Evaluasi Kritis Kegagalan Gerakan Mahasiswa Indonesia

Friday, December 24, 2010

Oleh:

Jangan Sekali-sekali pernah melupakan sejarah[1], demikian kata Soekarno, seorang pemimpin besar revolusi pembebasan nasional Indonesia. Kalimat tersebut menyiratkan makna, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang senantisa belajar dan menghargai perjalanan sejarahnya sendiri. Baik sejarah yang berbuah manis, maupun sejarah kelam yang menorehkan luka hitam dalam perjalannya. Sebab kita harus berusaha menghargai sebuah kegagalan sama halnya kita menghargai dan menghormati keberhasilan, dengan demikian kita akan lebih mampu melihat celah dan lubang jebakan yang akan menghadang perjalanan sejarah hidup kita dimasa yang akan datang. Inilah kondisi dimana pahit manis proses perjalanan panjang sejarah gerakan mahasiswa Indonesia, menjadi penting untuk dijabarkan dalam suatu ruang kritik.

Proses kejatuhan Soeharto[2] adalah saat-saat revolusioner dalam sejarah gerakan mahasiswa Indonesia. Aksi-aksi mahasiswa dibeberapa kota sampai bisa menguasai Instansi-instansi pemerintah. Dengan tuntutan reformasi berupa Pergantian Presiden, Pengadilan Soeharto dan Pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Bahkan pada tanggal 19-21 Mei 1998, ribuan mahasiswa di Jakarta sudah menguasai Gedung DPR/MPR menuntut agar Soeharto mundur. Dalam kurun waktu ini juga bermunculan beratus-ratus komite mahasiswa yang tersebar di berbagai kota. Komite-komite ini-lah yang mampu menggerakan ribuan mahasiswa untuk terlibat dalam aksi-aksi menuntut perubahan dan penumbangan rezim militer-kapilitalistik Soeharto yang selama 32 tahun mempraktekkan system politik otoriter-represif. Namun setelah berhasil menggulingkan Soeharto, secara kualitas dan kuantitas gerakan mahasiswa mengalami penurunan.

Belajar dari Kelemahan

Berikut adalah evaluasi letak kelemahan Gerakan Mahasiswa yang selama ini menjadi benalu dalam mencapai tujuan dan cita-cita perjuangan dalam kerangka pembebasan rakyat tertindas. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemandulan gerakan mahasiswa selama ini, antara lain :

Pertama, Elitisme Gerakan. Hal ini akan menempatkan posisi gerakan mahasiswa dalam jebakan-jebakan kepentingan (Interest) politik elit dan kaum mapan ynag notabene tidak berkaitan langsung dengan kepentingan atau kebutuhan pokok perjuangan massa rakyat Indonesia. Sikap elitisme ini cenderung manipulatif (Mengingkari fakta dan kenyataan) dan memoderasi (Mengurangi makna kepoloporan sejati dan keberpihakan mahasiswa terhadap massa rakyat) gerakan mahasiswa yang secara tidak langsung membawa gerakan mahasiswa ke dalam barisan elit yang sok mapan, sok berkuasa dan tidak pernah perduli dengan nasib rakyatnya karena hanya terfokus dengan kepentingan sendiri. Maka kenyataan dilapangan sering kita temukan bahwa kebanyakan organisasi-organisasi mahasiswa lebih memilih isu-isu titipan elit politik (Baik nasional maupun daerah), ketimbang konsisten mengawal isu-isu problem pokok rakyat yang lebih real dan mengandung akibat-akibat langsung terhadap propaganda himbauan dan ajakan kepada rakyat untuk menyadari dan mengorganisir dirinya untuk melakukan pertanyaan, tanggapan, usulan, protes, penolakan sampai kepada tahap perlawanan yang lebih radikal.

