Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia (Bagian V - Selesai)

Tuesday, April 5, 2011


Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia


Hikmah lain dari seluruh putusan yang diteliti ternyata Delik Adat Lokika Sanggraha unsur-unsurnya tidaklah dapat ditemukan dalam KUHP, akan tetapi hakim tetap menjatuhkan pidana kepada pelakunya. Hal ini sebenarnya berorientasi kepada Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 yang menentukan, “Putusan pengadilan, selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundangan-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Selain itu masih juga ada tugas hakim sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 49 Tahun 2009. Konsekuensi logis hal ini pula maka bergeserlah ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tentang asas “Legalitas” dari ketentuan pengertian melawan hukum formal ke melawan hukum yang bersifat material. Secara implisit eksistensi pemidanaan Delik Adat Lokika Sanggraha dalam Praktik peradilan di PN Denpasar berorientasi kepada pasal 5 ayat 3 sub UU Dart. 1/1951 jo. Pasal 359 Kitab Adigama dengan tanpa adanya pidana tambahan berupa kewajiban Adat bagi pelakunya untuk mengembalikan keseimbangan kosmos yang telah terganggu itu.

Kalau dikaji lebih detail, bagi masyarakat Bali Delik Adat Lokika Sanggraha merupakan perbuatan pidana yang mengganggu perasaan hukum dan perasaan keadilan dalam masyarakat adat yakni mengganggu keseimbangan kosmos baik alam lahir dan alam gaib. Apabila kalau dikorelatifkan ke dalam KUHP ternyata perbuatan tersebut tidak diatur di dalamnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis berlakunya asas konkordasi. Dalam KUHP berdasarkan pasal 10 maka jenis pemidanaan berupa “pemulihan kewajiban adat” tidak dikenal di dalamnya. Kalau seorang pelaku Delik Adat lokika Sanggraha telah dijatuhi pidana penjara, ternyata bagi masyarakat adat kuranglah sempurna tanpa diikuti pemulihan kewajiban adat guna mengembalikan keadaan kosmos yang terganggu. Sehingga bagi masyarakat adat Bali menghendaki penyelesaian bersifat materiil juga hendaknya diikuti pula penyelesaian bersifat immateriil serta berorientasi bersifat keagamaan. Penjatuhan pidana dalam hukum adat Bali bertujuan mengembalikan keseimbangan alam kosmos yakni alam lahir (“sekala”) dengan alam gaib (“niskala”) yang telah terganggu, oleh karena itu aspek agama Hindu berupa tata upacara keagamaan merupakan hal fundamental di dalamnya.

Sebagai misal dapat disebut bahwa suatu Delik Adat Lokika Sanggraha yang dilakukan di sebuah tempat suci (Pura), kemudian oleh hakim pelakunya dijatuhi putusan sesuai Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart. Nomor 1 Tahun 1951 jo Pasal 359 Kitab Adigama yakni selama 3 (tiga) bulan penjara. Akan tetapi hal ini tidaklah cukup. Menurut Agama Hindu Pura merupakan tempat suci dan keramat, sehingga untuk itu pelakunya selain dijatuhkan putusan penjara tersebut haruslah pula dibebankan kewajiban untuk mengadakan upacara keagamaan di tempat tersebut sehingga alam kosmos yang terganggu (“sebel”), jadi pulih kembali.

Penyelesaian demikian itu menurut pandangan masyarakat Adat Bali erat sekali hubungan dengan konsepsi Agama Hindu itu sendiri yakni berupa Tri Hita Karana atau Tiga Hal yang menyebabkan kebahagiaan. Tri Hita Karana itu mempunyai dimensi berupa Parhyangan (keselarasan hubungan Pencipta dengan manusia sebagai mahluk ciptaannya), Pawongan (keselarasan hubungan manusia yang satu dengan yang lain) dan Pelemahan (keselarasan hubungan antara manusia dengan alam sekelilingnya). Hal-hal inilah yang melandasi mengapa penyelesaian Delik Adat Lokika Sanggraha bagi masyarakat Adat bali di samping diinginkan berupa pidana penjara juga ditambah kewajiban adat di dalamnya.

