Kebijakan Publik dan Freies Ermessen. (Bagan I)

Wednesday, May 25, 2011

Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan, pemerintah atau administrasi Negara melakukan berbagai tindakan hukum denganmenggunakan sarana atau instrumen seperti alat tulis menulis, sarana transportasi dan komunikasi, gedung-gedung perkantoran, dan lain-lain, yang terhimpun dalam publiek domain atau kepunyaan publik. Di samping itu, pemerintah juga menggunakan berbagai instrumen yuridis dalam menjalankan kegiatan mengatur dan menjalankan urusan pemerintahan dan kemasyarakatan, seperti peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan, peraturan kebijaksanaan, perizinan, instrumen hukum keperdataan, dan sebagainya[1].

Dalam pelaksanaan pemerintahan tentunya tidak terlepas dari permasalahan norma-norma hukum. Begitu juga halnya dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berkaitan dengan norma-norma hukum tata usaha Negara (hukum administrasi Negara)[2]. Pembentukan norma-norma hukum tata usaha Negara dalam masyarakat itu tidak hanya dilakukan oleh pembuat undang-undang (kekuasaan legislatif) dan badan-badan peradilan saja, tetapi juga oleh aparat pemerintah dalam hal ini badan atau pejabat tata usaha Negara[3].

Terkait mengenani kebijakan pejabat administrasi (kebijakan publik), Thomas R. Dye[4] menyatakan bahwa, Public Policy is whatever governments choose to do or not to do (kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan. Konsep tersebut sangat luas karena kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah disamping yang dilakukan oleh pemerintah ketika pemerintah menghadapi suatu masalah publik[5]. Definisi kebijakan publik dari Thomas R Dye tersebut mengandung makna bahwa:

1). Kebijakan Publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta,

2). Kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh Badan Pemerintah.

Kemudian menurut Sukamto Satoto[6], kebijakan publik pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha Negara yang bertujuan untuk menampakkan keluar sebagai suatu kebijakan publik. Lebih lanjut Abdul Latief[7] menyatakan, di dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara terdapat dua jenis peraturan yang dapat berlaku secara berdampingan, yaitu peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan.

Dari berbagai pendapat diatas, dapat kita simpulkan hal-hal tentang kebijakan publik yakni sebagai berikut:

1. Kebijakan Publik dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Admnistrasi, bukan organisasi lain atau organisasi swasta.

2. Tidak ada aturan yangmengatur persoalan tersebut, atau normanya kabur dan keadaan mendesak.

3. Tujuan kebijakan publik adalah untuk menyelesaikan permasalahan publik yang menjadi kewenangan pejabat administrasi yang mengeluarkan kebijakan tersebut.

4. Kebijakan publik bukanlah peraturan perundang-undangan dan tidak termasuk ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan atau ketentuan Pasal 7 Ayat 4 UU No. 10 Tahun 2004, tapi ia (Kebijakan Publik) berdampingan dengan peraturan perundang-undangan[8].

5. Kewenangan pembuatan kebijakan publik tersebut diperoleh melalui distribusi, atribusi, dan mandat.


FREIES ERMESSEN

Segala sesuatu terkait mengenai kebijakan pemerintah sifatnya tidak sepihak. Keberadaan hukum atas kebijakan publik tidak terlepas dengan kewenangan bebas dari pemerintah yang sering disebut dengan istilah Freies ermessen[1]. Hal tersebut senada dengan pendapar Ridwan HR yakni Keberadaan peraturan kebijaksanaan tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan bebas (vrijebevoegdheid) dari pemerintah yang sering disebut juga Freies Ermessen.[2]

Terkait mengenai definisi freies ermessen, Secara etimologi freies ermessen berasal dari kata fres yang artinya bebas, lepas, tidak terikat, dan merdeka, sementara itu Ermessen diartikan sebagai mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan. Freies ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga, dan mempertimbangkan sesuatu. Istilah ini kemudian secara khas digunakan dalam bidang pemerintahan sehingga freies ermessen (diskresi) diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi Negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang[3]. Sedangkan Nata Saputra[4] mengartikan Freies ermessen sebagai suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan dari pada berpegang teguh kepada ketentuan hukum. Dengan kata lain freies ermessen adalah kebebasan bertindak dari pejabat Negara tanpa harus terikat kepada undang-undang.

