pada forum lain, sebagai ketua dewan pembina sebuah parpol tentu saya akan mengalirkan sebagai pandangan garis politik yang saya bina. Jadi tolong betul-betul dipisahkan apa yang sedang saya pimpin ini dari sisi politik praktis dari sekarang yang diangkat-angkat sebagai ketidakcocokan saya dan Sultan.
SAUDARA, rakyat Indonesia yang saya cintai.

Apa yang sesungguhnya yang sedang dipersiapkan oleh pemerintah yang saya pimpin dewasa ini, tentu tidak mengait sama sekali kepada politik praktis sebagai mana yang banyak diangkat dewasa ini apalagi hanya direduksi menjadi urusan antara Sri Sultan dengan saya.

Bukan. Yang tengah kita pikirkan, kita rancang bersama dpr RI dan nantinya kita susun dan kemudian ditetapkan bersama sama DPRI RI dalam UU adalah, keistimewaan Yogyakarta dalam arti yang utuh dan menyeluruh yang dalam UU yang kita miliki dewasa ini belum diatur secara eksplisit.

Jadi bukan hanya soal kedudukan, kekuasaan dan masa jabatan dan cara pengangkatan gubernur/wakil gubernur DIY meskipun itu penting apakah nantinya dipilih secara demokratis atau otomatis langsung ditetapkan nantinya bersama ditetapkan DPR dan pemerintah akan dengarkan pandangan dan masukan dari masayaarakat luas, tapi sekali lagi lebih dari itu yang kita maksudkan dengan keistimewaan DIY yang tengah kita pikirkan dan kita wadahi nanti dalam UU mendatang.

Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan sisi pemerintahan dan seklaigus nantinya posisi gubernur dan wakil gubernur yang pas dan khusus bagi DIY. Tentang penghormatan, perlakukan khusus dan peran istimewa bagi pewaris Kesultanan dan Pakualaman secara permanen, selamanya, yang kita atur dalam UU.

Tentang hak ekslusif pengolahan tanah di DIY baik yang menjadi otoritas Kesultanan dan Pakualaman serta tata ruang khusus pula bagi wilayah DIY. Tentang upaya pelestarian budaya dan warisan sejarah dan sejumlah elemen keistimewaan yang lain yang perlu kita kukuhkan agar pasti dan berlaku selamanya di DIY. Itulah sesungguhnya keistimewaan di pemerintah DIY yang akan dirumuskan, dibahas bersama-sama DPR RI dalam proses politik yang diatur dalam UUD atau UU.

Saudara-saudara,

Pemerintah berpendapat bahwa UU tentang keistimewaan DIY juga mesti mencakup kepemimpinan baik yang sedang memimpin sekarang ini Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Seri Pakualam saja, termasuk suksesinya nanti jika beliau keduanya berhalangan tetap di masa depan. UU yang akan kita hadirkan tentu tidak hanya mengatur masa kepemimpinan dan pemerintahan kedua beliau saja, Sri Sultan Hamengkubuwono dan Seri Padukaalam tetapi juga mengatur suksesi kepemimpinan yang tentu akan terjadi di kelak kemudian hari.

Dengan demikian UU ini justru berlaku ke depan dan tidak situasional sifatnya. Kita juga tidak ingin karena tidak diatur dalam UU suksesi tidak diatur dalam UU, persoalan suskesi lantas menjadi masalah.

Tapi satu hal, aturan dalam suksesi ini pemerintah akan mendengar dari Sultan sendiri dari Pakualam sendiri beserta kerabat kesultanan dan pakualaman lain. Beliau-beliau lah yang memiliki otoritas yang lebih tahu bagaimana proses mekanisme dan kearifan dalam semua suksesi itu. Semua ini yang akan kita susun dalam RUU nanti mana tatanan yang baik dan paling tepat, baik bagi DIY, bagi negara Indonesian, karena kita menganut konstitusi dan sistem nasional.

