Jangka waktu penyelesaian pengujian undang-undang didasarkan skala prioritas.
Ketiadaan jangka waktu penanganan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat kritikan dari sejumlah LSM. Kritikan itu datang dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Peneliti Elsam Wahyudi Jafar mengeluhkan lamanya berperkara dalam pengujian undang-undang. Ia mencontohkan saat dirinya terlibat dalam pengujian UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang setahun baru diputus. “Saya pernah mengajukan pengujian UU ITE, saya menunggu setahun baru diputus,” kata Wahyudi beberapa waktu lalu di Gedung YLBHI Jakarta.
Menurutnya, kecenderungan MK memutus perkara pengujian undang-undang yang publisitasnya kurang, akan relatif lama. Padahal perkara yang pernah diajukan terkait kepentingan masyarakat marjinal. Seperti Pengujian UU Perkebunan yang menyangkut masyarakat petani yang kerap dikriminalisasi oleh korporasi perkebunan. “Termasuk pengujian UU Pesisir dan UU Mineral dan Batubara yang juga cukup penting,” bebernya.
Sementara untuk perkara-perkara yang publisitasnya tinggi akan cepat diputus. “Seperti kasus pengujian UU Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang dimohonkan Susno Duadji dan kasus Yusril Ihza Mahendra yang menguji UU Kejaksaan, hanya beberapa kali sidang sudah diputus,” kritiknya.
Ia mempertanyakan apa sebenarnya yang menjadi ukuran jangka waktu MK dalam memutus perkara pengujian undang-undang. “Kenapa tidak semua perkara pengujian undang-undang diperlakukan sama? Seperti perkara sengketa hasil Pemilukada kan jelas, 14 hari harus sudah diputus,” jelasnya.
Untuk itu, ia menyarankan perlu ada konsep aturan jangka waktu, khususnya dalam perkara pengujian undang-undang dengan menetapkan adanya agenda prioritas penyelesaian perkara pengujian undang-undang. “Harus ada agenda prioritas, ini perlu dilembagakan di internal MK,” sarannya.
Hal senada juga dikemukakan Wakil Direktur YLBHI Alfon Kurnia Palma. Dia mengeluhkan lambannya MK dalam menangani pengujian UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “UU Pesisir ini masih running, sudah berbulan-bulan perkara ini belum diputus-putus. Jawaban Panitera MK banyaknya jumlah permohonan Pemilukada yang masuk, ironisnya kasus Susno dan Yusril berlangsung cepat,” katanya.
Menurutnya, ketiadaan jangka waktu penyelesaian pengujian undang-undang harus menjadi perhatian MK. “Ini perlu dipikirkan karena sesuatu yang cukup mendesak, kenapa harus fokus menangani Pemilukada, sementara hal yang krusial yakni pengujian undang-undang yang menyangkut hak warga negara yang dijamin UUD 1945 terabaikan, MK jadi tidak konsisten,” tudingnya.
Ia sepakat jika MK akan membuat aturan yang memberi batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang. “Tidak seperti sekarang tidak ada jangka waktu sama sekali, padahal jika ada pengujian undang-undang yang menyangkut kewenangan pusat dan daerah harus cepat diputus.”
Skala prioritas
Ketua MK Moh Mahfud MD mengakui bahwa selama ini tidak aturan yang pasti kapan suatu pengujian undang-undang harus sudah diputus. Namun, semuanya didasarkan adanya skala prioritas untuk memutuskan suatu perkara pengujian undang-undang. “Tentunya kita bekerja atas dasar prioritas dan menyesuaikan volume beban kerja yang ada,” kata Mahfud di ruang kerjanya, Rabu (11/5).
Mahfud mengatakan lamanya MK memutus suatu perkara dipengaruhi beberapa faktor. Seperti terkadang sidang digelar berkali-kali atas dasar permintaan pemohon untuk menghadirkan saksi atau ahli. “Makanya, setiap sidang pengujian undang-undang pasti kita tawarkan, apakah akan minta sidang lagi?. Selain itu, perkaranya juga tidak mendesak untuk segera diputus,” katanya.
Lain hal seperti permohonan pengujian UU KPK yang dimohonkan Bibit-Chandra dan Pengujian UU Kejaksaan yang harus segera diputus. “Untuk perkara yang tidak mendesak, kalau tidak diputus cepat juga tidak apa-apa seperti perkara UU Pesisir karena belum ada orang yang terkena peraturan itu sambil kita pikirkan dalil-dalil yang bisa mendukung untuk menjatuhkan putusan.”
Namun, ada juga perkara yang tidak sampai berbulan-bulan sudah diputus, seperti pengujian UU Pemerintahan Aceh terkait Pemilukada di Aceh yang dimohonkan Faurizal dkk dan pengujian UU Pornografi yang dimohonkan Farhat Abbas dan Hajar Indonesia. “Kita hanya menggelar tiga kali sidang, kita nyatakan dikabulkan dan ditolak.”
(Sumber: Hukum Online, Rabu 11 Mei 2011)