![]() |
Photo Ilustrasi: SHUTTERSTOCK |
Oleh
Hwian Christianto
Pihak mana yang paling membutuhkan keadilan? Pastilah pandangan akan tertuju kepada mereka yang sedang berperkara di sidang pengadilan karena memang mereka kesana untuk mendapat jawaban atas ketidak adilan. Hasilnya, apakah keadilan itu diperoleh? Semua bergantung dari siapa yang menjawab dan dalam kacamata mana ia menginterpretasikan hal itu. Jika demikian relatifkah keadilan itu.
Hukum sebagai alat untuk mencapai keadilan merupakan mimpi bagi setiap mereka pencari keadilan. Hanya sejarah mencatat betapa hukum juga bisa berubah menjadi alat pengesah kebiadaban ketika berada ditangan yang salah. Sejarah Romawi mencatat, ketika Raja Loius XIV bertahta justru hukum menjadi kendaraan bagi dirinya untuk memenuhi semua keinginannya walaupun harus menginjak-injak nasib orang banyak.
Di tangan Hitler, hukum menjadi alat untuk membenarkan semua tindakan bejatnya. Keadilan pun dilihat sebagai satu sisi mata uang yang tidak sempurna dan selalu tidak sempurna sebelum sesuatu membalikkannya. Hukum dan keadilan seakan begitu ditentukan oleh siapa yang berkuasa meggunakannya. Revolusi Perancis akhirnya menegaskan prinsip hukum yang berkeadila ini dengan menuliskan semua ketentuan hukum itu agar tidak disalahgunakan oleh penguasa (legality principle) hal inilah yang hingga kini berlaku di Indonesia.
Putusan Pengadilan Negeri Bandung atas Kasus Ariel, sebuah pertanyaan yang menyembul di permukaan adalah apakah putusan itu adil? Sebagai negara hukum yang selalu berpatokan pada ketentuan hukum yang berlaku kasus Ariel memang harus dilihat dari rangkaian tindakan yang dilakukannya dikaitkan dengan UU Pornografi.
Dalam kasus ini memang ia didakwa membuat video porno tersebut walaupun ia tidak mengaku tapi kenyataannya Majelis hakim berpendapat terbukti bersalah atas kasus tersebut. Hal yang sangat menarik ketika menyimak putusan hakim atas kasus Ariel dimana terdakwa Ariel terbukti bersalah dan dipidana 3 tahun 6 bulan dipotong masa tahanan ( tinggal 2 tahun 11 bulan) justru dengan tegas menyebut Ariel sebagai pelaku atas kejahatan pornografi tersebut. Ariel tidak lagi didudukan sebagai korban tetapi sebagai pelaku kejahatan pornografi.
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum didasarkan pada Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2008 jo. Pasal 56 ke-2 KUHP dimana menganggap Ariel sebagai pelaku pembuat, pengedar, menyebarluaskan, menggandakan, dll pornografi. Pemahaman terhadap Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2008 tersebut pada dasarnya tidak boleh dilepaskan dari Pasal 4 UU a quo yang secara istimewa mengecualikan pembuat pornografi untuk kepentingannya sendiri.
Kehadiran pasal 4 UU No. 44 Tahun 2008 inilah yang sebenarnya menimbulkan masalah dikemudian hari dalam menentukan kapankah seseorang dapat dinilai bersalah karena membuat pornografi untuk dipublikasikan padahal pada awalnya setiap orang membuat pornografi ditujukan untuk koleksi diri pribadi. Tarik ulur kepentingan antara privasi dan kepentingan masyarakat dalam hal kesusilaan justru semakin tampak ketika kasus Ariel mencuat.
Putusan Pengadilan boleh dianggap lebih melihat kepentingan masyarakat yang menjadi korban atas pornografi yang dilakukan oleh terpidana Ariel. Hanya saja, bukankah Pasal 4 UU No. 44 Tahun 2008 justru “membebaskan’ Ariel dari tuduhan Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2008 jika ia membuat untuk dirinya sendiri. Keadilan hukumkah? sepertinya masyarakat harus menunggu hasil banding dan hasil-hasil proses hukum selanjutnya.