Kedua, Kecenderungan Eksklusif Terhadap Realitas Sosial. Tertutup (Eksklusif) dan cenderung membuat Gap-Gap atau kelompok diantara sesama komunitas mahasiswa sendiri yang terpisah dari massa rakyat, adalah cap yang acap kali terlontar dari mulut masyarakat. Bagaimana tidak! Hal tersebut tumbuh dan berkembang karena disebabkan oleh kalangan mahasiswa sendiri yang secara sengaja membangun sebuah paradigma “Megalomania”[3] yang mengatakan bahwa kalangan yang paling bisa dan paling mampu memecahkan problem bangsa adalah mahasiswa karena mahasiswa makhluk terdidik. Atau mungkin jargon Agen of Change, Social Controle, Balance Of Power dll yang salah tafsir dan terlalu berlebihan memahaminya sehingga otomatis telah membuat dan membentuk pemikiran bahwa seakan-akan hanya dan Cuma mahasiswa yang mampu melakukan perubahan. Sekat-sekatpun antara mahasiswa dan massa rakyatpun muncul sehingga menjadikan mahasiswa membentuk menara gading yang jauh dari realitasnya sendiri bersama massa rakyat. Kenyataan ini juga membuat lembaga-lembaga kemahasiswaan menjadi lembaga tanpa gerak dan tidak fleksibel merangkul kekuatan massa (Standing Institution).[4]

Ketiga, Watak Sektarianisme. Gejala ini sudah lama menjadi kendala besar dalam konteks bagaimana menyatukan seluruh potensi gerakan mahasiswa, dimana kelompok-kelompok dan organisasi mahasiswa masih terkotak-kotakkan ke dalam warna bendera, institusi dan almamater masing-masing dan akibat dari semua itu tentu Polarisasi gerakan yang tak henti-hentinya hingga saat ini. Bagi Pejuang Revolusioner Cuba - Che Guevara[5], ini adalah sikap kekanak-kanakan dan ketidak dewasaan dalam gerakan yang harus dikikis habis oleh mahasiswa. Bukan saatnya lagi gerakan mahasiswa berdebat masalah latar belakang ideologi, warna bendera dan kebanggaan almamater masing-masing karena hal tersebut hanya akan membawa gerakan yang semakin tidak terkonsolidasi yang secara politik akan semakin melemahkan posisi tawar (Bargaining Position) Mahasiswa dimata Rezim.

Keempat, Kegagalan Menganalisa Kontradiksi Masyarakat Secara Utuh Komprehensif. Selama ini, gerakan mahasiswa hanya mampu melihat kontradiksi atau persoalan-persoalan massa rakyat pada kulit-kulitnya saja secara empirik dan cenderung memudahkan persoalan tanpa pernah berusaha mengurai dan menguliti sistem di balik penindasan massa rakyat selama bertahun-tahun yang disebabkan oleh sistem yang buas,licin dan serakah yakni sistem Kapitalisme.

Kelima, Terjebak Dalam Pemujaan Momentum (Spontanitas). Alasan yang terakhir dan paling mencolok dari rangkaiaan evaluasi kegagalan gerakan mahasiswa adalah kebiasaan membebek dan membonceng terhadap momentum yang ada tanpa berusaha menciptakan momentum perlawanan sendiri. Akibatnya, perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswapun terjebak dalam pemujaan “Spontanitas” perjuangan yang sifatnya tidak pernah bertahan lama dan secara prinsip tidak mengarah kepada perlawanan yang terorganisir dan tidak terpimpin secara politis. Coba tengok, berapa kali sudah momentum berusaha diinterupsi oleh gerakan mahasiswa dan berapa kali pula gerakan tersebut gagal sebab momentum itu hanya berskala kecil dan bertempo jangka pendek sehingga intensitas dan konsistensi massa tak mampu dijaga.