Bagaimana mengenai dimensi delik adat Lokika Sanggraha dalam konteks pembentukan hukum pidana nasional? Mengenai masalah Delik Adat Lokika Sanggraha dalam konteks ini khususnya dapat dilihat dari pelbagai sudut. Pertama, apakah unsur-unsur delik yang terdapat dalam Lokika Sanggraha juga ada dan dikenal pada masyarakat adat di seluruh Indonesia. Hal ini penting sekali sifatnya oleh karena dengan dikenal dan diakuinya delik tersebut proses kriminalisasi dapat mencapai tujuan secara lebih sempurna sehingga untuk itu nantinya tidak diharapkan adanya keadaan “eenmalig”. Kedua, dengan penerapan delik adat ini ke dalam Hukum Pidana Nasional mendatang maka harus juga dipikirkan mengenai masalah Pasal 1 yat (1) KUHP tentang Asas Legalitas dimana akan bergeser dari ketentuan melawan hukum formal ke melawan hukum materiil. Ketiga, variasi penjatuhan pidana apakah telah dipikirkan mengenai pidana tambahan berupa kewajiban adat yang memang belum diatur di dalamnya.

Ketiga sudut pandang tersebut merupakan kendala bagi penerapan pembentukan Hukum Pidana nasional terhadap eksistensi dan pengangkatan Delik Adat. Kalau kita lihat, maka konsepsi RUU KUHP Tahun 2008 Pasal 1 menyebutkan :
(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan tetap ditetapkan sebagai tindak pidana dalam perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP memberi landasan diterapkan Delik Adat khususnya dalam pembicaraan ini Delik Adat Lokika Sanggraha. Jikalau pasal 1 ayat (3), (4) ini dihubungkan dengan ketentuan Asas Legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP maka menimbulkan permasalahan yakni ia berlaku dalam artian formal ataukah materiil. Mengenai hal ini banyak pendapat sarjana dilontarkan dimana satu fihak tetap mempertahankan sebagai hukum tertulis dimana pelanggarnya dijatuhkan pidana berdasarkan pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart. 1/1951 sedangkan pendapat Zainal Abidin memberi jalan keluar untuk sementara yaitu hendaknya Delik Pidana Adat dianggap sebagai Delik Aduan (Kracht-Delicten).

Sehingga melalui aspek tersebut di atas, usaha kriminalisasi terhadap Delik Adat Lokika Sanggraha dalam hukum pidana nasional mendatang perlulah diteliti mengenai eksistensi perbuatan tersebut. Hal ini penting sifatnya oleh karena pernah dalam praktik peradilan bahwa hakim tidak menjatuhkan pidana adat daerah terhadap unsur-unsur yang identik dengan Delik Adat Lokika Sanggraha akan tetapi hakim menterapkan ketentuan pasal 378 KUHP yakni melalui Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 144/Pid/1983/PT-Mdn dengan memperluas pengertian “barang” sebagaimana ketentuan Pasal 378 KUHP termaktub juga “jasa” atau “kepuasan sex”.

Dengan demikian prospek Delik Adat Lokika Sanggraha dalam hal pembentukan hukum pidana nasional mendatang haruslah melalui proses penelitian apakah unsur-unsur delik ini dikenal dalam masyarakat adat seluruh Indonesia apakah tidak. Akan tetapi RUU KUHP Tahun 2008 khususnya ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) memberikan landasan penterapan pidana adat untuk berlakunya pada masyarakat Indonesia.


1. Pidana Pemenuhan Kewajiban Adat Dalam RUU KUHP Tahun 2008

Pada asasnya, secara substansial sistem hukum pidana adat berlandaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam suatu masyarakat dengan bercirikan asas kekeluargaan, religius magis, komunal dengan bertitik tolak bukan atas dasar keadilan individu akan tetapi keadilan secara bersama. Konsekuensi logis dimensi demikian maka penyelesaian dalam suatu masyarakat adat berlandaskan pada dimensi penyelesaian yang membawa keselarasan, kerukunan dan kebersamaan. Tegasnya, hukum pidana adat lebih mengkedepankan eksistensi pemulihan kembali keadaan terguncang akibat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku. Soepomo menyebutkan dalam sistem hukum pidana adat tujuan dijatuhkannya sanksi adat sebagaimana berlaku dan dipertahankan pada suatu masyarakat adat bukanlah sebagai suatu pembalasan agar pelanggar menjadi jera akan tetapi adalah untuk memulihkan perimbangan hukum yang terganggu dengan terjadinya suatu pelanggaran adat. Perimbangan hukum itu meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib.

