Mengebiri Wewenang Mahkamah Konstitusi

Monday, June 20, 2011

JAKARTA - JLC: Politikus Senayan dan pemerintah semestinya tak menutup diri ketika membahas rancangan undang-undang--kecuali jika ada motif jahat sehingga publik tak perlu tahu. Apalagi yang dibahas persoalan mahapenting, yakni revisi Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Khalayak terkejut lantaran banyak wewenang lembaga yang lahir di era reformasi ini dipreteli.

Salah satu poin penting yang disoroti menyangkut wewenang Mahkamah sebagai penguji undang-undang. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah sepakat membatasi wewenang hakim konstitusi. Mereka dilarang mengeluarkan putusan bersifat ultra petita atau memutus sesuatu di luar permohonan. Aturan ini dituangkan dalam pasal 45-A rancangan revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Selama ini hakim konstitusi dianggap mengambil alih fungsi legislatif lantaran sering menciptakan aturan baru. Tapi keleluasaan seperti ini amat diperlukan agar tidak terjadi kekosongan aturan yang membuat negara kacau. Semestinya para pembahas rancangan revisi itu mendengarkan pendapat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. Menurut dia, larangan ultra petita mutlak ditetapkan dalam sengketa perdata, tapi tidak demikian halnya dalam peradilan konstitusi.

Ada pula keinginan menghapus wewenang Mahkamah dalam menangani sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Tidak dicantumkannya wewenang ini dalam rancangan revisi tersebut semakin membuka kemungkinan itu. Wewenang hakim konstitusi ini sebetulnya bertumpu pada Undang-Undang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu. Tapi, karena dalam revisi undang-undang Mahkamah tersebut tidak dikukuhkan, wewenang itu bisa terhapus kapan saja.

Upaya itu semakin kentara dengan munculnya draf Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Di situ diatur mekanisme baru dalam penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah. Pemutusnya bukan lagi Mahkamah Konstitusi, melainkan pengadilan tinggi yang berada di bawah Mahkamah Agung. Perubahan itu bukan mustahil membuat penyelesaian sengketa itu amburadul. Para hakim tak bisa memutus sengketa secara cepat karena selama ini telah kebanjiran perkara biasa. Pengadilan tinggi juga akan lebih rawan dimasuki mafia hukum dibandingkan dengan Mahkamah Konstitusi.

Keinginan mengendalikan hakim konstitusi pun terlihat dalam rancangan revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Lihat saja aturan mengenai pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi. Majelis yang bertugas menjaga kode etik hakim ini melibatkan pula orang luar, antara lain Ketua Komisi Yudisial. Tapi rada aneh jika ternyata majelis kehormatan juga beranggotakan seorang anggota DPR. Keterlibatan politikus Senayan dalam pengawasan hakim konstitusi dikhawatirkan justru mengundang campur tangan politik di lembaga peradilan ini.

Sejumlah poin yang jadi sorotan masyarakat itu sebaiknya diperhatikan Dewan dan pemerintah. Mumpung rancangan perubahan undang-undang itu belum disahkan, ada baiknya pembahasannya melibatkan masyarakat luas.

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi memang perlu disempurnakan. Tapi upaya perbaikan ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Jangan sampai niat baik ini malah berakibat buruk: praktek penyelenggaraan negara semakin amburadul.(*)


Source: Koran Tempo, Senin 20 Juni 2011