Merpati dan Tanda Tanya Besar

Thursday, May 19, 2011

Nyawa warga negara dan penggunaan anggaran negara, keduanya sama-sama penting dan tidak boleh saling mencederai. Karena tugas negara, sesuai Pembukaan UUD 1945, adalah untuk melindungi warga negara. Namun, hal sebaliknya terjadi pada kasus pesawat Merpati MA-60, yang jatuh di Teluk Kaimana, Papua Barat.

PT Merpati Nusantara Airlines yang mulai beroperasi sejak 1962 mengemban misi mulia. Sebagai BUMN, Merpati cukup mempunyai komitmen dalam melayani jalur-jalur perintis pada pelosok nusantara, menghubungkan daerah-daerah terpencil di Indonesia, yang karena kelemahan infrastruktur negara ini, tidak bisa dijangkau oleh transportasi darat.

Pada sisi lain, kondisi keuangan Merpati sangat menyedihkan. Perusahaan yang 96 persen sahamnya dimiliki pemerintah ini, tercatat memiliki ekuitas negatif Rp 1,8 triliun (per 31 Desember 2009). Ekuitas negatif diartikan sebagai perusahaan memiliki kerugian yang sangat besar dan secara ekonomis melebihi nilai modalnya.

Kondisi permodalan semacam ini hanya dapat ditolong dengan menyetor modal tambahan. Penyertaan modal negara (PMN) diberikan kepada Merpati sejumlah Rp 75 miliar pada 2005 dan Rp 450 miliar di tahun 2006. Pada 2008 tercatat Merpati menjalankan pinjam modal kerja dari PT PPA sebesar Rp 300 miliar.

Dalam analisis kemampuan Merpati oleh Kementerian Keuangan pada 2008, diketahui selama periode 2004-2007 Merpati selalu membukukan rugi. Dari segi likuiditas, Merpati tidak sehat, memiliki current ratio selalu kurang dari 1, yang artinya perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya yang jatuh tempo. Nilai Altman Z-score Merpati selalu berada pada nilai kurang dari 1,20, yang artinya probabilitas perusahaan akan mengalami kesulitan keuangan sangat tinggi.

Dalam kondisi yang sangat sulit, mengapa Merpati melakukan ekspansi dengan pembelian, tidak tanggung-tanggung, 15 pesawat MA-60? Pembelian ini dilakukan dengan skema pinjaman penerusan/subsidiary loan agreement (SLA) sebesar 232,4 juta dolar AS. Padahal, tercatat pada skema SLA serupa, untuk pengadaan flight simulator tahun 1992 sejumlah Rp 4,9 miliar poundsterling, Merpati masih berstatus macet sehingga harus direstrukturisasi pada Mei 2008.

SLA adalah dokumen perjanjian penerusan pinjaman dari program yang dibiayai dari two step loan (TSL). Dan, TSL sendiri adalah pinjaman luar negeri oleh pemerintah yang diteruspinjamkan kepada BUMN, pemda, BUMD, dan institusi lainnya. Ada kejanggalan dalam menilik SLA Merpati ini. Pemerintah mengatakan SLA untuk MA-60 telah dimasukkan dalam komponen total SLA di APBN Perubahan 2010 yang disetujui pada Mei 2010. Namun, surat persetujuan Badan Anggaran DPR untuk SLA Merpati, bertanggal 30 Agustus 2010. Beberapa bulan setelah anggaran diletakkan dalam APBN perubahan. Sama membingungkan dengan penandatanganan penerusan pinjaman (SLA) oleh pemerintah kepada PT MNA yang bertanggal 11 Juni 2010, beberapa bulan sebelum persetujuan disepakati dalam rapat kerja bersama pemerintah dan Badan Anggaran DPR.

Beranjak pada pertanyaan selanjutnya, mengapa pilihan jatuh pada MA-60? Bagaimana awal dari proses pengadaan MA-60? Dalam rapat bersama komisi XI DPR, pimpinan Merpati memulai jawaban atas pertanyaan di atas dengan merujuk sebuah pertemuan; Joint Commission Meeting Indonesia-Cina, 29 Agustus 2005. Jawaban yang menimbulkan pertanyaan lanjutan, jika pengadaan diawali dari pertemuan pemerintah dua negara tersebut, apa betul Merpati adalah inisiator sesungguhnya dari pembelian 15 pesawat tersebut seperti yang diutarakan kepada publik? Yang jelas, sejak Joint Commission Meeting itu, proses pengadaan MA-60 bergulir tanpa terhentikan. Meski wakil Presiden masa itu, Jusuf Kalla menolak.

Pertanyaan seputar kewajaran harga juga sesuatu yang tidak terhindarkan. Merpati membeli MA-60 dengan harga 11,2 juta dolar AS per unit yang berarti 168,1 juta dolar AS. Namun, angka itu membengkak menjadi 232 juta dolar AS. Penjelasan Merpati, yaitu untuk biaya tambahan Product Support, Full Flight Simulator, Additional Supporting Spare, and Component Test Equipment. Saya tidak mau masuk ke dalam perdebatan panjang kepatutan harga. Bagi saya dalam hal ini ada satu kunci; transparansi proses negosiasi.

Perjanjian utang antara Pemerintah Indonesia dan Bank Exim Cina sejumlah 2,1 triliun bukan angka yang kecil, kita akan mahfum bahkan setuju jika memang ada tim negosiasi khusus yang dibentuk untuk memastikan interest publik terjaga baik. Publik perlu dijelaskan siapa atau lembaga apa saja yang duduk dalam tim tersebut, apakah harga terbaik antara Xi’an Aircraft dan Merpati sudah maksimal dicapai, mengapa dipilih skema pinjaman yang mengikat (tied loan) yang tidak lagi diperkenankan, seperti apa tata cara pembayaran yang disepakati, dan banyak pertanyaan yang dapat terurai oleh tim negosiasi. Termasuk, apakah pesawat yang jatuh di Teluk Kaimana diasuransikan sehingga beban utang negara dapat berkurang.

Berbagai kejanggalan di atas masih dapat diperdebatkan dan dijelaskan oleh pemerintah. Tetapi, yang patut menjadi catatan penting adalah setiap rupiah uang negara yang dikeluarkan, wajib untuk melindungi jiwa dan raga masyarakat Indonesia. Proses pengadaan moda transportasi, misal pesawat, seharusnya mengedepankan tiga pertimbangan utama. Keselamatan, keselamatan, dan keselamatan. Saya berbaik sangka bahwa pemerintah tentu telah mempertimbangkannya. Namun, tampaknya dalam pembelian MA-60, pertimbangan tersebut dinomorduakan.


Penulis: Meutya Hafid
Anggota Komisi XI DPR

(Sumber: Republika, 18 Mei 2011)