Ulat Demokrasi Lokal

Thursday, May 26, 2011

Dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di Jakarta, Kamis (28-4) lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyesalkan masih adanya tangan gelap yang melakukan penyimpangan anggaran publik sehingga tidak memberikan dampak yang besar dalam menumbuhkan perekonomian masyarakat khususnya di daerah.

Kerisauan Presiden berbanding lurus dengan potret pelayanan publik usai 10 tahun otonomi daerah dijalankan. Kualitas pelayanan publik di daerah boleh dibilang masih rendah. Hanya sekitar 10 persen dari 524 daerah (33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota) yang mampu melakukan pelayanan publik dengan baik. Ini belum terhitung dengan aneka pemborosan yang dilakukan pemerintah daerah karena melakukan kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan rakyat. Tak heran jika jumlah penduduk miskin dan penganggur terbuka masih cukup tinggi, yakni 31,02 juta dan 8,59 juta jiwa (BPS, 2010).

Otonomi daerah sebagai pemurnian demokrasi menjadi sia-sia karena hanya dimaknai sebagai momentum pelimpahan kewenangan yang luas kepada daerah tanpa diikuti penciptaan ruang bagi publik mengaktualisasikan hak-hak politik dan ekonominya. Jean Francoisn Revel (1993:7) mengatakan otonomi demokrasi harus menjadi cita-cita dalam kesadaran rakyat dan realitas praktis pemerintahan. Artinya demokrasi harus mencerminkan preferensi kebutuhan yang murni, berasal dari dan untuk rakyat.

Namun, akhir-akhir ini gelombang pemekaran daerah bukan untuk mendekatkan pelayanan publik pada rakyat, melainkan justru meningkatkan perilaku korupsi para pejabatnya. Maka menjadi ketika seorang koruptor bisa memimpin daerahnya dari penjara seperti yang pernah menimpa Bupati Subang Eep Hidayat akibat dugaan korupsi upah pungut Rp 3,2 miliar. Apa daya monopoli kekuasaan institusi hukum untuk menjerat perilaku korupsi politisi (kepala daerah, DPRD) masih seperti membakar lumbung untuk mendapatkan tikus kecil. Yang dijerat hukum hanya pencuri uang berskala kecil dan bukan elite kekuasaan.


Cacat Politik

Esensi politik yang melekat dengan moral sebagaimana cita-cita human condition-nya Hannah Arendt (1948) telah direduksi politik machiavellian yang memenggal nilai-nilai moral dari politik. Politik hanya bersentuhan dengan kompetisi merebut kekuasaan an sich sembari menendang jauh prinsip moralitas berpemerintahan. Pasca 1998 kita banyak memiliki partai agama untuk membawa harapan asketis menuai politisi yang berakhlak, tetapi ternyata tak menjamin kualitas perpolitikan bersih. Uang dan kekuasaan masih menjadi morfin yang memfondasi partai hingga menyerupai “rumah hantu” yang gagal memberikan pencerahan bagi politisi dan pelembagaan demokrasi.

Kekuasaan yang awalnya merupakan area humanisasi yang mengelola politik sebagai jalan sakral menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat justru menciptakan ruang politik abu-abu (the political gray zone) yang membuat kita sulit memilah mana politisi bersih dan mana politisi imitasi. Mana demokrat murni dan mana demokrat oplosan.

Justru di atasnya, kepentinganlah yang menjadi pemandu tunggal perilaku politisi mengejar roti kekuasaannya. Bukan nurani, akal sehat dan prinsip-prinsip ideologi yang jelas, sehingga demi sesuap nasi kekuasaan misalnya banyak politisi (lokal) yang mulai menggadaikan komitmen ideologisnya dengan aksi loncat partai. Seperti Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf, politisi asal PAN yang pindah haluan ke Partai Demokrat (PD) karena berambisi ingin jadi gubernur. Gubernur Sulawesi Utara S.H. Sarundajang yang diusung PDIP sebelumnya justru terpilih sebagai anggota Dewan Pembina PD 2010—2015 atau Gubernur NTB Zainur Majdi (dari Partai Bulan Bintang) menjadi Ketua DPD PD NTB 2011—2016.

Partai menjadi kendaraan ambisi politik politisi untuk mengekstensifkan kekuasaan yang koruptif. Ibaratnya apa pun nama partainya, berahi kekuasaanlah yang harus terdepan sambil lalai merawat amanah rakyat.

Mencengkeram demokrasi lokal kita. Pertama fenomena pluralisme semu (feckless pluralism). Walaupun menjalankan pemilu dan rotasi kekuasaan tetapi di sisi lain esensi demokrasi tak tersentuh. Ini karena demokrasi hanya melahirkan rumus budaya politik yang tidak kompatibel dengan agenda kebangsaan dan kehidupan rakyat (minus keteladanan, kinerja yang mengandalkan rasionalitas: intelektual dan keterampilan memimpin) hingga terlemparnya peradaban moral dari lembaga kekuasaan.

Kedua, mengutip Thomas Carothers, The End of the Transition Paradigm dalam Journal of Democracy (2002), fenomena dominannya kekuasaan politik (dominant power politic) baik institusi kekuasaan (lokal) maupun partai. Lembaga pemerintah (daerah) menjadi sumber nafkah: uang, pekerjaan, informasi publik untuk melayani kepentingan penguasa. Kekuasaan tidak lagi inheren dengan hasrat kolektif publik, tetapi menjadi arena penyuplai prestise dan sumber daya bagi pemburu kekuasaan (power seekers), baik itu politisi, makelar maupun pengusaha di pusat sampai daerah.

Dua faktor di atas ini bak ulat bulu yang memakan pohon demokrasi lokal tempat “kehidupan” rakyat bersandar. Jika diabiarkan, masa depan demokrasi akan merana berhubung rakyat tidak mendapatkan hak kesejahteraannya karena disabotase elite-elite penguasa yang dikongsi para pemilik modal.


Politik Presentasi

Kita membutuhkan “politik presentasi” yang mempresentasikan kepentingan konkret masyarakat dengan memperkuat keberadaan dan hak-hak masyarakat sipil. Misalnya, demokrasi harus menjamin alternatif keikutsertaan langsung rakyat menentukan agenda dan kebutuhannya. Keikutsertaan ini tidak hanya pasif (pemilu) yang mudah dimanipulasi, tetapi juga bersifat agresif (petisi, demonstrasi) dalam mengontrol kekuasaan daerah yang dapat difasilitasi oleh berbagai kelompok kepentingan, LSM, maupun perguruan tinggi.

Ini sejalan dengan pandangan Saldi Isra (2009) bahwa otonomi daerah selama ini gagal karena tidak diikuti dengan program demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan di daerah sehingga penyimpangan kekuasaan merebak liar.(*)



(*) Oleh: Umbu TW Pariangu
Dosen Undana, Kupang, mahasiswa Pascasarjana FISIP UGM