Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW)

Friday, May 27, 2011

1. Ketentuan Umum CEDAW Bersifat Umum

CEDAW dimaksud menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan melindungi hak wanita. Pasal 1 CEDAW menegaskan istilah “diskriminasi” berarti setiap perbedaan, pengecualian atau pembatasan berdasarkan jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi dan menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan HAM di bidang apapun berdasarkan persamaan antara pria dan wanita. Namun demikian, Pasal 4 menetapkan "diskriminasi” tersebut dianggap tidak terjadi dengan peraturan khusus sementara untuk mencapai persamaan antara pria dan wanita (affirmative action).

Pasal 2 CEDAW memuat ketetentuan umum yang akan dilaksanakan oleh Negara Negara Peserta CEDAW. Pertama, Pasal 2 butir a menetapkan kaidah persamaan wanita dengan pria wajib dicantumkan dalam Undang Undang Dasar dan perundang-undangan Negara Negara Peserta, kecuali kalau itu sudah dilaksanakan.

Kedua, Pasal 2 butir b berbunyi Undang Undang dan peraturan perundangan lain yang melarang diskriminasi terhadap wanita akan diundangkan. Jika dianggap perlu, peraturan perundangan tersebut akan menetapkan hukuman untuk diskriminasi terhadap wanita. Selain itu, Pasal 2 butir e menyatakan Negara Negara Peserta akan menjamin diskriminasi terhadap wanita tidak dilakukan oleh seorang, badan hukum perdata atau sekelompok di mana pun.

Ketiga, Pasal 2 butir d menentukan kegiatan atau kebiasaan yang bersifat diskriminatif tidak akan dilakukan oleh segala pejabat dan lembaga pemerinatah Negara Negara Peserta. Keempat, Pasal 2 butir f menyatakan Undang Undang, peraturan perundangan, kebiasaan dan praktek yang bersifat diskriminatif terhadap wanita akan diubah atau dicabut. Sebagaimana demikian, Pasal 5 butir a berbunyi kebudayaan Negara Negara Peserta akan diubah sesuai dengan CEDAW. Jadi, kebiasaan atau praktek yang bersifat diskriminatif terhadap wanita akan dihapuskan.

2. Ketentuan CEDAW Di Bidang Tertentu

Pasal 7 sampai dengan Pasal 14 memuat ketentuan khusus di bidang politik, ekonomi, sosial dan domestik. Di bidang politik, Pasal 7 butir a yuncto butir b menetapkan hak memilihi dan dipilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) akan didasarkan persamaan wanita dengan pria. Selanjutnya, hak mengikuti perumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah juga akan disandarkan kaidah tersebut. Akhirnya, wanita bersama dengan pria akan mempunyai hak menduduki segala pekerjaan dalam pemerintahan maupun hak melaksanakan segala fungsi pemerintahan pada semua tingkatnya.

Di bidang sosial dan internasional, Pasal 7 butir c yuncto Pasal 8 menentukan partisipasi wanita bersama dengan pria di lembaga sosial masyarakat (LSM) maupun pada tingkat internasional akan dijamin. Di bidang lain, Pasal 10 sampai dengan Pasal 14 menggariskan penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan hak wanita dalam pendidikan, pekerjaan, kesehatan dan pedesaan.

3. CEDAW Dan Hukum

Pasal 15 mengandung ketentuan tentang hukum. Pasal 15 Ayat (1) menyatakan persamaan wanita dengan pria akan diberikan di muka hukum. Khususnya, Pasal 15 Ayat (2) menetapkan persamaan wanita dengan pria akan dijamin terhadap kecakapan hukum dalam hal sipil maupun kesempatan melakukan kecakapan tersebut. Kecakapan tersebut tercantum hak yang sama untuk mengesahkan perjanjian dan mengurus harta benda. Kecakapan tersebut pula tercantum perlakuan yang sama dalam lingkungan peradilan pada tingkat pertama, banding dan kasasi. Pasal 15 Ayat (4) menyatakan persamaan wanita dengan pria akan diberikan untuk mengadakan pergerakan dan memilih tempat kediaman.

4. CEDAW Dan Kekeluargaan

Pasal 16 memuat ketentuan di bidang hukum keluarga dan perkawinan. Secara umum, Pasal 16 Ayat (1) menyatakan persamaan wanita dengan pria akan dijamin terhadap hak dan tanggung jawab dalam hubungan kekeluargaan dan semua urusan mengenai perkawinan. Khususnya, beberapa hak wanita bersama dengan pria akan dijamin di bidang perkawinan. Pertama, Pasal 16 Ayat (1) huruf a mensyaratkan hak yang sama untuk melakukan ikatan perkawinan. Kedua, Pasal 16 Ayat (1) huruf b menggariskan hak wanita memilihi suami secara bebas dan haknya memasuki ikatan perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas sepenuhnya.

