Ketika Negara Dikepung Koruptor Muda

Tuesday, February 28, 2012

Oleh: Marwan Mas*,


Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan rekening gendut sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) muda. Mereka berusia 28—38 tahun dengan pangkat/golongan II-IV.

Temuan ini mengindikasi terjadinya regenerasi korupsi dari pusat sampai daerah. Korupsi tak lagi dimonopoli penguasa senior dan elite partai politik. Spirit mencuri uang negara telah merambah PNS muda dan politisi muda.

Rekening mencurigakan di birokrasi bertebaran di sejumlah institusi. Selama Februari, PPATK mendeteksi 53 pejabat eselon I dan eselon II di beberapa lembaga pemerintah memiliki rekening mencurigakan. PPATK juga menemukan 86.264 transaksi mencurigakan di birokrasi. Ketidakwajaran rekening PNS muda itu dilihat dari standar kelayakan penghasilan PNS. Perlu penjelasan tentang sumber dana, apakah diperoleh dari warisan, hibah atau penghasilan lain di luar gaji.



PNS Daerah

Temuan rekening gendut PNS muda sebenarnya bukan fenomena baru. Harta Gayus Tambunan (33 tahun), pegawai Ditjen Pajak, sangat fantastis. Ia terbukti menyalahgunakan wewenang negara. Gayus bisa disebut sebagai representasi PNS muda yang korup.

Memang setiap orang berhak menjadi kaya, termasuk PNS dan politisi, asal diperoleh tanpa melanggar hukum. Gaji dan berbagai tunjangan PNS sudah cukup untuk untuk hidup layak. Terlebih beberapa kementerian negara menerapkan sistem remunerasi dan kenaikan gaji berkala. Gayus melakukan manipulasi secara berjamaah, bahkan bersama atasannya sebagai manifestasi jalinan rantai birokrasi yang korup. Bawahan dijadikan “peluncur” untuk mencari mangsa yang bekerja dalam sebuah mafia.

Untuk memotong rantai birokrasi korupsi, bukan persoalan gampang. Setidaknya para atasan bisa menjadi contoh yang baik, tidak mencari jabatan dengan menyogok serta menerapkan pengawasan melekat secara internal. Lebih bagus lagi jika PNS muda dimotivasi untuk berani menjadi whistle blower pemberantasan korupsi serta penghargaan bagi yang berprestasi.

Fenomena itu bukan hanya di Pusat, tetapi juga disinyalir merambah sampai di daerah yang biasanya dilakukan bendaharawan proyek APBN dan APBD. Modusnya beragam, antara lain mentransfer uang proyek sebelum digunakan ke rekening pribadi, bahkan ke rekening istri dan anak-anaknya.

Transfer biasanya dilakukan menjelang berakhirnya tahun anggaran, terutama menjelang akhir Desember. Semacam pencucian uang dengan harapan mendapat bunga, meski diberi alasan sebagai titipan proyek kementerian untuk mencegah pemotongan anggaran di tahun berikutnya. Makin lama tersimpan, semakin tinggi pula bunga uang yang nantinya akan dibagi-bagi atau memberi upeti kepada pejabat yang memberi proyek.


Proses Pewarisan

Gustav Radbruch menggaungkan bahwa hukum bertujuan memperoleh keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Tetapi penegakan hukum lebih mengembangkan pemahaman positivistik dan keadilan prosedural, sedangkan keadilan substansial hanya dijadikan slogan.

Hal itu dimulai sejak pembentukan hukum dengan skandal jual-beli pasal undang-undang di DPR sampai pada proses penegakannya. Peraturan yang dibuat parlemen adalah produk politik, sehingga hukum sering dibuat tidak bertenaga. Secara teori sebetulnya sudah “cacat sejak lahir” yang membuat daya serangnya melempem jika berhadapan dengan kekuasaan.

Perang terhadap korupsi tidak akan pernah menang jika ada pembiaran dan toleransi. Makanya, susah dibantah telah berlangsung sebuah “proses pewarisan” yang melahirkan “talenta baru koruptor” secara sistematis di kalangan birokrasi dan partai politik. Ia tumbuh secara estafet lantaran hukum dan perangkatnya kehabisan tenaga. Para pemilik talenta baru ini berkembang jauh lebih kreatif dari seniornya.

Generasi muda di kalangan PNS dan politisi yang tertular pola pikir pragmatis akan menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekayaan. Sejumlah politisi muda yang diduga terlibat korupsi merupakan manifestasi dari kerusakan peradaban politik. Praktek politik uang untuk meraih jabatan puncak di partai politik atau saat melakukan kampanye, adalah perilaku yang ditiru dari para seniornya.

Begitu banyak politisi muda yang terjebak, sehingga wajar jika rakyat menggugat; untuk apa memilih generasi muda jika perilakunya tak jauh beda dengan para seniornya yang melakukan korupsi? []
Tentang penulis:

* Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar


Source: Lampung Post, 24 Februari 2012