Reposisi Peran Gerakan Mahasiswa

Dari pemaparan serta eksplorasi letak kelemahan gerakan mahasiswa Indonesia selama ini, maka diperlukan suatu pelurusan peran dan fungsi gerakan mahasiswa dalam konteks mengembalikan peran dan posisi mahasiswa sebagai kekuatan pelopor (vanguard). Kepeloporan disini dimaknai sebagai upaya untuk memajukan kesadaran serta kemampuan politik massa rakyat Indonesia dalam berjuang merebut kedaulatan sejatinya. Berikut langkah dan tahapan yang patut dipertimbangkan, untuk memulai kembali membangun posisi dan peran gerakan mahasiswa tersebut :

Pertama, Menentukan Pijakan Darimana Kita Harus Memulai? [6] . Pertanyaan darimana kita harus memulai, adalah pertanyaan yang paling penting, Sebab hal tersebut menandakan adanya keterbukaan dan kerendahan hati kita untuk melihat dan mengkritik gerakan kita sendiri yang sedikit banyaknya telah mengalami kegagalan-kegagalan. Sebuah oraganisasi yang besar, adalah organisasi yang siap menerima kritikan-kritikan sebagi sebuah masukan dalam melihat celah dan kelemahan kita,[7] sehingga benang kusut dan lubang tajam kelemahan itu mampu kita pecahkan dan tutupi dengan dialektika rumusan-rumusan srtategi-taktik baru yang tentunya akan lebih tajam bak belati dalam mencapai tujuan-tujuan serta cita-cita gerakan mahasiswa untuk membangun massa rakyat yang secara penuh berdaulat dan merdeka. Inilah hal yang paling mendasar yang harus kita laukukan sebagai tahap awal dalam melakukan reposisi atau memposisikan ulang gerakan mahasiswa yang tadinya tumpul menjadi tajam, yang sebelumnya tercerai berai menjadi bersatu dan yang dulunya elitis dan eksklusif menjadi sebuah gerakan yang terbuka luas (Inklusif) terhadap organisasi manapun, siapapun, apapun dan darimanapun selama masih mempunyai tujuan, prinsip dan kehendak yang sama untuk membebaskan massa rakyat dari belenggu penindasan.

Kedua, Menentukan Dan Menetapkan Garis Besar Agenda Perjuangan. Setelah melakukan serangkaian evaluasi tentang gerakan, maka hal yang paling urgen berikutnya adalah menentukan agenda-agenda atau jadwal (Schedule) akan apa dan cara apa yang hendak kita lakukan selama beberapa waktu kedepan sebagai bagian dari langkah-langkah penyusunan strategi-taktik gerakan mahasiswa. Hal tersebut memungkinkan gerakan yang kita bangun akan lebih terarah, terencana dan sistematis sehingga titik kelemahan serta kekurangan lebih bisa terdeteksi selagi gerakan kita berproses. Kadang-kadang rekomendasi akan plaining terhadap agenda gerakan sudah tersusun, namun tidak dikerjakan sama sekali, maka hal yang menjadi kebutuhan untuk mengantisipasinya adalah ketegasan, komitmen serta kedisiplinan anggota organisasi yang harus dibentuk dan dididik melalui kebiasaan kerja-kerja organisasi secara real serta intensitas evaluasi secara rutin dan Continue.

Ketiga, Mengarahkan Potensi Untuk Pengorganisasian Sektor Rakyat Tertindas. Dari pemaparan sebelumnya tentang gerakan kemahasiswaan, bahwa salah satu bentuk kelemahan gerakan mahasiswa adalah kecenderungan sikap Eksklusif gerakan yang tidak mau menyatu dengan sektor rakyat. Pada dasarnya kekuatan mahasiswa adalah kekuatan pelopor sejati sebagai pendobrak ketidakadilan, namun harus diingat bahwa kekuatan sesungguhnya untuk memukul jatuh ketidakadilan tersebut terletak di pundak dan tangan rakyat sendiri. Maka dari itu, adalah keharusan bagi kalangan mahasiswa untuk rela melepaskan jargon serta simbol kemahasiswaannya untuk terjun dan mengabdikan seluruh hidupnya bersama rakyat (Buruh, Tani, Nelayan, Kaum Miskin Kota dll) untuk mendidik dan menempa kemampuan berlawan serta memajukan kesadaran politik rakyat. Inilah peran sesungguhnya dari mahasiswa untuk membangun wadah organisasi-organisasi rakyat dan menciptakan perlawanan dimana-mana demi capaian-capaian kehidupan rakyat yang adil, makmur dan sejahtera di bawah panji-panji demokrasi dan kedaulatannya sendiri.