Saudara-saudara, Dari aspek kesejarahan dalam penyusunan RUUK DIY ini pemerintah tentu memahami dimenasi kesejarahan DIY dari masa ke masa. Antara lain, bergabungnya Kesultanan dan Pakualaman ke NKRI pada era Presiden Soekarno, pada era Hamengku Buwono IX dan almarhum Seri Pakualam VIII. Lantas setelah itu masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX beserta Pakualaman VIII. Berikutnya masa pemerintahan Sri Paduka Pakualam sampai pada 1998.

Saya pernah bertugas di DIY sebagai bagian dari muspida di mana saat itu gubernurnya adalah Seri Paduka Pakualam ke-8 pada 1995. Setelah itu bergeser, pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X pertama, lima tahun pertama 1998-2003 waktu itu tanpa wakil gubernur, dan seingat saya persoalan suksesi Pakualaman belum manifest. Setelah itu masuk pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X dan bersama Seri Paduka Pakualaman IX, masa pemerintahan kedua 2003-2008 dan disinilah saya ingat ada dinamika politik menjelang berakhirnya masa jabatan sultan tahun 2007, muncul sejumlah perdebatan bagaimana kelanjutan pemerintahan Sri Sultan setelah memimpin 2 periode.

Seperti biasa, ada yang katakan otomatis maju beliau, ada yang bilang perlu aturan baru sampai saya punya catatan bahwa pada tahun 2007, satu tahun sebelum berakhirnya masa jabatan Pak Sultan, beliau seingat saya pada ultah ke-61, beliau menyampaikan orasi budaya di depan publik, bahwa beliau tidak bersedia lagi menjadi gubernur setelah masa jabatannya usai pada tahun 2008.

Beberapa saat kemudian pada saat pisowanan agung pada 19 April tahun 2007, Pak Sultan kembali menegaskan bahwa beliau tidak ingin jadi menjadi gubernur lagi. Saya mengikuti dengan seksama namun saudara-saudara, meskipun secara ekplisit dan disampaikan di depan publik ketidaksediaan Pak Sultan menjadi gubernur lagi, selaku Presiden RI, dengan mempertimbangkan situasi politik dan filosofi masyarakat DIY saya mengambil inisiatif untuk memperpanjang masa jabatan gubernur DIY dan wakil gubernur selama tiga tahun dari 2008-2011. Berarti tahun depan. Alhamdulilah kedua beliau bersedia untuk saya perpanjang selama tiga tahun itu.

Saudara-saudara,

Dalam masa perpanjangan tiga tahun inilah, sesungguhnya kita ingin dengan jernih memikirkan dan merumuskan UU yang tengah kita godok sekarang ini yang tepat, yang bisa menjawan semuanya. Sehingga posisi pemerintah sekarang ini justru akan memfinalkan penggodokan akhir, pematangan dari RUU ini untuk dalam waktu dekat bisa kami ajukan ke DPR RI dan kemudian kita bahas secara bersama.

Saya konsiten sebelum 2009 pada masa pemilihan umum 2009 ketika juga dibahas RUU ini sekarang ini , bahwa apapun nanti rumusan dari UU ini janganlah menegakkan tiga pilar yang mesti kita tegakkan, saya ulangi lagi sistem nasional dan sistem demokrasi yang semuanya ada dalam UUD 45, yang kedua keistimewaan DIY itu sendiri yang harus nyata dan harus diwadahi, dan ketiga adalah implementasi nilai dan sistem demokrasi.