Ketiga, Pasal 16 Ayat (1) huruf c mensyaratkan hak dan tanggung jawab yang sama dalam perkawinan maupun pada putusnya. Keempat, Pasal 16 Ayat (1) huruf d mensyaratkan hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas dari status kawin mereka, dalam urusan yang berhubungan dengan anak mereka. Namun demikian, dalam semua kasus, kepentingan anak akan diutamakan.

Kelima, Pasal 16 Ayat (1) huruf g mengakui hak pribadi yang sama sebagai suami isteri termasuk hak untuk memilihi nama, keluarga, profesi dan jabatan. Keenam, Pasal 16 Ayat (1) huruf f mensyaratkan hak yang sama untuk kedua suami dan isteri bertalian dengan harta benda. Ketujuh, Pasal 16 Ayat (2) melarang pertunangan dan perkawinan seorang anak.

5. Ketentuan CEDAW Bersifat Teknis

CEDAW disimpulkan dengan Pasal 17 yuncto Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 terhadap Pembentukan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita dan Pasal 25 sampai dengan Pasal 30 terhadap hal yang bersifat administrasi dan prosedural terhadap CEDAW.


B. Pengakuan Kaidah Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita dan Pengakuan Hak Hak Asasi Wanita dalam Hukum Negara

1. Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum Negara di Indonesia
Ada kemungkinan seorang wanita dapat mencari penghapusan atau perlindungan tersebut melalui keberlakuan CEDAW secara disahkan UU No.7/1984. Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional berdasarkan ajaran incorporasi maupun ajaran transformasi. Ajaran incorporasi menyatakan perjanjian internasional dan / atau kebiasaan internasional langsung berlaku dalam hukum nasional. Dengan perkataan lain, hak, kewajiban dan ketentuan hukum internasional berlaku, mengikat dan bisa ditegakkan dalam hukum nasional. Ajaran incorporasi dilaksanakan di Amerika Serikat terhadap perjanjian internasional serta kebiasaan internasional dan dilaksanakan di Inggris hanya terhadap kebiasaan internasional.
Bagaimanapun, ajaran transformasi berbunyi perjanjian internasional dan / atau kebiasaan internasional tidak berlaku dalam hukum nasional secara tersebut kecuali melalui perundang-undangan. Ajaran transformasi dilaksanakan di Inggris, Perancis dan Australia terhadap perjanjian internasional dan di Australia terhadap kebiasaan internasional.

Di negara kita, tidak jelas kalau ajaran transformasi atau ajaran incorporasi dilaksanakan. Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional tidak ditetapkan secara tersurat dengan UUD 1945. Namun demikian, tata cara pengesahan perjanjian internasional yang digariskan Pasal 11 UUD 1945 beserta peraturan perundangan pelaksananya memuat kemungkinan Indonesia melaksanakan ajaran "transformasi" dan tidak melaksanakan ajaran "incorporasi". Dengan perkataan lain, ada kemungkinan perjanjian internasional tidak berlaku di Indonesia.

Pasal 11 UUD 1945 berbunyi, `Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain'. Pasal itu memang tidak jelas. Pengertian `perjanjian dengan negara lain' tidak dijelaskan. Perjanjian itu dapat berupa konvensi, traktat atau cuma persetejuan internasional. Bentuk `persetujuan' DPR juga tidak dijelaskan. Persetujuan itu dapat diucapkan dalam bentuk UU atau dengan ketetapan yang bentuk lain. Selanjutnya, Pasal 11 UUD 1945 tidak cukup luas. Pemerintah Indonesia hanya dapat membuat perjanjian dengan negara lain dan tidak boleh membuat perjanjian internasional dengan organisasi internasional.[1]

Masalah Pasal 11 tersebut diselesaikan dengan Surat Presiden No.2826/HK/60 Kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Tentang Pembuatan Perjanjian Dengan Negara Lain. Surat Presiden itu berpendapat bahwa `perjanjian' sebagaimana disebut dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak berarti segala jenis perjanjian internasional. Melainkan, `perjanjian' itu hanya berupa perjanjian internasional terpenting. Perjanjian internasional terpenting adalah perjanjian berbentuk traktak yang menyangkut persoalan seperti soal soal politik, perubahan wilayah negara, ekonomi dan sebagaimana.[2]

Oleh sebabnya, Surat Presiden No.2826/HK/60 menyatakan hanya perjanjian internasional terpenting secara tersebut akan diajukan pada DPR untuk persetujuannya. Perjanjian internasional lain akan disahkan Presiden sendiri dan disampaikan pada DPR hanya untuk diketahui.[3] Surat Presiden itu pula mengajukan pengertian bahwa persetujuan DPR tidak perlu diucapkan dalam bentuk UU melainkan dapat diucapkan dengan ketetapan yang bentuk lain.[4]

