Konsekuensi Yuridis Perbuatan Aparat Pemerintah Yang Tidak Absah *)

Friday, December 24, 2010

Kewenangan merupakan salah satu aspek penting dalam ilmu hukum tata pemeritahan (bestuursrecht). Secara sederhana, keweangan dapat kita artikan sebagai “hak yang bersifat khusus yang diberikan kepada apartur Negara untuk memaksakan kehendaknya”. Pemaksaan disini merupakan hak yang melekat secara otomatis (ex-officio) bagi aparatur pemerintahan dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya.

Terdapat 2 jenis kategori kewenangan dalam ilmu tata pemerintahan, antara lain ; Pertama, Kewenangan yang bersifat atributif (original), yaitu kewenangan aparatur pemerintahan yang bersifat permanen yang langsung diberikan atau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan; dan Kedua, Kewenangan non atributif (non original), yaitu kewenangan aparatur pemerintahan yang diperoleh dari pelimpahan wewenang, yang terdiri dari 2 bentuk, yakni baik pelimpahan wewenang dalam bentuk mandat, maupun pelimpahan wewenang dalam bentuk delegasi. Mandat dan delegasi merupakan dua kategori pelimpahan wewenang yang berbeda. Jika mandat hanya merupakan pelimpahan dari sebahagian dari wewenang, maka delegasi merupakan pelimpahan wewenang secara keseluruhan. Mandat dalam ilmu tata pemerintahan biasanya disimbolkan dengan kode untuk beliau (u.b.), sedangkan delegasi biasanya disimbolkan dengan kode atas nama (a.n.).

Akan tetapi, dalam menjalankan kewenangan dari aparatur pemerintah, terdapat pembatasan-pembatasan yang diperlukan agar di dalam menjalankan kewenangannya tersebut, aparatur pemerintah tidak menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya (abuse of power). Untuk itu, diperlukan suatu kategori atau bentuk pengetahuan terhadap kategori, kapan sebuah kewenangan dianggap tidak sah atau tidak berjalan sebagaimana ketentuan yang ada.

Secara umum, kewenangan aparatur pemerintahan dianggap tidak sah ketika :
  1. Ratione Material, yakni kewenangan aparatur pemerintahan yang tidak sah dikarenakan substansi kewenangannya;
  2. Ratione Loccus, yakni ketidakwenangan seorang aparatur pemerintahan dikarenakan wilayah hukumnya;
  3. Ratione Temporis, ketidakwenangan seorang aparatur pemerintahan dikarenakan lewat waktu, atau yang pada umumnya sering kita istilahkan daluarsa.
Dalam ranah Hukum Tata Pemerintahan (bestuursrecht), terdapat tiga teori kebatalan (nietig theory), yakni batal mutlak, batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Ketiga teori ini memiliki perbedaan berdasarkan 2 (dua) aspek, yaitu ; Pertama, berdasarkan akibat hukum yang muncul, yaitu akibat-akibat hukum yang mengikuti jika terjadi pembatalan. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis yang muncul dan tidak dapat dihindari akibat pembatalan tersebut. Kedua, Pejabat yang berhak membatalkan, yaitu mengenai kewenangan pembatalan, dalam arti siapa pejabat yang berhak untuk melakukan proses pembatalan tersebut. Untuk lebih memudahkan kita dalam mengidentifikasi pejabat siapa saja yang memiliki hak untuk membatalkan, maka kita membagi pejabat dalam bentuk yang sangat sederhana, yakni pejabat yudikatif, eksekutif dan legislatif.

Untuk lebih jelasnya, berikut perbandingan dari ketiga teori kebatalan tersebut ;

  1. Batal Mutlak (absolute nietig). Secara prinsip, batal mutlak berakibat semua perbuatan yang pernah dilakukan, dianggap tidak pernah ada. Dalam konteks ini, perbuatan yang dinyatakan tidak pernah ada tersebut, berlaku prinsip fiction theory atau semua orang atau subjek hukum dianggap tahu hukum. Dalam hal batal mutlak ini, yang berhak menyatakan batal atau tidak murni merupakan monopoli kewenangan yudikatif.
  2. Batal Demi Hukum (nietig van recht wege). Konsekuensi dari terjadinya proses batal demi hukum berakibat terhadap dua hal utama, yaitu ; pertama, perbuatan yang sudah dilakukan, dianggap tidak ada atau tidak sah secara hukum, dan kedua, perbuatan yang telah dilakukan, sebahagian dianggap sah, dan sebahagian lagi dianggap tidak sah. Dalam hal batal demi hukum ini, pejabat yang berhak menyatakan batal atau tidak adalah pihak yudikatif dan eksekutif.
  3. Dapat Dibatalkan (vernietig baar). Dalam hal ini, dapat dibatalkan memiliki konsekuensi hukum dimana keseluruhan dari perbuatan hukum yang pernah dilakukan sebelumnya, tetap dianggap sah. Artinya, keseluruhan perbuatan di masa lampau tetap menjadi suatu tindakan hukum yang tidak dapat dibatalkan atau tetap berlaku pada masa itu. Adapun pejabat yang berhak membatalakan adalah pihak yudikatif, eksekutif dan legislatif.
Untuk lebih melihat secara jelas mengenai keabsahan perbuatan hukum, maka terdapat 2 (dua) kategori syarat penting yang perlu kita ketahui, yaitu ; Pertama, Syarat Mutlak, yaitu syarat yang harus ada dalam suatu perbuatan hukum. Tanpa keberadaan syarat ini, maka perbuatan hukum tidak akan mungkin lahir atau eksis; dan Kedua, Syarat Relatif, yaitu syarat yang menjadi penunjang atau pelengkap dalam suatu perbuatan hukum. Syarat relatif ini tidak harus ada pada saat perbuatan hukm lahir, akan tetapi dapat disusulkan dikemudian hari.

Dalam hal syarat mutlak tidak terpenuhi, maka konsekuensi hukum yang dapat diambil adalah batal mutlak (absolute nietig) dan atau batal demi hukum (nietig van recht wege). Sedangkan jika syarat relatif yang tidak terpenuhi, maka konsekuensi hukum yang mengikutinya adalah pembatalan dalam kategori bisa dibatalkan (vernietig baar). Demikianlah akibat-akibat hukum atau konsekuensi yuridis terhadap perbuatan aparatur pemerinahan yang tidak absah secara hukum. Satu hal yang perlu kita pahami bersama, bahwa setiap perbuatan aparatur pemerintahan, baik dalam menjalankan tanggung jawab untuk menjalankan roda pemerintahan maupun dalam melayani masrakatnya, harus mengutamakan asas keadilan dan kemanfaatan daripada kepastian hukum. Sebagaimana apa yang diutarakan oleh Imanuel Kant, bahwa, “filosofi hukum itu dapat diibaratkan dua sisi mata uang. Sisi kanan adalah sisi kebenaran (rechtmatig) dan sisi kiri merupakan sisi keadilan dan kemanfaatan (doelmatig). Namun ketika kedua sisi ini pecah dan berbeda jalan, maka kita harus mendahulukan sisi keadilan dan kemanfatannya".
_____________________________
*) *) Penulis: | Sumber Tulisan: www.herdiansyah.web.id