Membangun Organisasi Yang Kuat, Solid Dan Disiplin

Di dalam melakukan serangkaian aktivitas organisasi dalam gerakan, tentunya kita mempunyai prinsip-prinsip organisasi yang bertujuan memajukan dan mingkatkan kualitas serta performance organisasi dalam membentuk dan mendidik kader atau anggotanya agar mempunyai kedisiplinan serta keuletan kerja yang sungguh-sungguh agar mampu menjadikan organisasi berdiri tegar, kokoh, kuat dan terpimpin. Prinsip-prinsip yang harus kita terapkan dan praktekkan dalam mengelola organisasi antara lain adalah :

Pertama, Bergaris Massa. Garis massa adalah prinsip revalusioner yang mengajar kita tegak berdiri dan percaya pada massa untuk pembebasannya. “Prinsip ini didasarkan pada kenyataan bahwa massa dan hanya massa yang dapat membuat sejarah”. Dalam hal ini, keyakinan bahwa hanya dengan Gerakan Massa (Popular Struggle)[8], perubahan dan revolusi mampu diejawantahkan. Jelas saja, coba lihat dan pelajari bahwa Sepanjang sejarah perubahan-perubahan di belahan dunia manapun, metode yang paling ampuh dan efektif hanyalah dengan gerakan massa. Dimulai dari kemenangan Napoleon di Revolusi Borjuis Prancis 1879, Kemenangan Lenin pada Revolusi Sosialis Rusia 1917, Revolusi Cuba dibawah pimpinan Castro dan Che Guevara 1957, Revolusi Islam Iran 1979 sampai pada Revolusi Pembebasan Nasional Indonesia tahun 1945, semuanya dengan memakai metode gerakan massa dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatannya masing-masing. Maka dari itu, tugas dan peran mahasiswa untuk menanamkan keyakinan tersebut secara penuh minimal dalam lingkungan organisasi sendiri bahwa pertempuran yang sesungguhnya bukanlah di gedung-gedung dewan, di bangku-bangku kuliah maupun di meja-meja kantor. Namun pertempuran seseungguhnya adalah di jalan-jalan raya melawan ketidakadilan yang diciptakan oleh sebuah sistem melalui kaki tangannya (Pemerintah, pejabat, birokrasi, tentara dll)demi Pembebasan rakyat tertindas. Sejalan dengan hal tersebut, maka prasyarat pertama dari sebuah organisasi adalah prinsip garis massa yang berarti membangun dan memperluas struktur perlawanan organisasi secara kuantitas yang tentunya akan semakin menambah daya dobrak dan kualitas dari organisasi. Satu hal yang mesti kita tegaskan, bahwa Power Sharing Keuasaan tidak akan pernah terjadi ketika posisi tawar (Bargaining position) dalam hal kekuatan massa kita sempit dan kecil, maka pengorganisiran dan pembasisan adalah mutlak bagi kita.

Kedua, Kepemimpinan Dan Kepeloporan. Prinsip kepemimpinan dan kepeloporan adalah premis umum yang menjadi keharusan dikalangan mahasiswa. Kenapa? Karena hanya mahasiswa yang mempunyai kesempatan dan waktu luang untuk mempelajari dan menganalisa segala problem-problem massa rakyat dan negara dibanding sektor rakyat lainnya (Buruh yang terlalu disibukkan padatnya jam kerja, petani yang terkuras tenaganya mengurusi sawahnya,nelayan yang nampak tertelan waktu air ombak dan laut maupun kaum miskin kota yang selalu merasa rendah dan ogah untuk mendalami ilmu pengetahuan), maka “Sepatutnyalah mahasiswa menjadi corong utama yang berada paling depan untuk menyuarakan setiap tindakan ketidakadilan dan kebatilan yang terjadi”, dengan demikian maka akan menimbulkan efek domino yang secara psikologis akan memberikan keyakinan-keyakinan kepada massa bahwa telah ada yang memulai dan kitapun harus turut serta untuk bertindak seperti layaknya mereka yang telah memulainya.