Namun kebebasan tersebut tidaklah mutlak. Kebebasan tersebut disandarkan (berpedoman/dibatasi) oleh Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik/ Algemene Beginselen Van Behoorjijk Bestuur (AUPB). Hal ini tidak bertentangan dengan penjelasan sebelumnya yang menyetakan bahwa freies ermessen adalah kebebasan bertindak dari pejabat Negara tanpa harus terikat kepada undang-undang, karena AUPB adalah asas, bukanlah undang-undang.

AUPB sendiri diatur di dalam Pasal 53 Ayat (2) huruf B Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang terdiri atas:

a. Asas kepastian hukum

b. Asas tertib penyelenggaraan Negara

c. Asas kepentingan umum (Asas ini tidak diatur di dalam UU No.9 Tahun 2004).

d. Asas keterbukaan

e. Asas proposionalitas

f. Asas profesionalitas

g. Asas akuntabilitas

Sedangkan menurut Kuntjoro Purbopranoto[5], AUPB dikategorikan menjadi 13 asas, yaitu:

a. Asas kepastian hukum (principle of legal security)

b. Asas keseimbangan (principle of proportionality)

c. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan pangreh (principle of legal equability)

d. Asas bertindak cermat (principle of carefulness)

e. Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation)

f. Asas jangan mencampuradukkan wewenang (principle of non-missuse of competence

g. Asas permainan yang layak (principle of fairplay)

h. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibiton of arbitrariness)

i. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation)

j. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequence of an annulled decision)

k. Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of protecting the personal way of life)

l. Asas kebijaksanaan (sapientia)

m. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service)

Dengan bersandar kepada freies ermessen administrasi Negara memiliki kewenangan yang luas untuk melakukan berbagai tindakan hukum dalam rangka melayani kepentingan masyarakat atau mewujudkan kesejahteraan umum, dan untuk melakukan tindakan itu diperlukan instrumen hukum. Artinya, bersamaan dengan pemberian kewenangan yang luas untuk bertindak, administrasi Negara juga diberikan kewenangan untuk membuat instrumen hukumnya[6].

Dalam kasus diatas terdapat benang merah antara keputusan mendiknas yang mengalihkan pendidikan profesi advokat dari pendidikan spesialis notariat menjadi pendidikan akademis program magister ilmu hukum kenotariatan. Mendiknas sebagai pejabat administrasi Negara di lingkungan kementerian pendidikan nasional tentunya terdapat Freies Ermessen yang melekat kepada jabatannya. Menurut E. Utrecht[7], kekuasaan administrasi Negara dalam bidang legislasi meliputi:

1) Kewenangan membuat peraturan atas inisiatif sendiri,

2) Membuat peraturan atas dasar delegasi

3) Menafsirkan berbagai peraturan.(*)


(*)  Oleh: Dony Yusra Pebrianto, SH.
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Jambi

______________________
[1] Sukamto Satoto, Op.cit

[2] Ridwan, HR, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 177

[3] Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan Dalam Bidang Perencanaan Dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan Di Daerah Serta Dampaknya Terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Disertasi, (Bandung:Universitas Padjajaran, 1996), hlm 205.

[4] Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta 1988, hlm 15

[5] Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa catatan hukum tata pemerintahan dan peradilan administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 29-30

[6] Ridwan HR, Op.cit, hlm 17

[7] Lihat E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1988, hlm 32-40

[1]Ridwan, HR, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 129

[2]CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta 1983, hlm 333. Banyak istilah penyebutan untuk hukum administrasi Negara, misalnya Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Administrasi Negara dalam Arti Sempit, Hukum Tata Usaha Negara, dan Sebagainya. Dalam tulisan ini Penulis memakai istilah hukum administrasi Negara.

[3]Indroharto,Usaha Memahami undang-undang tentang peradilan tata usaha Negara, Buku I, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm 141-142.

[4]Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Pretince Hall, New Jersey, 1981, Hlm. 1.

[5]AG. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori, dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, Hlm. 2

[6] Sukamto Satoto, Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum dan Kebijakan Publik Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi, 2011, hlm 1

[7]Abdul Latief, “Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah”, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm 86

[8]Pasal 10 ayat 4 UU No. 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa “Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Berdasarkan tulisan yang dicetak tebal diatas, penulis mengambil kesimpulan terkait peraturan perundang-undangan lain yang dinyatakan pasal tersebut yang ciri-cirinya adalah perundang-undangan lain tersebut dibuat harus ada perintah dari undang-undang yang lebih tinggi. Logika hukumnya adalah peraturan lain tersebut berada di bawah peraturan perundang-undangan. Dan tidak berdampingan.