Kebijakan Formulasi Pidana dan Pemidanaan Koporasi (Bagian VII)

Monday, August 15, 2011

Oleh:
Prof. Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.H. *)


Karena itu, jika ketentuan demikian hendak dirumuskan sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, maka terlebih dahulu perlu disiapkan suatu badan khusus yang akan menangani korporasi bermasalah, yang dibentuk oleh pemerintah. Dengan konsep demikian, di satu sisi sanksi berupa pencabutan izin usaha, dan pembubaran dan pelarangan korporasi dapat dijatuhkan kepada korporasi, dan di sisi lain para tenaga kerja yang ada di perusahaan tetap dapat bekerja. Di samping itu, terkait dengan ketentaun Pasal 7 ayat (2) huruf d Undang-undang No. 8 Tahun 2010, yaitu pembubaran dan pelarangan Korporasi. Dalam hal ini yang menjadi pertanyaan: pelarangan korporasi itu dalam hal apa? Ini masih belum jelas, jadi kalimat itu perlu ada kelanjutannya.

Ketentuan mengenai pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tersebut, barangkali sebagai pengayaan pandangan, ada relevansinya bila dibandingkan dengan apa yang telah diputuskan dalam International Meeting of Experts on the Use of Criminal Sanction in the Protection of Environment, Internationally Domestically and Regionally, yang diselenggarakan di Portland, Oregon USA, 19-23 Maret 1994 menyebutkan: pidana yang sesuai dengan sifat dari korporasi adalah :

a. larangan melakukan perbuatan atau aktivitas yang dapat menyebabkan berlanjutnya atau terulangnya kejahatan;
b. perintah untuk mengakhiri atau tidak melanjutkan kegiatan (untuk sementara/selamanya), pencabutan izin kegiatan pembubaran usaha;
c. perampasan kekayaan hasil kejahatan dengan memberi perlindungan hak-hak pihak ketiga yang bonafid (jujur, dapat dipercaya, dan beritikad baik);
d. mengeluarkan atau mendiskualifikasi terpidana dari kontrak-kontrak pemerintah, keuntungan fiskal atau subsidi-subsidi;
e. memerintahkan pemecatan manajer dan mendiskualifikasi (membatalkan) tugas dari jabatannya;
f. memerintahkan terpidana melakukan perbuatan untuk memperbaiki atau menghindari kerugian terhadap lingkungan;
g. mengharuskan terpidana mematuhi syarat-syarat atau kondisi yang ditetapkan pengadilan untuk menjamin agar tidak mengulangi lagi perbuatannya;
h. memerintahkan publikasi fakta-fakta yang berhubungan dengan putusan pengadilan:
i. memerintahkan terpidana untuk memberi tahu orang-orang yang dirugikan oleh perbuatannya;
j. memerintahkan terpidana untuk memberitahukan kepada publik di semua negara tempat beroperasinya korporasi itu mengenai pertanggungan jawab atau sanksi yang dikenakan kepadanya, kepada cabang-cabangnya, kepada para direktur, petugas, manajer atau karyawannya;
k. memerintahkan terpidana untuk melakukan pelayanan atau kerja sosial.

Selain itu, sebagai alternatif lainnya, adalah sanksi berupa pemecatan pengurus, pelarangan kepada pengurus untuk mendirikan dan/atau mengelola korporasi baik dalam bidang yang sama maupun yang lainnya.

Selanjutnya, apabila mengacu kepada Undang-undang/Drt. No. 7 Tahun 1955 bahwa di samping sanksi-sanksi pidana tersebut, juga mengatur mengenai tindakan tata tertib dan tindakan tata tertib sementara. Untuk tindakan tata tertib meliputi :

1. Penempatan perusahaan si terpidana di bawah pengampuan untuk waktu selama-lamanya 3 (tiga) tahun dalam tindak pidana itu dikualifikasikan sebagai kejahatan, dan dalam hal tindak pidana itu adalah pelanggaran, maka penempatan perusahaan itu selama-lamanya 2 (dua) tahun.

2. Mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan menurut taksiran yang diperoleh dari suatu tindak pidana.

Sedangkan mengenai tindakan tata tertib sementara ini bukan merupakan sanksi pidana yang telah diputuskan oleh hakim, tetapi hanya merupakan tindakan sementara dalam rangka pengusutan tindak pidana (kewenangan jaksa). Dan, ini menurut Andi Hamzah 28 merupakan sanksi pendahuluan, dan jaksa berhak memerintahkan kepada tersangka sebagai tindakan sementara untuk :

1. Penutupan sebagian atau seluruh perusahaan si tersangka;
2. Penempatan perusahaan di tersangka di bawah pengampuan;
3. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada si tersangka sehubungan dengan perusahaannya itu.

Alternatif-alternatif sanksi tersebut, kiranya dapat dipertimbangkan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Pernyataan ini sesuai dengan Rekomendasi Economic and Social Council 29 yang menyatakan bahwa mengingat perubahan ekonomi dan politik yang terjadi di banyak negara, termasuk kebangkitan ekonomi pasar yang baru, maka hukum dan peraturan baru harus dikembangkan, sehingga dapat mengantisipasi dan merespon situasi yang berubah dan realitas bangkitnya ekonomi. Pertukaran informasi yang terus berlangsung dan pengalaman yang berkaitan dengan kejahatan ekonomi dan control terhadapnya dengan sanksi pidana harus diintensifkan. Pertimbangan tersebut harus diberikan sebagai masukan guna melengkapi mekanisme pengaturan sanksi pidana.


D. PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, bahwa Undang-undang No. 8 Tahun 2010 telah diundangkan sejak tanggal 22 Oktober 2010 yang menggantikan dua Undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003, telah mengakui korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dipertanggungawabkan dan dipidana. Akan tetapi kelemahan-kelemahannya masih ada. Dan, itu sebagai salah satu catatan untuk perbaikan ke depan. Di samping itu mengutif apa yang pernah dikemukakan oleh Dr. Barry A.K. Rider 30 bahwa berdasarkan pengalamannya, antara lain bahwa upaya memerangi kejahatan ekonomi masih banyak menemui kendala, di antaranya peraturan yang ada tidak cukup sempurna (inadequate and badly drafted laws), kurang sesuainya sanksi dan hukuman (inappropriate sanctions and penalties). (*)


*) Penulis adalah Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember