Dignity adalah martabat yang harus diemban oleh sebuah
bangsa terkait dengan kemandirian dan kedaulatan. Sebuah bangsa sering menjadi
bulan-bulanan bangsa lain ketika martabat bangsa tersebut tergadaikan secara
telanjang tanpa bisa berbuat banyak untuk mengambil kembali martabat yang
tergadai tersebut.
Kasus hilangnya martabat bangsa Indonesia kembali menguak
ketika minggu lalu beberapa media mengulas tentang kuasa wilayah udara
Indonesia, di sekitar Pulau Batam dan Kepulauan Natuna (dikenal di
International Civil Aviation Organization/ICAO sebagai sektor A), yang
dikontrol oleh navigasi udara Singapura.
Dengan alasan bahwa Pemerintah Indonesia secara teknologi
dan sumber daya manusia (SDM), maka ICAO menyetujui Singapura yang mengelola
sektor A mulai tahun 1946 hingga kini. Di tengah perkembangan teknologi dan SDM
seharusnya Indonesia mampu mengelola sektor A bukan mendelegasikan pengelolaan
sebagian ruang udara yang ada kepada bangsa lain.
Meskipun sudah melalui beberapa pembahasan dan negosiasi
sejak tahun 1972, sektor A belum juga kembali ke Indonesia. Lebih runyam lagi
jika ASEAN Open Sky Policy dimulai pada tanggal 1 Januari 2015 dan permasalahan
ini tak kunjung selesai, dignity kita sebagai bangsa yang berdaulat akan
semakin jauh panggang dari api.
Lalu kemungkinan munculnya Air Traffic Flow Management
(ATFM) Center di saat berlakunya ASEAN OPEN Sky Policy, jika kita lengah akan
semakin merendahkan kita jika Sigapura menjadi Pusat ATFM regional ASEAN karena
seluruh wilayah udara Indonesia akan di kontrol oleh mereka. Ini sebuah
kebodohan yang mendasar.
Hambatan Penguasaan
Sektor A dan ATFM
Pernyataan Menteri Perhubungan, EE Mangindaan, di media pada
saat peresmian Air Navigation Indonesia bahwa Indonesia akan mengontrol seluruh
wilayah udara Indonesia (termasuk sektor A) pada tahun 2016, sepertinya perlu
dikaji ulang. Untuk wilayah sektor A, mulai dari permukaan laut hingga
ketinggian 37.000 kaki, Indonesia mendelegasikan tanggungjawab pemberian
pelayanan navigasinya kepada Singapura.
Atas nama Pemerintah RI, Singapura memungut jasa pelayanan navigasi penerbangan (Rans Charge) di sektor A untuk selanjutnya diserahkan pendapatan tersebut kepada Pemerintah Indonesia.
Atas nama Pemerintah RI, Singapura memungut jasa pelayanan navigasi penerbangan (Rans Charge) di sektor A untuk selanjutnya diserahkan pendapatan tersebut kepada Pemerintah Indonesia.
Landasan hukum kesepakatan pendelegasian Flight Information
Region (FIR) Kepulauan Natuna kepada Singapura tertuang dalam Agreement Between
the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Singapore on
the Realignment of the Boundary between the Singapore Flight Information Region
(FIR) and the Jakarta Flight Information Region (FIR) yang ditandatangani di
Singapura pada 21 September 1995.
Sesuai Pasal 7 dari isi perjanjian tersebut menyatakan,
bahwa perjanjian dapat dikaji ulang setiap 5 tahun. Pada Pasal 10 juga
dinyatakan bahwa perjanjian tersebut mulai berlaku setelah diratifikasi oleh
kedua negara. Indonesia meratifikasi perjanjian ini pada 2 Februari 1996.
Jadi perjanjian tersebut tidak dapat berakhir tetapi hanya
dapat dikaji ulang. Nah lho, bagaimana ini? Artinya jika berpegang pada
perjanjian tersebut, maka pengendalian FIR Sektor A tidak bisa kembali ke
Indonesia seperti janji Menhub EE Mangindaan.
Berbagai pembicaran dengan Singapura sudah berkali-kali
diadakan namun selalu gagal. Pada pertemuan Regional Aviation Navigation (RAN)
yang diselenggarakan oleh ICAO di Singapura tahun 1983, permintaan Indonesia
ditolak ICAO karena Indonesia dianggap masih belum mampu mengelola kawasan
udaranya dari sisi teknologi dan SDM.
Pada pertemuan RAN berikut pada tahun 1993 di Bangkok,
Indonesia kembali gagal karena dalam pertemuan sepenting itu pihak Indonesia
hanya diwakili oleh pejabat operasional yang tidak punya kuasa memutuskan.
Sedangkan pihak Singapura mengirim Jaksa Agung, Sekjen Kementerian Perhubungan
dan Penasehat hukum laut internasional. Terlihat di sini Indonesia hanya keras
di cakap tapi begitu action keok terus.
