Koruptor Membalik Pembuktian Terbalik
Pernyataan David Llyod George itu seperti sebagai suatu ajakan pada masyarakat, terutama pilar-pilar negara untuk berani merumuskan dan mempraktikkan langkah besar dalam melawan penyakit kronis di masyarakat. Salah satu penyakit kronis itu bernama korupsi.
Sudah banyak usulan yang berkategori langkah besar diajukan untuk melawan korupsi di negeri ini. Rasanya masih belum hilang dari ingatan kita tentang gencarnya tuntutan publik yang meminta penerapan hukuman mati terhadap koruptor atau pemiskinan koruptor, tapi sekarang sudah mencuat gugatan yang mengarahkan pada aparat penegak hukum supaya menjadikan pembuktian terbalik sebagai kiat membongkar korupsi.
Meski banyak usulan, pertanyaan yang bernada kegamangan tetap terlontar, apakah memang kejahatan istimewa (extraordinary crime) ini nantinya benar-benar bisa dibongkar dengan mengandalkan pembuktian terbalik atau bisakah pembuktian terbalik dijadikan senjata ampuh untuk mengalahkan dan menciptakan ‘horor’ di kalangan koruptor? Atau bisakah koruptor dihentikan atau dihambat akselerasi aksi-aksinya dengan pembuktian terbalik?
Jika menginginkan pembuktian terbalik bisa diandalkan menjerat, mempertanggungjawabkan, dan mengalahkan koruptor atau mampu menjadi ruh bekerjanya sistem peradilan pidana (criminal justice system), sistem pembuktian terbalik wajib diberlakukan lebih dahulu pada elemen penegak hukum seperti jaksa, hakim, polisi, KPK, dan lembaga-lembaga strategis yang menjadi pilar bekerjanya law enforcement. (Mariadi, 2010).
Memang sudah seharusnya penyakit bangsa yang sudah terbilang kronis seperti korupsi ‘ditembak’ dengan langkah yang menakutkan. Pasalnya selain membuat pelakunya bisa jera dan merasakan nestapa, hal itu mengandung pendidikan moral bagi masyarakat atau mematahkan bibit-bibit korupsi yang bermaksud tumbuh di mana-mana.
Masyarakat yang mengenal sistem pembuktian berbasis akuntabilitas diri atau pembuktian ketidakbersalahan atas apa yang dimilikinya merupakan pembuktian yang menyusahkannya. Sebab jika tidak berhati-hati menyampaikan testimoni atau menerangkan apa yang dimilikinya, setidaknya ini bisa menjadi bukti petunjuk bahwa ia layak disebut terlibat korupsi.
Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian beyond reasonable doubt, yang dianggap tidak bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), tetapi di sisi lain sering menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi. Terbukti dalam praktik sistem pembuktian tersebut atau dikenal dengan istilah, ‘pembuktian negatif’ tidak mudah diterapkan. (Atmasasmita, 2006).
Kedalaman ilmu pengetahuan dan akal manusia (logika hukum) memang tidak terbatas sehingga muncullah alternatif asas pembuktian baru yang justru berasal dari penelitian negara maju dan dipandang tidak bertentangan baik dengan perlindungan hak asasi tersangka maupun konstitusi; tapi sangat efektif dalam membuka secara luas akses pembuktian asal usul harta kekayaan yang diduga diperoleh karena korupsi.
Alternatif pembuktian yang diajukan dan digagas pemikir di negara maju (Oliver, 2006) adalah teori ‘keseimbangan kemungkinan pembuktian’ (balanced probability of principles), yaitu mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi.
Model baru asas pembuktian terbalik tersebut ditujukan terhadap pengungkapan secara tuntas asal usul aset-aset yang diduga dari hasil korupsi itu sendiri, dengan menempatkan hak atas kekayaan pribadi seseorang pada level yang sangat rendah, tetapi secara bersamaan menempatkan hak kemerdekaan orang yang bersangkutan pada level yang sangat tinggi dan sama sekali tidak boleh dilanggar.