CEDAW disahkan dengan UU No.7/1984 ketika Surat Presiden tersebut berlaku. Pasal 1 UU tersebut menyatakan Pengesahan CEDAW. Selanjutnya, Lampiran UU tersebut memuat isi CEDAW. UU No.7/1984 tidak menyatakan hak, kewajiban dan ketentuan lain diucapkan dalam CEDAW berlaku secara langsung atau sesuai dengan ajaran "incorporasi" tersebut. Melainkan, secara sesuai dengan ajaran "transformasi", UU tersebut menyiratkan ketentuan CEDAW tidak berlaku kecuali sepanjang peraturan pelaksana UU tersebut akan melindungi ketentuan CEDAW.[5]

Surat Presiden tersebut baru diganti dengan UU No.4/1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pasal 36 Ayat (1) UU tersebut menetapkan, `Perjanjian perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak bangsa dan negara baik di bidang politik, keamanan, sosial budaya, ekonomi maupun keuangan yang dilakukan Pemerintah memerlukan persetujuan DPR sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku'.[6] Pasal 36 Ayat (1) UU tersebut tidak mengganggu pelaksanaan ajaran "transformasi". Bahkan, UU yang dikeluarkan di bawah Pasal tersebut mengesahkan perjanjian internasional secara sama dengan UU No.7/1984.[7]

Bagaimanapun, ada kemungkinan pelaksanaan ajaran "transformasi" memang diganggu di bidang perjanjian international tentang HAM. Pasal 36 Ayat (1) UU No.4/1999 baru ditambah dengan UU No.39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 7 Ayat (2) UU No.39/1999 menyatakan `Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional'. Maksudnya tidak jelas dan tidak ditegaskan lebih lanjut dengan Penjelesan Atas UU No.39/1999.

Ada kemungkinan maksud Pasal 7 Ayat (2) berupa ketentuan hukum internasional tentang HAM menjadi hukum nasional hanya sepanjang ketentuan hukum tersebut menguasakan peraturan pelaksana, secara sesuai dengan Pasal 11 UUD 1945 dan Pasal 36 Ayat (1) UU No.4/1999 tersebut. Jika artinya itu, ajaran transformasi masih dilaksanakan terhadap perjanjian internasional tentang HAM.

Namun demikian, ada kemungkinan lain Pasal 7 Ayat (2) berarti bahwa ajaran incorporasi akan dilaksanakan terhadap perjanjian internasional dan kebiasaan internasional tentang HAM. Jika maksudnya itu, UDHR dan Konvensi tentang HAM langsung berlaku di negara kita dan CEDAW memang dapat ditegakkan oleh wanita bersangkutan. Ada kesulitan dengan pengertian ini. Dalam UU No.39/1999 maupun peraturan perundangan lain, jalan pembuatan hukum terhadap ketentuan hukum internasional tersebut tidak terperinci. Pengadilan bersangkutan maupun Hukum Acaranya tidak disebut. Jadi, meskipun kemungkinan dikatakan UU No.39/1999, sulit disimpulkan bahwa CEDAW berlaku secara langsung di Indonesia.

1. Undang-Undang Dasar 1945

Seorang wanita bisa mendapat beberapa pasal dalam UUD 1945 yang mengakui penghapusan diskriminasi dan melindungi hak wanita secara dapat diperbaiki. Bab X sampai dengan Bab XIV UUD 1945 mengandung hak dan kewajiban Warga Negara Indonesia (WNI).

UUD 1945 melindungi persamaan antara pria dan wanita secara sesuai dengan Pasal 2 butir b yuncto Pasal 15 CEDAW. Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan `Segala warga negara Indonesia bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan Pemerintahan itu, dengan tidak ada kecualinya'. Pasal ini menjamin persamaan antara pria, wanita dan kaum lain di muka hukum dan di dalam segala peraturan perundangan.[8] Secara tersirat, Pasal 27 Ayat (1) mengakui kaidah penghapusan diskriminasi terhadap wanita. Jadi, peraturan perundangan yang bersifat diskriminatif bertentangan dengan Pasal tersebut.

Bagaimanapun, Pasal 27 Ayat (1) juga menetapkan kewajiban WNI mengenai penjunjungan hukum dan pemerintahan di Indonesia. Keberadaan kewajiban didasarkan kaidah kolektifisme. Yaitu, hak hak asasi seorang ditambah dengan kewajiban terhadap masyarakat karena kepentingan seorang dilindungi seleras dengan kepentingan masyarakat. Kaidah kolektifisme itu diucapkan dalam Rancangan UUD 1945 oleh Ir. Soekarno[9] dan diakui negara berkembang secara umum.[10]

UUD 1945 pula mengakui HAM berdasarkan persamaan antara pria dan wanita. Pasal 27 Ayat (2) memberikan hak pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan untuk segala WNI secara sesuai dengan Pasal 11 CEDAW. Pasal 28 UUD 1945 mengakui kemerdekaan sipil dan politik secara sesuai dengan Pasal 3 CEDAW. Pasal 28 tersebut menyatakan `Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluaskan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang Undang'.