Saudara-Saudara,

Kalau saya boleh mengelaborasi dan saya mengikuti dinamika yang hangat baik di masyarakat luas baik di DIY, Jakarta, maupun di negeri kita, dari semua elemen penting dari keistimewaan DIY yang menjadi perhatian publik dan sekaligus menjadi perdebatan akhirnya mengarah kepada opsi pengangkatan gubernur dan wakil gubernur DIY. Ada yang berpendapat pengangkatan secara otomatis tanpa pemilihan itu istimewanya. Ada yang berpendapat lain tetap pilihan secara demokratis tapi tunjukkan juga keistimewaan bagi DIY, mungkin ada alternatif yang lain ada varian lain yang belum dibahas.  Tapi kalau kita jujur apa yang ada di liputan media cetak atau elektronik ya ada diskursus atau debat dari alternatif itu.

Saya ingin menyampaikan sebagai kepala Negara. Bagi yang berpikir atau yang berpendapat model pemilihan demokratis itu yang paling baik, saya minta saudara bisa membaca UUD kita Pasal 18 B Ayat (1) dalam UUD 45 dimana titik temunya, Pasal 18 B Ayat 1 dalam UUD 1945 dikatakan negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam UU, silakah carikan titik temunya.

Bagi yang berpendapat bahwa yang paling benar adalah penetapan langsung otomatis saja, ditetapkan, saya berharap temukan pula dengan Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 yang berbunyi gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah provinsi dan wali kota dipilih secara demokratis. Silahkan bagi kedua alternatif itu dicocokkan dengan UUD 1945 karena tentu kita tidak ingin merancang UU yang bertentangan dengan UUD 45.

Saya berpendapat apapun model an opsi yang dipilih jangan lupa memberikan hak peran dan peluang yang besar para pewaris kesultanan dan pakualaman. Sejarah mengatakan demikian, Keistimewaan DIY juga bisa kita tarik dari sisi itu dan yang penting pula bagi kita, bagi pemerintah dan harapan saya juga bagi DPR RI ketika kelak membahas secara formal hendaknya sungguh memperhatikan pandangan dari berbagai pihak di negeri ini, baik dari kalangan saudara kita di DIY, maupun sekali lagi dari kalangan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Tentu saudara-saudara, pada saatnya pemerintah akan menentukan posisi tentang ini semua, elemen-elemen mendasar dari keistimewaan DIY ini yang akan diajukan ke DPR RI untuk dilaksanakan pembahasan bersama. Tapi pada akhirnya nanti apapun yang menjadi kesepakatan bersama antara DPR RI atau pemerintah, pemerintah akan tunduk dan menghormati dan pemerintah akan menjalankannya. Itulah hakekat dan makna dari demokrasi.

Kewajiban saya sebagai Presiden dan pemerintahan yang saya pimpin sekarang ini, justru untuk menjalankan tugas konstitusional dalam penyiapan RUU ini. Dengan cara, pemerintah menyiapkan RUU ini dengan niat yang baik serta pikiran yang jernih dan rasional. Dan apapun nanti sekali lagi yang menjadi pilihan Negara, pemerintah akan menghormati, tunduk dan menjalankannya.

Yang terakhir, saya ingin menyampaikan imbauan kepada seluruh rakyat indonesia termasuk saudara-saudara kami yang ada DIY. Untuk semuanya tenang erta tetap berpikir dan bertindak jernih. Saya harap semua menghormati proses dan mekanisme pembuatan UU ini. Silakan menyampaikan masukan dan rekomendasi, silakan. Kalau untuk pemerintah, dalam hal ini adalah menteri dalam negeri yang memiliki otoritas dan yang saya berikan mandat untuk menyelesaikan, menggodok, mematangkan RUU ini, silahkan diberikan ke mendagri atau kepada saya sekalipun.

Khusus untuk saudara-saudara kami, masyarakat dari DIY saya menaruh hormat dan terimalah salam saya. Sebagai kepala negara saya sangat menghormati keistimenawan DIY. Justru dengan UU yang tengah kita rancang ini untuk menghormati warga DIY, untuk memberikan kepastian dan mewadahi keistimewaan DIY dalam UU yang akan kita keluarkan. Dan , secara khusus pula saya ingin bersama-sama menyelesaikan ini dengan baik. Dan, atas musibah bencana Gunung Merapi kemarin saya juga tetap ingin memastikan tentang kebersamaan kita, pemerintah pusat, pemerintah DIY, ingin tetap pastikan masyarakat luas agar langkah-langkah rehabilitasi dan rekonsiliasi pasca letusan merapi dapat kita laksanakan dengan baik.