Dalam model tersebut, terdapat dua kepentingan ganda: pertama, pengembalian kedaulatan negara yang aset-asetnya menjadi korban kleptokrasi tangan-tangan kotor (the dirty hands); kedua, perlindungan terhadap hak tersangka yang bukan tidak mungkin selain disangka bersalah, juga patut disangka sebagai seseorang yang bersih. Menyangka bersih seseorang merupakan sikap tidak mudah yang kita tunjukkan seiring dengan banyaknya elite penegak hukum atau pejabat negara yang tidak bersih.
Terlepas bagaimana arah diskursus tentang kesejatian pembuktian terbalik, apa itu model pembuktian terbalik murni ataukah dengan model keseimbangan antara kepentingan HAM tersangka dan penyelamatan aset-aset negara dan citra hukum di negara ini, tapi pembuktian terbalik, jika benar-benar diimplementasikan secara maksimal pada ‘proyek’ yang tepat, niscaya akan tetap menjadi jurus jitu dalam membongkar korupsi.
Salah seorang anggota dewan menyatakan ‘akan banyak pejabat, terutama aparat penegak hukum, yang justru diduga banyak terlibat mafia korupsi, akan terjerat kalau mekanisme pembuktian terbalik diterapkan’, yang mengisyaratkan kalau pembuktian terbalik diterapkan, akan banyak aparat penegak hukum yang menjadi terhukum atau menjalani hukuman.
Sebelum sistem itu diberlakukan, senyatanya sudah sering dunia peradilan mendapatkan vonis sebagai sarangnya mafia atau jaringan kriminalitas elite seperti koruptor.
Terbukti seperti disebut Teten Masduki (2009), bahwa dalam riset global barometer 2009, korupsi tertinggi dengan skor 4,4 adalah di parlemen (DPR). Kemudian disusul oleh institusi peradilan dengan skor 4,1. Urutan ketiga, ditempati parpol dengan skor 4,0. Kemudian pegawai publik dengan skor 4,0 poin. Sementara itu, sektor bisnis meraih skor 3,2, sedangkan media sekitar 2,3. Pada survei TII tahun 2008, dari 15 lembaga publik Indonesia yang disurvei, kepolisian menempati urutan teratas dengan meraih angka indeks suap (IS) sebesar 48%.
Memang idealnya aparat penegak hukum ditempatkan sebagai ‘proyek’ awal dan fundamental pengimplementasian pembuktian terbalik. Sebab elemen penegak hukum ini sebenarnya terbilang komunitas yang paling bermasalah secara hukum atau distigmatisasi sebagai elemen pembangkangan dan pembusukan hukum (legal decay). Tidak sedikit di antaranya yang terlibat dalam praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan atas nama profesi yang diembannya.
UU No 28/2009 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 5 ayat (3), sudah menyebutkan, ‘setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan sesudah menjabat’. Pencantuman kata ‘setiap’ pada pasal itu menunjuk pada subjek, sedangkan pencantuman kata ‘melaporkan dan mengumumkan sebelum dan sesudah menjabat’ merupakan pantulan kewajiban yang mutlak dilaksanakan. Subjek hukum merupakan penyandang hak dan kewajiban. Maka di samping hak dasar yang melekat pada individu aparat, ia juga berkewajiban mempertanggungjawabkan kewenangan yang ada padanya. (Aris S Gultom, 2010).
Jika mereka (aparat) masih belum bernyali menjadi Mr clean atas dirinya sendiri atau keluarganya dan terbukti kapabel dalam membuktikan dirinya sebagai elemen judicial yang bersih dari kepemilikan harta ilegal, kotor, atau memanfaatkan jabatan, mereka tidak akan mungkin bisa diandalkan untuk melakukan tugas besar mengimplementasikan sistem pembuktian terbalik, apalagi sistem yang mengancam ‘menjerumuskan’ dirinya. Mereka masih niscaya memenangi pola membalik pembuktian terbalik, manakala dirinya masih menyukai berkawan dengan koruptor jika dibandingkan dengan kepentingan masyarakat.(*)
(*) Penulis: Misrianto | Rektor Universitas Merdeka, Pasuruan
(Sumber: Media Indonesia, 05 April 2011)