Bagaimanapun, Pasal 28 dapat disempurnakan. Pertama, Pasal 28 dikukuhkan jika kemerdekaan tersebut menjadi hak pribadi, yaitu: hak berserikat, hak berkumpul dan hak mengeluarkan pikiran. Kedua, Pasal 28 pula dikukuhkan jika perlindungan kemerdekaan tersebut diluaskan. Pasal 28 menyatakan kemerdekaan tersebut akan `ditetapkan dengan Undang Undang'. Dengan perkataan lain, kemerdekaan tersebut dapat dilindungi atau dilanggar dengan UU.[11] Pasal 28 diperbaiki kalau kemerdekaan tidak boleh dilanggar atau dikurangi secara tersebut.

Dahulu, perlindungan yang lebih luas diberikan dengan Konstitusi RIS 1950 dan UUDS 1950. Pasal 19 Konstitusi RIS 1950 yuncto Pasal 19 UUDS 1950 yang hampir sama menyatakan, `Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan menegeluarkan pendapat'. Selanjutnya, Pasal 20 Konstitusi RIS 1950 serta Pasal 20 UUDS 1950 tersebut berbunyi, `Hak penduduk atas kebebasan berkumpul dan berapat diakui dan diatur dengan Undang Undang'.

Akhirnya, Pasal 32 Konstitusi RIS 1950 sebagaimana diubah dengan Pasal 33 UUDS 1950 menetapkan, `Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebabasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan Undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat syarat yang adil untuk ketentraman, kesusilaan dan sejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis'.

Pasal 29 UUD 1945 melindungi kemerdekaan agama dan juga sesuai dengan Pasal 3 CEDAW. Pasal 29 Ayat (2) berbunyi `Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu'. Selain itu, Pasal 31 Ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pengajaran secara sesuai dengan Pasal 10 CEDAW.

Ketentuan UUD 1945 perlu ditambah dengan hak dan kemerdekaan yang lain. Menurut Prof. Dr. Muchsan, SH, UUD 1945 dapat tercantum perlindungan hak administratif, hak pertisi, hak perekonomian serta hak mendirikan organisiasi amal dan sosial secara sesuai dengan ketentuan CEDAW.[12] (*)



(*) Oleh: Dony Yusra Pebrianto,SH
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Unja



_____________
[1] Edy Suryono, Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasionl di Indonesia (1988), hal.3435 serta hal.6870. Bandingkan dengan Pasal 175 yo. Pasal 176 Konstitusi RIS 1950 serta Pasal 120 yo. Pasal 121 UUDS 1950.

[2] Butir 2 yo Butir 4 huruf a s/d huruf c Surat Presiden No.2826/HK/1960.

[3] ibid Butir 4.

[4] ibid Butir 3.

[5] lihat Bagian I Penjelesan Atas UU No.7/1984. Lihat juga (sebagai contoh peraturan pelaksana UU No.7/1984) Peraturan Menteri No.SE04/Men/1988 sebagaimana dijelaskan dalam Mohammad Farid op. cit. catatan kaki no.26, hal.xv.

[6] lihat juga Pasal 33 Ayat (2) huruf e UU No.4/1999.

[7] lihat Bagian I Angka 2 Penjelesan Atas UU No.29/1999 tentang Pengesahan Internasional Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discirmination 1965 (Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965). Lihat juga UU No.19/1999 tentang Pengesahan ILO Convention No.105 Concerning the Abolution of Forced Labour (Konvensi ILO Mengenai Penghapusan Kerja Paksa), UU No.20/1999 tentang Pengesahan ILO Convention No.138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja), UU No.21/1999 tentang Pengesahan ILO Convention No.111 Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation (Konvensi ILO Mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan).

[8] Bambang Sunggono, dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan HAM (1994), hal.88-89.

[9] R G Kartasapoetra, SH, Sistematika Hukum Tata Negara (1987), hal. 25.

[10] lihat Konstitusi India (Constitution of India) maupun Piagam Africa Tentang Hak Asasi dan Kewajiban Dasar Manusia (African Charter of Rights and Duties).

[11] Sunggono dan Harianto op. cit.

[12]Muchsan, "Penggantian UUD 1945 Menuju Indonesia Baru Yang Demokratis" Makalah Seminar "Amandmen UUD 1945", Fakultas FISIPOL, Universitas Gadjah Mada (UGM), Tanggal 18 September Tahun 1999, hal. 10-13.