Ketiga, Kolektifisme. Ini merupakan prinsip kebersamaan yang menjadi sarana mempererat dan mempertajam hubungan emosional dan rasa empati serta tenggang rasa antar sesama kader atau anggota-anggota organisasi. Kebersamaan adalah kunci dari segala-galanya, karena dengan kebersamaan dan sikap mengutamakan kepentingan bersama di atas segalanya tersebut maka sebuah organisasi akan lebih solid, kuat dan tak gampang dipatahkan. Slogan dan jargon Sama Rasa, Sama Rata atau Satu Disakiti, Semua Dilukai terasa menjadi pandangan spiritual yang sangat menggugah hati dan pikiran untuk menempatkan kebersamaan dan kolektivisme di atas segalanya.

Keempat, Kritik-Self Kritik [9] . Dalam mengelola sebuah organisasi, maka salah satu faktor menentukan dalam mengukur keunggulan dan kemampuan, kelemahan, ancaman serta peluang adalah dengan metode Kritik-Self kritik dalam ranah bagaimana menentukan sebuah keputusan-keputusan secara objektif dan menghindari subjektifitas dalam rangkaian kerja organisasi. Bergerak bukan hanya sekedar bergerak, namun mestilah disejajarkan dengan realitas ukuran target sejauh mana capaian yang telah kita lakukan dan langkah apa yang harus kita lakukan berikutnya. Kririk-Self Kritik bukanlah ajang penghakiman terhadap pribadi kader maupun organisasi, namun merupakan sebuah ajang mencari solusi yang lebih matang dan lebih maju dari solusi sebelumnya agar yang terjadi adlah sebuah progres dan bukanlah regres.

Kelima, Sentralisme Demokrasi [10] . Sentralisme Demokrasi adalah prinsip pembimbing penuntun kita dalam menjalankan organisasi. Prinsip ini menjamin bahwa kita akan bergerak sebagai kesatuan yang terorganisir. Sentralisme demokrasi berarti sentralisme yang didasarkan pada demokrasi dan demokrasi dibawah kepemimpinan tersentralisir. Sentralisme berdasarkan pada demokrasi berarti memperhitungkan segala sesuatu berdasarkan keseluruhan kepentingan dan kondisi organisasi. Gerakan yang baik dari organisasi berasal dari partisipasi aktif seluruh anggota dan mengambil bagian didalamnya. Keputusan-keputusan yang dijalankan dalam organisasi secara bersama diputuskan atas dan didasarkan kepada kepentingan umum. Kepatuhan terhadap prinsip sentralisme demokrasi meletakkan kondisi yang baik bagi gerakan tiap anggota dan organisasi secara baik dan hidup. Dengan cara demikian kita membuat keputusan‑keputusan, rencana‑rencana dan program yang benar dalam pergerakan kita, dan secara efektif menuntaskannya. Mempraktekan sentralisme demokrasi adalah satu cara untuk. menjamin keberhasilan kita.

