Ariel dan Problematika UU Pornografi

Friday, December 24, 2010

Semenjak video adegan mesum mirip Ariel, Luna dan Cut Tari merebak didunia maya, berbagai komentarpun bermunculan, bahkan dari sudut pandang yang berbeda. Ada yang menghujat, mencaci maki, turut prihatin, bahkan tidak sedikit pula yang main hakim sendiri. Begitupun dengan saya pribadi, kasus ini ikut menggelitik pikiran saya untuk berkomentar meski dengan pikiran yang begitu sangat terbatas. Penulis tidak ingin membela siapa-siapa, kecuali untuk mencoba membangun pola pikir objektif dalam upaya memaknai hukum yang tidak sekedar teks semata.

Empirisme Pornografi

Kasus video inipun kian mengundang kontroversi ketika Ariel ditetapkan sebagai tersangka. oleh penyidik Polri dengan menggunakan Undang-undang Pornografi [1]. Seperti apa dan bagaimanakah batasan pornografi itu?. Hal ini bertujuan agar kita dapat menghindari penggunaan kata pornografi sebagai alat kriminalisasi terhadap seseorang.

Secara implisit, pornografi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang Dengan Sengaja dan Semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks [2].

Sedangkan pornografi didalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, diartikan sebagai gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat [3].

Dari pengertian pornografi tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pornografi merupakan sesuatu yang bersifat empiris. Artinya dapat terlihat secara kasat mata, dan didengar secara jelas oleh panca pendengaran manusia. Jika dikaitkan dengan kasus video mirip Ariel, yang manakah yang memnuhi unsur pornografi? Video mirip Ariel, ataukah penayangan video mirip Ariel?. Tentu saja penayangan video mirip Ariel. Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa unsure pornografi tidak akan terpenuhi jika tidak ada pelaku yang mengupload video Ariel, sehingga video tersebut menjadi tontonan publik. Namun menjadi aneh kemudian, ketika Ariel yang seharusnya menjadi korban dalam kasus ini, justru dijadikan sebagai pelaku utama tindak pidana.

Multi-tafsir UU Pornografi

Alasan utama penetapan Ariel adalah jerata Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Dimana disebutkan bahwa setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat : a.persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b.kekerasan seksual; c.masturbasi atau onani; d.ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e.alat kelamin; atau f.pornografi anak.

Kata membuat dan memproduksi inilah yang direduksi menjadi alasan pokok terhadap penetapan status tersangka Ariel menjadi tersangka. Jika benar Ariel yang ada dalam video tersebut, maka tentu saja tidak ada keraguan dalam tafsir kata membuat dalam UU tersebut. Akan tetapi, terdapat beberapa hal yang harus kita perhatikan dengan baik, yakni :

Pertama, Kata Membuat yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, merupakan makna tersirat terhadap suatu maksud dan tujuan tertentu. Untuk itu, jika dikatakan bahwa norma utama dalam pasal tersebut sudah cukup jelas, tentu saja akan menyebabkan sesat pikir. Sebab kata membuat memiliki makna yang jamak. Bisa membuat untuk tujuan kepentingan pribadi, bisa juga membuat untuk kepentingan komersil dengan mendistribusikannya secara luas. Sedangkan dalam kasus ini, Ariel hanya membuat tanpa maksud sama sekali untuk menyebarluaskannya.

Kedua, terdapat korelasi yang kuat antara norma utama dalam pasal 4 ayat (1) dengan bagian penjelasan pasal tersebut, khusunya menyangkut penjelasan kata membuat. Dimana didalam penjelasan pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa Yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Artinya, UU pornografi sudah menjadi norma hokum tertulis, yang berlaku di Negara kita. Dengan demikian bagian penjelasan dalam UU tersebut, tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Norma utama dan penjelasan dalam UU ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Memisahkannya, berarti sebuah kenaifan dalam memaknai sifat hukum tertulis kita.

Ketiga, Terjadinya kesalahan penafsiran norma dalam UU pornografi. Artinya, harus dilakukan proses pemilahan secara jelas, yang mana unsure utama dan mana unsure pendukung tindak pidana pornografi dalam kasus Ariel. Hal ini tergambar dalam upaya penanganan kasus dengan mengutamakan pengungkapan identitas pemeran video, disbanding pengungkapan pelaku penyebaran video. Sebagaimana maksud UU Pornografi yang bersifat empiris, seharusnya norma utama yang menjadi tugas dalam penanganan kasus ini adalah penyebaran video yang membuat tontonan pornografi dapat diakses oleh publik.

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa keputusan penetapan tersangka bagi Ariel dengan menggunakan Pasal-pasal yang multi-tafsir, tentu saja merupakan kesimpulan hukum yang menimbulkan ketidakpastian. Artinya, terdapat definisi hokum yang absurd (kabur) yang tidak dapat dijadikan dasar utama dalam penetapan status tersangka Ariel.
___________________________
Catatan Kaki :
[1] Sumber : http://entertainment.kompas.com/read/2010/06/22/10133543/Ariel.Tersangka
[2] Sumber : http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php keyword : pornografi.
[3] Sumber : Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 
____________________________
Penulis: | Sumber Tulisan: www.herdiansyah.web.id