Oleh:
Dr. Hj. Rahayu Hartini, S.H., M.Si., M.Hum.
A. PENDAHULUAN

Semangat untuk berkorban, berbakti, berjuang demi bangsa dan Negara cenderung hilang, karena sudah tidak ada lagi musuh yang mampu membangkitkan persatuan dan rasa kebangsaan. Ya… mereka lupa bahwa setelah revolusi fisik di masa lalu justru musuh-musuh bangsa semakin banyak dan beragam. Di era modern, era global seperti sekarang ini justru perjuangan semakin berat. Sebab musuh tidak hanya sekedar berasal dari luar, tidak nyata bahkan bisa jadi sosoknya adalah diri kita sendiri. Musuh tersebut bisa berupa kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, ketidakrelaan untuk berkorban terhadap sesama, berempati terhadap kondisi social, kemalasan dan lain sebagainya. “Kemalasan” contohnya, bila “penyakit” ini menjangkit pada mahasiswa sebagai bagian dari generasi muda akan mengakibatkan kebodohan yang berkepanjangan. Malas membaca buku, malas mengupdate ilmunya, dan malas-malas yang lain…maka disamping kebodohan bisa menimbulkan keterbelakangan maupun kemiskinan. Sementara peran dan sumbangsih generasi muda sangat diharapkan, terlebih dalam konteks kekinian dimana penegakan hukum sedang dipertanyakan. Ironis memang, meskipun Indonesia disebut sebagai Negara hukum. Sejatinya hakikat dari hukum adalah prinsip keadilan, baik keadilan yang berbasis individu maupun sosial.
Sementara itu pada sebuah blog “Keuangan Negara” di internet sempat saya baca, bahwa ; pada suatu saat, pernah terbetik suatu keinginan dari berbagai pihak, terutama para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar lembaga legislatif di republik kita ini memiliki hak untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana halnya lembaga eksekutif.
Pada suatu saat lain, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terpaksa harus menginap di ’hotel prodeo’, karena oleh para penegak hukum di republik ini telah dinyatakan melakukan korupsi berjama’ah. Padahal, berbagai keputusan yang dituduhkan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut ternyata diputuskan bersama-sama lembaga eksekutif dalam suatu forum sakral dan dituangkan dalam dokumen resmi yang disebut dengan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Kemudian, banyak pihak dipaksa untuk mengernyitkan keningnya ketika mengetahui seorang petinggi pemerintahan dan juga seorang pejabat suatu perusahaan negara yang bergerak di bidang perbankan dituduh telah merugikan keuangan negara, padahal masyarakat menyang-sikan bahwa uang tersebut memang uang Negara dalam arti sebenarnya.
Sementara itu, para birokrat di berbagai lembaga pemerintah merasa ragu dalam mengambil keputusan, ataupun bahkan menolak menduduki jabatan tertentu terkait dengan pengelolaan keuangan negara, karena kurang memahami berbagai konsep (baru) keuangan Negara, sehingga khawatir tertimpa musibah.
Di lain pihak, karena ilmu keuangan negara yang disoroti dari berbagai dimensi keilmuan kurang berkembang di Indonesia, para cerdik pandai merasa ragu memasuki wilayah keilmuan ini , dan hanya sekedar mencoba meraba-raba dan membuat tafsiran dari sudut pandang keilmuan yang dimilikinya.
B. PROBLEMATIKA PENEGAKAN HUKUM
Ada 3 (tiga) hal yang mengedepan terkait dengan penegakan hukum kita melalui reformasi lembaga peradilan terutama kekuasaan kehakiman.
Pertama, maraknya mafia peradilan (judicial corruption) yang melibatkan hakim-hakim dan para penegak hukum lainnya (catur wangsa penegak hukum). Judicial Corruption terasa menyengat tetapi tidak dapat terlihat atau dibuktikan secara formal karena pelaku-pelakunya terdiri dari orang-orang yang pandai memanipulasi hukum untuk saling melindungi.
Menurut Busyro Muqoddas, unsur (aktor) mafia peradilan adalah: Polisi, Jaksa, Hakim, Pengacara, tapi jangan di generalisasi..!. Hanya oknum-oknum saja yang melakukan, namun dilakukan secara sistemik. Aktor ini berjalan 20-30 tahun yang lalu, dan aktor-aktor ini semakin berkembang sejak 2-3 tahun lalu seperti aktor pajak Gayus Tambunan, dan aktor politik .
Modus yang dilakukan ada dua macam; hard trick dan soft trick. Hard trick, contoh dengan memberikan pasal-pasal yang membuat tersangka takut, lalu di intervensi lewat “orang lain/ operator lapangan” dengan menceritakan kejelekan JPU, lalu dip eras. Hal ini merupakan salah satu contoh riil, bagi hasil antara jaksa atas hasil pemerasan.(*)
(Bersambung ke Bagian II)
(*) Penulis adalah Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang.
Menghubungi Penulis:
Handphone: 081 233 746640
Email: yayukachmad@yahoo.co.id