Keenam, Kedisiplinan dan Kesatuan Dalam Tindakan. Satu hal yang pasti, bahwa gerakan mahasiswa hari ini terlalu dimanjakan oleh keadaan. Ruang demokrasi liberal mengakibatkan gerakan mahasiswa ikut terbuai dalam kompromi dan tawaran-tawaran politik kaum mapan yang cenderung memberikan konsesi yang seakan-akan menghilangkan watak kejam sistem kapitalisme dan tentunya dikemas sedikit lebih manusiawi. Hal tersebut ikut mempengaruhi dalam watak dan budaya mahasiswa yang cenderung malas, manja, tidak tepat waktu, sok intelektual, heroisme dan kecenderungan hanya ingin memerintah. Hal tersebut tentunya berakibat fatal dalam organisasi, tumpang tindih dan ketidakselarasan kerja adalah ujung dari segalanya yang semakin membuat posisi organisasi menjadi lemah dan keropos. Problem ini harus dipecahnya dengan membangun kedisiplinan kader yang tangguh, militan dan tak kenal lelah dalam bekerja serta menanamkan kebiasaan serta kesatuan dalam bertindak di bawah panji-panji organisasi.
_________________________________

NB. Tulisan ini merupakan tulisan lama penulis, diposkan kembali sebagai wujud keprihatinan gerakan mahasiswa hari ini. Tulisan ini dipiublikasikan sejak penulis masih menjadi anggota aktif di sebuah organisasi gerakan mahasiswa di Makassar, Sulawesi Selatan.

Catatan Kaki :
[1] Soekarno, Dalam jejak sejarah “Di Bawah Bendera Revolusi”. Sebuah moment sejarah panjang perjalan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan.
[2] Momentum kejatuhan Soeharto, Rezim otoriter Pentolan Orde Baru penguasa selama 32 tahun, adalah momentum pecahnya ledakan perlawanan mahasiswa yang mengalami stagnasi dan kevakuman sejak tragedi Malapetaka Lima Belas januari (Malari) tahun 1974-1978.
[3] Megalomania adalah sebuah konotasi tentang cara pandang hidup yang gila akan popularitas dan ketenaran.
[4] Standing Institution, merupakan sebuah kerangkan bangunan organisasi/lembaga yang terpisah atau tercerabut dari massa akar rumput-nya sehingga sinergitas dan balance antara struktur organisasi tidak berjalan dan malah semakin melemahkan konsolidasi dan koordinasi organisasi tersebut.
[5] Che Guevara nerupakan tokoh sentral selain Fidel Castro yang memimpin perjuangan Rakyat Cuba dalam menumbangkan rezim Diktator Batista dan bersama-sama meledakkan revolusi rakyat di bawah panji-panji Sosialisme pada tahun 1957-1959. Ungkapan paling tersohor dari seorang Che Guevara adalah “Kita tidak akan pernah perduli di Bawah bendera manapun kita berdiri, namun satu hal yang perlu kita ingat adalah komitmen perjuangan kita terhadap rakyat”.
[6] Meminjam istilah Lenin (tokoh utama pemimpin Revolusi Sosialis Bolshevik-Rusia 1917), “Where To Begin” dalam artikel dengan judul dan bahasa penafsiran yang sama mengenai langkah-langkah dalam tahap awal bagaimana gerakan Sosialisme Rusia memulai pembangunan gerakannya melawan rezim otoritarian “Tzar” dan memenangkan Kelas Proletar dalam Revolusi.
[7] Ibid,.
[8] Gerakan massa (Popular Struggle) adalah prinsip metodelogi dalam gerakan sosial-politik yang menempatkan jalan keluar satu-satunya melalui pergolakan, perlawanan dan pemberontakan kolektif dan massal dari massa rakyat tertindas (Kelas Proletar / Kaum Dhuafa) secara terpimpin dan terorganisir.
[9] Kritik-Self Kritik merupakan kerendahan hati dari organisasi untuk menerima kritikan baik secara personal masing-masing kader maupun organiasi secara utuh dalam makna mendapatkan masukan-masukan yang bersifat membangun dalam kerangka melihat, mencermati dan mencari titik-titik kelemahan organisasi.
[10] Lebih jelasnya, baca Artikel Lenin tentang “Organisasi Komunis : Metode dan Cara Kerjanya”. Lihat juga artikel Ernest Mandel tentang “Gerakan Mahasiswa ; Kesatuan Teori dan Praktek”. 
______________________________________
Sumber Asli: www.herdiansyah.web.id