Setelah kegagalan di Bangkok, perundingan berikutnya
dilakukan secara bilateral. Pertemuan dilakukan pada tahun 1994 di Jakarta dan
1995 di Singapura. Namun kembali Indonesia dianggap belum layak mengelola FIR
diatas Kepulauan Natuna. Pertanyaannya: apakah memang Indonesia sudah tidak
peduli dengan dignity atau ini kebodohan yang akut?
Persoalan pengelolaan FIR Kepulauan Natuna belum beres sudah muncul persoalan baru terkait dengan pelaksanaan ASEAN Open Sky Policy pada 1 Januari 2015. Persoalan bertambah rumit karena Singapura dan Thailand sudah menyatakan siap untuk menjadi pusat kontrol wilayah udara ASEAN. Jadi jika kita kembali lengah, maka tidak hanya wilayah udara Indonesia di atas Kepulauan Natuna saja yang di kontrol oleh asing, tetapi seluruh wilayah udara Indonesia dikuasai asing.
Persoalan pengelolaan FIR Kepulauan Natuna belum beres sudah muncul persoalan baru terkait dengan pelaksanaan ASEAN Open Sky Policy pada 1 Januari 2015. Persoalan bertambah rumit karena Singapura dan Thailand sudah menyatakan siap untuk menjadi pusat kontrol wilayah udara ASEAN. Jadi jika kita kembali lengah, maka tidak hanya wilayah udara Indonesia di atas Kepulauan Natuna saja yang di kontrol oleh asing, tetapi seluruh wilayah udara Indonesia dikuasai asing.
Seharusnya sebagai negara terbesar di ASEAN, kontrol wilayah
regional harus dipegang oleh Indonesia. ASEAN Open Sky itu sebenarnya tidak
ada, yang ada adalah Indonesia Open Sky. Oleh karena itu pusat ATFM harus
berada di tangan Indonesia. Bukan di Singapura ataupun Thailand.
Sayangnya kembali Indonesia tidak siap dari sisi teknologi
dan SDM karena Pemerintah belum menganggarkan rencana tersebut di dalam APBN.
Singapura dan Thailand secara teknologi, SDM dan finansial siap. Untuk
membangun ATFM diperlukan dana sekitar Rp 1 triliun. Di sini kembali Indonesia
kedodoran. Teriak saja yang kencang, tapi no action.
Jika ASEAN Open Sky sudah diterapkan dan Indonesia belum
mempunyai sistem ATFM yang kuat, maka bisa dipastikan Singapura atau Thailand
dengan melibatkan ICAO akan menguasai kontrol wilayah udara ASEAN, termasuk
Indonesia. Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Jalan Keluar
Pertama, Kementerian Perhubungan harus selesaikan segera
semua temuan audit ICAO terkait dengan keselamatan penerbangan sipil yang
membuat Indonesia masih dilarang terbang melintasi wilayah udara Eropa, kecuali
untuk beberapa maskapai penerbangan nasional. Upayakan juga supaya Indonesia
keluar dari Catagory 2 di Federal Aviation Administration (FAA) Amerika
Serikat.
Kedua, segera gunakan pegaruh Indonesia di ASEAN dan lobi ke ICAO untuk meminta Singapura segera melepaskan FIR di Kepulauan Natuna dan terakhir Pemerintah serta DPR-RI (Komisi I, Komisi 5 dan Badan Anggaran) harus menganggarkan dalam RAPBN Perubahan 2014 mendatang dana sekitar Rp. 1 triliun untuk pembangunan ATFM Center.
Semua perlu anggaran tetapi demi kedaulatan Republik Indonesia seharusnya anggaran bukan masalah. Pemerintah jangan hanya pro pada pemberian subsidi BBM tetapi persoalan dignity ini juga harus menjadi prioritas supaya kepala kita bisa tegak di pergaulan internasional.
Kedua, segera gunakan pegaruh Indonesia di ASEAN dan lobi ke ICAO untuk meminta Singapura segera melepaskan FIR di Kepulauan Natuna dan terakhir Pemerintah serta DPR-RI (Komisi I, Komisi 5 dan Badan Anggaran) harus menganggarkan dalam RAPBN Perubahan 2014 mendatang dana sekitar Rp. 1 triliun untuk pembangunan ATFM Center.
Semua perlu anggaran tetapi demi kedaulatan Republik Indonesia seharusnya anggaran bukan masalah. Pemerintah jangan hanya pro pada pemberian subsidi BBM tetapi persoalan dignity ini juga harus menjadi prioritas supaya kepala kita bisa tegak di pergaulan internasional.
(Sumber: DetikNews.Com,
22 April 2014).
Penulis: Agus Pambagio
Pemerhati Kebijakan
Publik dan Perlindungan Konsumen