Itulah saudara yang ingin saya sampaikan saat ini dan sekali lagi pemerintah akan menjalankan tugas dan kewajibannya, mengenai RUU ini kita akan serahkan kepada DPR RI untuk dilakukan bersama. Terimakasih saudara-saudara.

V. Bagian Kelima

Pasal-Pasal Kontroversial RUUK Yogyakarta 
Rancangan UU Keistimewaan Yogyakarta masuki babak baru yaitu telah masuki "arena" DPR. Dalam RUU tersebut disebutkan tentang pembagian kekuasaan Yogyakarta, Gubernur-Wakil Gubernur Utama, Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Yogyakarta.
Dalam RUU yang disusun pemerintah, terdiri dari 12 bab dengan 40 pasal, yaitu:
Bab I : Ketentuan umum
Bab II : Batas dan pembagian wilayah
Bab III : Asas dan Tujuan
Bab IV : Kewenangan
Bab V : Bentuk dan Susunan Pemerintahan
Bab VI : Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
Bab VII : Pelaksanaan Urusan Istimewa
Bab VIII : Peraturan Gubernur Utama, Perdais, Perda Provinsi, dan Peraturan Gubernur
Bab IX : Pendanaan
Bab X : Ketentuan Lain-lain
Bab XI : Ketentuan Peralihan
Bab XII : Ketentuan Penutup

Dari 12 bab di atas, fokus utama dan yang mengalami perubahan adalah pada bab V tentang Bentuk dan Susunan Pemerintahan yang memiliki 4 bagian dengan 9 pasal.

Dari draft RUU tersebut terlihat bahwa pemerintah tetap mengajukan kedudukan Sri Sultan dan Paku Alam sebagai gubernur utama dan wakil gubernur utama.

Dalam hal kewenangan terkait keistimewaan diatur dalam Pasal 6 ayat (2). Dalam draft tersebut tertulis bahwa kewenangan dalam urusan istimewa sebagaimana dimaksud mencakup penetapan fungsi dan tugas dan wewenang gubernur utama dan wakil gubernur utama, penetapan kelembagaan pemda provinsi, kebudayaan dan pertanahan dan penataan ruang.

Dalam ayat selanjutnya, diatur juga bahwa kewenangan dalam urusan istimewa didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan pada rakyat.

Pengaturan lebih lanjut kewenangan dalam urusan-urusan istimewa didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat dan pengaturan lebih lanjut kewenangan dalam urusan istimewa diatur dalam perda.

Sementara dalam Pasal 8 yang mengatur mengenai bentuk dan susunan pemerintahan, berisi bahwa Pemda Istimewa Yogyakarta memiliki bentuk dan susunan pemerintahan yang bersifat istimewa. Komposisi kepemimpinan di Pemda DIY terdiri atas gubernur utama dan wakil gubernur utama, pemda provinsi dan DPRD Provinsi DIY.

Sri Sultan Hamangkubuwono dan Sri Paku Alam seperti diatur dalam Pasal 9, kedudukannya ditetapkan sebagai gubernur utama dan wakil gubernur utama. Penetapan itu dilakukan berdasarkan keputusan presiden. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal itu diatur dalam peraturan pemerintah atas usul Sri Sultan Hamangkubuwo dan Sri Paku Alam.

Kewenangan yang dimiliki gubernur utama dan wakil gubernur utama antara lain memberikan arah umum kebijakan dalam penetapan kelembangaan pemda provinsi, kebudayaan, pertahanan, penataan ruang dan penganggaran.
Gubernur utama dan wakil gubernur utama juga memberikan persetujuan terhadap rancangan perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi DIY dan Gubernur. Gubernur utama dan wakil gubernur utama berhak menyampaikan usul dan/atau pendapat kepada pemerintah dalam rangka penyelenggaraan kewenangan istimewa.

