Anggara resah. Direktur Eksekutif Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi ini prihatin dengan minimnya minat advokat anggota Peradi dalam memberikan bantuan hukum cuma-cuma alias gratis. Buktinya, dari sekira 15 ribu anggota Peradi, tercatat baru 100-an orang yang terdata memberikan bantuan hukum kepada masyarakat tak mampu.
Kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma disebutkan dalam UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Peraturan Pemerintah No 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma, serta Kode Etik Advokat Indonesia. Belakangan, Peradi menegaskan kewajiban itu dalam Peraturan Peradi No 1 Tahun 2010.
Dalam Peraturan Peradi No 1/2010 itu disebutkan tiap advokat anggota Peradi berkewajiban memberi bantuan hukum secara gratis kepada masyarakat tak mampu setidaknya 50 jam tiap tahun.
Nantinya, kewajiban memberi bantuan hukum cuma-cuma ini akan dijadikan salah satu syarat untuk memperpanjang kartu tanda pengenal advokat. Perpanjangan kartu advokat dilakukan tiap tiga tahun sekali. Dengan begitu tiap advokat yang ingin memperpanjang keanggotaannya harus menunjukkan telah memberi bantuan hukum setidaknya 150 jam.
Diterbitkan pada 2010, peraturan ini baru berlaku kepada para advokat Peradi sejak 1 Januari 2011. Baru berjalan sekitar empat bulan, masih terlalu dini untuk menilai kepatuhan advokat terhadap kewajiban pemberian bantuan hukum cuma-cuma. Sebab, ternyata masih banyak advokat yang belum tahu tentang kewajiban pemberian bantuan hukum 50 jam setahun.
Salah seorang advokat di Jakarta yang kerap membela kasus rakyat kecil adalah salah satu contoh advokat yang tidak mengetahui keberlakuan Peraturan Peradi No 1/2010. Ia juga tak tahu ada kewajiban bantuan hukum 50 jam setahun. “Oh ada ya? Wah, kalau kewajiban itu berjalan, bagus tuh. Akses masyarakat terhadap keadilan makin terbuka lebar,” kata dia dalam perbincangan dengan hukumonline di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Upaya sosialisasi Peraturan Peradi No.1/2010 dan kewajiban bantuan hukum 50 jam setahun bukan tidak dilakukan. Sejauh ini PBH baru menggelar sosialisasi di dua kota, Jakarta dan Semarang. Itupun disisipkan dalam sebuah pelatihan tentang advokasi anak. “Tidak ada anggaran untuk sosialisasi kewajiban bantuan hukum,” ungkap Anggara. Sementara anggota Peradi yang harus dijangkau tersebar di seluruh daerah.
Selain oleh PBH, lanjut Anggara, ada beberapa Dewan Pengurus Cabang (DPC) Peradi yang berinisiatif melakukan sosialisasi kewajiban bantuan hukum kepada para anggotanya. Yaitu DPC di Kota Malang dan Surabaya.
Kurikulum PKPA
Sembari menggencarkan kampanye kewajiban bantuan hukum, PBH juga mencari strategi lain agar para advokat sejak awal sadar dengan kewajibannya. Salah satunya dengan mengusulkan agar isu bantuan hukum dimasukkan dalam mata ajar di Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA).
“Kalau sejak PKPA sudah disampaikan tentang bantuan hukum, mudah-mudahan para calon advokat itu sejak awal sudah peduli dengan kewajibannya memberi bantuan hukum kepada masyarakat miskin,” harap Anggara.
Di sisi lain, Anggara juga sudah menghitung berapa anggaran yang bisa dihemat Peradi jika sejak awal para calon advokat sudah sadar dengan kewajibannya. “Bayangkan saja berapa duit yang harus dikeluarkan untuk penyebaran informasi.”
Di bayangan Anggara, materi Bantuan Hukum di PKPA cukup disampaikan secara sederhana karena keterbatasan waktu. “Digambarkan saja bagaimana teknis menerima pengaduannya, bagaimana pelaporan pelaksanaanya ke PBH. Seperti itu saja.” Penambahan unsur filosofis dalam materi bantuan hukum akan lebih baik.
Terpisah, Ketua PKPA Peradi, Fauzie Hasibuan menuturkan sejauh ini sudah ada 19 materi wajib yang harus disampaikan dalam PKPA. “Materi bantuan hukum tidak termasuk di dalamnya. Hanya jadi mata ajar pilihan, tergantung penyelenggara PKPA,” kata Fauzie kepada hukumonline lewat telepon, Rabu (25/5).
Kendati begitu, Fauzie sependapat agar materi bantuan hukum dikenalkan kepada para calon advokat sejak awal. Tapi, memasukkan materi bantuan hukum kedalam kurikulum PKPA, bukan perkara mudah. Soalnya, dengan materi kurikulum yang ada sekarang saja sudah banyak keluhan dari para peserta. “Katanya 19 mata ajar itu terlalu banyak. Minta dikurangi. Tapi nanti akan kita bahas di Rakernas Juni mendatang.”
Sambil menunggu hasil pembahasan di Rakernas, Fauzie berharap para penyelenggara PKPA bisa menyisipkan dan menekankan materi bantuan hukum pada mata ajar PKPA lain yang sudah ada. “Seperti di materi hukum acara atau kode etik.”