Pertanyaan akan model keadilan juga sedang dipertanyakan oleh mereka yang melihat kasus-kasus yang terjadi, mereka adalah masyarakat. Suasana Revolusi Perancis pecah sebagai wujud ketidakpuasan atas ketidakadilan penguasa yang dilampiaskan dengan membakar Penjara Bastille dan memenggal Louis XIV di depan umum.
Keadilan ternyata dimaknai dengan menghancurkan simbol ketidakadilan dalam bungkus kekerasan dan pembunuhan secara masal. Keadilan masyarakat ternyata tampak dalam suasana frustasi dan dilaksanakan dengan membabi buta tanpa sistem yang jelas. Tanpa sadar masyarakat sendiri pun menciptkan sebuah ketidakadilan dengan mengambil nyawa orang lain, menikmati kekerasan demi terciptanya sebuah mimpi keadilan dan kemanusiaan. Sungguh suatu hal yang ironis.
Masih segar dalam ingatan, Prita yang mendapatkan dukungan begitu kuat oleh masyarakat pada akhirnya Putusan Pengadilan berpendapat sama akan ketidak bersalahannya. Sejak awal, kasus Ariel menarik banyak pihak karena memang ia seorang publik figur yang dikenal baik oleh masyarakat. Kelompok pendukung pun terbelah, ada yang pro dan kontra terhadap Kasus Ariel tersebut bahkan aksi-aksi berlebihan pun ditunjukkan sebagai tanda protes. Jadi masyarakat yang mana sebagai penilai nomor wahid atas kasus tersebut. Tidak heran jika kuasa hukum terpidana Ariel mengatakan “Keadilan itu nggak perlu ada desakan dari dari masyarakat”.(fakhmi k./detikhot).
Sebagai negara yang mendasarkan kehidupannya kepada Tuhan, setidaknya keadilan itu dianggap sebagai nilai transendental yang menjadi urusan Yang Maha Kuasa. Manusia sangat terbatas untuk memahami apa itu keadilan dan bagaimana megukurnya. Keadilan sering disalah mengerti dengan kepuasan, kebahagian, atau kesenangan yang sifatnya sangat subyektif sehingga sangat bermasalah manakala ditarik batas obyektifnya.
Tuhan yang menentukan bersalah atau tidaknya seseorang merupakan nilai agama yang luhur untuk diemban, hanya bagaimana dengan tugas pengadilan di dunia. Keadilan seakan menjadi mimpi ketika tidak ada usaha menciptakan keadilan.
Bismar Siregar menekankan bahwa justru memahami keadilan dari Tuhan asalnya Hakim bertanggung jawab kepadaNya. Irah-irah “Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa” bukan sekedar mantra atau pun stempel agamawi untuk membenarkan putusan pengadilan tetapi tanggung jawab pengadilan dalam usaha mencapai keadilan yang berke-Tuhanan. Menggapai keadilan Tuhan membutuhkan kepekaan akan kehendak Dia, keikhlasan dalam berpikir dan takut akan murkaNya bila ada ketidak adilan. Demikian pula bagi terpidana, ia tidak lagi melihat pada berat atau tidaknya pidana/hukuman yang dijatuhkan tetapi seberapa ia sadar atas kesalahan dengan dasar kebenaran yang dia ingin perbaiki. Inilah keadilan yang mulia, menyadarkan terpidana, penegak hukum demikian juga masyarakat.
Bukan melulu keadilan itu dimaknai “yang salah yang dihukum” tetapi “yang salah yang diberi kesempatan untuk sadar akan kebenaran”. Mampukah bangsa ini? Pancasila cermin diri bangsa yang sejati.
*) Hwian Christianto SH MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya. Kontak person: 085 631 73015. Email: hwall4jc@yahoo.co.id
Source: Gagasan Hukum