Selain itu, mendapatkan informasi mengenai kebijakan dan/atau informasi yang diperlukan untuk perumusan kebijakan menyangkut keistimewaan DIY serta mengusulkan perubahan dan/atau pergantian perda, memiliki hak protokoler dan kedudukan keuangan yang diatur dengan peraturan pemerintah.

Berhalangan
Apabila Sri Sultan Hamengkubuwo sebagai gubernur utama berhalangan tetap, pengisian gubernur utama dilakukan setelah Sri Sultan Hamengkubuwono yang baru naik tahta. Begitu juga dengan wakil gubernurnya.

Dalam Pasal 10 termuat gubernur dan wakil gubernur utama berwenang memberikan arah umum kebijakan dalam penetapan kelembagaan pemerintah daerah provinsi, kebudayaan, pertanahan, penataan ruang dang penganggaran.

Selain itu, memberikan persetujuan terhadap rancangan perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan gubernur. Selanjutnya, memberikan saran dan pertimbangan terhadap rencana perjanjian kerja sama yang dibuat oleh pemerintah daerah provinsi dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat.

Sementara Pasal 14 mengatur, dalam hal gubernur utama tidak menjabat sebagai Gubernur, Gubernur wajib;
a. Mengikuti arah umum kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama;
b. Melakukan konsultasi dengan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama untuk urusan-urusan pemerintahan yang diatur dalam undang-undang tentang Pemerintahan Daerah;
c. Melakukan konsultasi kepada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama dalam penyusunan anggaran;
d. Memberikan laporan penyelenggaraan kewenangan istimewa kepada Gubernur utama dan Wakil Gubernur Utama setiap tahun; dan
e. Memberikan tembusan laporan penyelenggaraan pemerintah daerah dan laporan keuangan pemerintah daerah sesuai perundang-undangan kepada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama.
Pasal 16, Dalam melaksanakan keistimewaan, DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta wajib:
a. Mengikuti arah umum kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Utama dan
Wakil Gubernur Utama;
b. Melakukan konsultasi dengan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama untuk urusan-urusan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
c. Melakukan konsultasi kepada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama dalam penyusunan anggaran.
Mengenai pemilihan gubernur diatur Pasal 17 
(1) Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dapat berasal dari:
a. Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam yang bertahta;
b. Kerabat kesultanan dan kerabat Pakualaman;
c. Masyarakat umum.
(2) Dalam hal calon Gubernur diikuti Sri Sultan Hamengku Buwono, maka Sri Sultan Hamengku Buwono berpasangan dengan Sri Paku Alam sebagai calon Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.

(3) Pasangan calon Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2), otomatis didaftar sebagai calon Gubernur/Wakil Gubernur melalui mekanisme perseorangan khusus.

(4) Dalam hal Sri Sultan Hamengku Buwono ikut mencalonkan diri sebagai Gubernur, kerabat kesultanan dan kerabat Paku Alam tidak dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.

(5) Dalam hal Sri Sultan Hamengku Buwono tidak sebagai calon, pemilihan hanya dilakukan untuk memilih Gubernur.

(6) Dalam hal Sri Sultan Hamengku Buwono tidak mencalonkan diri sebagai Gubernur, Sri Paku Alam tidak dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur.
Mekanisme Pencalonan, tertuang dalam Pasal 18 :
(1) Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah Provinsi menanyakan kesediaan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.

(2) Kesediaan Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam surat pernyataan kesediaan.

(3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus diserahkan kepada Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah Provinsi selambat-lambatnya sebelum masa pendaftaran berakhir.
Mekanisme Pencalonan Kerabat Kasultanan dan Kerabat Pakualaman serta Masyarakat Umum tertuang dalam Pasal 19:
(1) Calon yang berasal dari kerabat Kasultanan dan kerabat Pakualaman dan masyarakat umum diajukan melalui mekanisme pengajuan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

(2) Mekanisme calon sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berlaku persyaratan umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

(3) Mekanisme pencalonan calon dari partai politik atau gabungan partai berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

(4) Mekanisme pencalonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pemilihan dan Pengesahan Calon Gubernur ada pada Pasal 20 :
(1) Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah Provinsi menyerahkan daftar calon Gubernur kepada DPRD Provinsi.

(2) DPRD Provinsi melakukan pemilihan terhadap calon Gubernur yang diusulkan Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah Provinsi.

(3) Calon Gubernur dinyatakan sebagai pemenang apabila memperoleh suara 50 persen ditambah 1

(4) Dalam hal tidak ada calon gubernur yang memperoleh suara 50 persen ditambah 1 dilakukan pemilihan putaran kedua terhadap dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak.

(5) DPRD mengajukan calon terpilih kepada Presiden untuk disahkan sebagai Gubernur.

(6) Dalam hal hanya Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam yang bertahta menjadi pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, DPRD Provinsi melakukan musyawarah untuk mufakat dalam menetapkan dan mengusulkan kepada Presiden guna disahkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.

(7) Ketentuan tentang cara pemilihan Gubernur sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) sampai dengan Ayat (6) diatur lebig lanjut dengan peraturan pemerintah

Pasal 21
(1) Dalam hal Gubernur dijabat Sultan Hamengkubuwono berhalangan tetap atau diberhentikan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur, Presiden menetapkan Wakil Gubernur sebagai penjabat Gubernur.

(2) Dalam hal Gubernur dijabat selain Sultan Hamengku Buwono berhalangan tetap atau diberhentikan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur, Presiden menunjuk penjabat Gubernur dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan.

(3) Penjabat Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memegang jabatan paling lama 6 bulan untuk mempersiapkan pemilihan Gubernur baru.
Pasal 22
(1) Gubernur dan Wakil Gubernur dilantik oleh Presiden Republik Indonesia.

(2) Apabila Presiden Republik Indonesia berhalangan, dapat diwakilkan kepada Wakil Presiden Republik Indonesia.

(3) Masa jabatan Gubernur adalah 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan.

(4) Pembatasan masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan periode masa jabatan tidak berlaku bagi Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam apabila menjabat Gubernur dan Wakil Gubernur.
Pasal 23
(1) Ketentuan tentang hak, kewajiban, larangan dan kewenangan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah berlaku pula dalam Undang-Undang ini.

(2) Pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dilaksanakan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah berlaku pula dalam Undang-Undang ini.
Sementara mengenai penataan ruang terdapat pasal-pasal keistimewaan Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paku Alam dalam bidang pertanahan dan penataan ruang. Pertanahan dan Penataan Ruang ada pada Pasal 26.

(1) Dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pertanahan dan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d, Kasultanan dan Pakualaman ditetapkan sebagai Badan Hukum.
(2) Sebagai Badan Hukum, Kasultanan mempunyai hak milik atas Sultanaat Grond.

(3) Sebagai Badan Hukum, Pakulaman mempunyai hak milik atas Pakualamanaat Grond.

(4) Sebagai Badan Hukum, Kasultanan dan Pakulaman merupakan subyek hukum yang berwenang mengelola dan memanfaatkan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond dengan sebesar-besarnya ditujukan untuk pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial dan kesejahteraan masyarakat.

(5) Ketentuan lebih lanjut tentang Badan Hukum diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(6) Tata guna, pemanfaatan dan pengelolaan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond serta penataan ruang provinsi DIY diatur lebih lanjut dalam perda.  (tim_jlc)
__________________________
Naskah tulisan asli : www.mediaindonesia.com