Masa Bodoh, Meski Sondang dan Mesuji Menguji

Thursday, December 29, 2011

Oleh: Ahmad Baedowi, 


Tetap tak ada yang menggembirakan dalam perkembangan dunia pendidikan Tanah Air sepanjang 2011. Angka anak sekolah yang terlibat praktek kekerasan semakin meningkat, kualitas SDM manusia menurut versi UNDP juga menurun drastis, dan yang lebih tragis adalah kematian seorang Sondang, mahasiswa UBK, karena membakar dirinya sendiri dan diyakini teman-temannya sebagai martir dalam perlawanannya terhadap ketidakberdayaan pemerintahan SBY dalam menangani hampir seluruh sendi dan isu kehidupan sosial-politik-hukum dan keagamaan di Indonesia.

Jelas sekali problem leadership akut menghinggapi sebagian besar masyarakat Indonesia. Hampir dapat dipastikan, tidak satunya kata dan perbuatan dari para pemimpin negara, adalah penyebab utama terjadinya karut-marut kehidupan manusia Indonesia. Terakhir, kita diuji oleh Mesuji, sebuat tragedi kemanusiaan ala kepemimpinan yang katanya demokratis, tetapi sama sekali tak berhati nurani. Belum lagi skandal bank century, yang pasti akan menjadi berabad-abad lamanya karena ditaksir tak akan pernah selesai.

Tanyalah anak SD, meskipun tak ada di buku induk Sejarah dan PPKn, mereka tahu bagaimana kasus dan skandal-skandal di atas terjadi dan apa artinya bagi mereka. Seakan sebuah pola hidden curruculum, kasus dan skandal-skandal ini tak pernah tuntas dipelajari siapa saja karena hampir semua orang seperti kehilangan akal sehat dan hati nurani sehingga proses pendidikan yang berlaku adalah prinsip masa bodoh, masa bodoh, dan masa bodoh.

Sondang menjadi kondang, tapi pemerintah dan masyarakat seperti masa bodoh. Tidak seperti di Aljazair dan Tunisia, peristiwa para-suicide seperti kasus Sondang sontak menimbulkan revolusi jalanan karena masih ada hati nurani. Pembantaian di Mesuji, terlepas dari kontroversinya, seakan tak bertaji karena peristiwa tersebut selalu dimaknai secara politis dan dibahas dari televisi hingga warung kopi tanpa hati. Pemimpin bangsa ini, selalu sibuk untuk membantuk komisi, tim pencari fakta, dan jika ditanya mengapa kasus tak kunjung selesai, jawabannya selalu bersembunyi di balik prosedur hukum dan fatamorgana.

Bayangkan, jika setiap masalah tak kunjung diselesaikan, roh dan jiwa setiap peristiwa pasti akan menggantung dan bisa jadi memengaruhi hati dan perasaan para guru, siswa dan siapa saja yang peduli dan tidak peduli dengan kasus dan skandal di atas. Akhirnya, sifat buruk akan cepat menyebar ke relung pikiran dan rasa setiap orang sehingga mereka terkadang menjadi gelap mata bahkan tak jarang menghilangkan sikap dan kebersamaan dalam sebuah bangsa.

Karena itu tak mengherankankan jika masyarakat, mungkin termasuk guru dan siswa, cenderung reaktif dan anarki karena mereka ingin setiap masalah bisa cepat terselesaikan. Pikiran instan muncul sesungguhnya lebih banyak karena kekecewaan terhadap akumulasi kesulitan hidup, baik karena motif politik, sosial, ekonomi bahkan agama. Jika ini yang terjadi, sangat berat tugas bidang pendidikan dan kebudayaan di tahun mendatang, 2012.

Jelas kita memerlukan revolusi kurikulum pendidikan dan kebudayaan di tahun 2012, agar jejak gelap kasus dan skandal kehidupan di tahun 2011 bisa dihindari sehingga pikiran masa bodoh secara perlahan-lahan juga bisa dihilangkan. Saatnya pihak Kemendikbud menyatukan pikiran, kata, dan perbuatan, agar tak terjadi proses pengajaran yang sarat kemunafikan kepada para siswa. Dan konsekuensi dari semua itu adalah Kemendikbud harus berlapang dada untuk merevisi semua jenis juklak, juknis dan peraturan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keterbukaan dan kemandirian dalam KTSP.

Jika kita tengok sejarah kurikulum kita sejak Kurikulum 1950 atawa rencana pelajaran 1947 bergulir hingga kurikulum berbasis kompetensi (KTSP), itu berarti telah terjadi proses pergantian kurikulum sebanyak delapan kali. Kebiasaan kurikulum selama enam dekade itu adalah menempatkan pemerintah sebagai satu-satunya perumus kurikulum. Komunitas sekolah (baca: guru, kepala sekolah, dan masyarakat) hanya sebagai pelaksana kurikulum, yang wajib membaca dan memahami berlembar-lembar juklak, juknis, dan garis-garis besar program pengajaran dari pusat.

Salah satu kesalahan mendasar Mendiknas dalam mengelola urusan kurikulum adalah ketiadaan assessment yang komprehensif tentang daya dukung sarana-prasarana sekolah, serta tingkat kemampuan para guru dalam memahami makna kurikulum. Hal lain yang juga memilukan hati adalah miskin dan lemahnya perangkat birokrasi dan aparatur yang paham makna kurikulum dalam sebuah proses pendidikan. Akibat terburuknya adalah pemborosan uang negara yang berlebihan demi sebuah program baru, sosialisasi baru, penataran baru, buku baru, dan sarana pendukung yang juga baru.

Sejarah pendidikan kita amat lemah dalam meyakini dan mendistribusi gagasan baru hingga ke tingkat akhir (selesai). Inilah yang secara kasat mata kita jumpai dalam praktek kehidupan sosial, politik, dan hukum di Indonesia. Apa yang terjadi di tengah masyarakat sepanjang 2011 sesungguhnya merupakan gambaran konkret tiadanya keterkaitan (alignment) antara kurikulum yang tertulis dan sistem evaluasi (test) yang dilakukan. Karena itu tak heran jika pengaruh buruk pengembangan kurikulum dalam praktek pendidikan kita berimplikasi langsung terhadap respons masyarakat terhadap kehidupan nyata. Believe it or not![]


*Penulis adalah Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta



Source:
Lampung Post, 27 Desember 2011