Penjatuhan pidana yang dijatuhkan hakim adalah sebuah proses mengadili dengan bertitik tolak alat bukti, proses pembuktian, hukum pembuktian dan ketentuan hukum acara pidana. Pada proses ini hakim memegang peranan penting untuk mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan penjatuhan pidana terhadap pelaku melalui putusan. Penjatuhan pidana oleh hakim mempertimbangkan segala aspek baik perbuatannya, pelakunya (daad-dader strafrecht), tujuan pemidanaan serta mempertimbangkan keseimbangan kepentingan antara pelaku, bangsa dan negara, korban, ilmu hukum dan demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa.

Pada asasnya, konsep RUU KUHP Tahun 2008 merumuskan tujuan pemidanaan. Aspek dan dimensi ini merupakan sebuah kemajuan yang cukup representatif dalam hukum pidana Indonesia. Ketentuan Pasal 54 ayat (1) huruf c RUU KUHP menentukan, “pemidanaan bertujuan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat”, sehingga agar dapat terpenuhinya dimensi ini secara konkrit pada praktik penegakan hukum telah ditentukan pula adanya eksistensi pidana tambahan sebagaimana ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf e berupa, “pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat”. Asasnya, hakim menjatuhkan pidana “pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat” apabila pelaku telah memenuhi ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP yang disebut sebagai tindak pidana adat. Kemudian, penjatuhan pidana tambahan ini dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain.

Konsepsi pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Eksistensi adanya penjatuhan pidana tambahan dimaksudkan untuk menambah pidana pokok yang dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Tegasnya hakim bebas dalam menentukan pidana tambahan baik bersama dengan pidana pokok atau sebagai pidana berdiri sendiri atau juga dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lain, meskipun tidak dicantumkan sebagai ancaman dalam rumusan tindak pidana.

Apabila dikaji secara intens, detail dan terperinci sebagai dasar kewenangan hakim untuk menjatuhkan sanksi adat berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat” ditegaskan oleh ketentuan Pasal 100 ayat (1) RUU yang menentukan, “dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4) hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat”, kemudian jika perbuatan pelaku merupakan tindak pidana adat sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) maka penjatuhan pidana oleh hakim berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang diutamakan.

Konsekuensi logis dimensi konteks di atas dapat disebutkan bahwa apabila hakim mengadili tindak pidana adat maka agar pidana yang dijatuhkan bersifat proporsional dan dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh masyarakat maupun pelaku, hakim harus mempertimbangkan pedoman pemidanaan dan tujuan pemidanaan.

Ketentuan Pasal 55 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2008 tentang pedoman pemidanaan dimana disebutkan dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan:
a. kesalahan pembuat tindak pidana;
b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. sikap batin pembuat tindak pidana;
d. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
e. cara melakukan tindak pidana;
f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
h. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
i. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
j. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
 
Kemudian ketentuan Pasal 54 ayat (1) menentukan tujuan pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman mesyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pedoman pemidanaan khususnya yang berupa pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan dan tujuan pemidanaan khususnya berupa menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat adalah dimensi yang harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan putusan. Apabila anasir ini diperhatikan maka putusan hakim juga secara menyeluruh mempertimbangkan dimensi legal justice, moral justice dan social justice.

Pidana berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dianggap setara atau sebanding dengan pidana denda Kategori I dengan besaran sejumlah Rp. 1. 500.000, 00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan jikalau pidana berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat tidak dilaksanakan terpidana maka dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda yang dapat berupa pidana pengganti kerugian. Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat di dalam konsep RUU KUHP merupakan salah satu aspek perlindungan terhadap korban dimana jenis pidana ini pada dasarnya dapat juga dilihat sebagai bentuk pemberian ganti rugi kepada korban. Hanya saja yang menjadi korban di sini adalah masyarakat adat.

Konsekuensi logis diakui dan adanya dasar hukum yang tegas eksistensi hukum yang hidup (hukum pidana adat) akan memberikan tugas, tanggung jawab dan beban relatif lebih berat kepada hakim untuk lebih dapat memahami dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim harus benar-benar memahami perasaan masyarakat, keadaan masyarakat, terlebih masyarakat Indonesia yang majemuk dengan pelbagai macam adat istiadat, tradisi dan budaya yang berbeda-beda yang tetap dipertahankan sebagai hukum yang hidup. Soedarto menyebutkan bahwa mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya keputusannya tidak kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas kebenaran putusannya baik secara formal maupun materiil.


II. Konklusi dan Rekapitulasi

Pada asasnya, hukum pidana adat adalah perbuatan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya gangguan ketentraman dan keseimbangan masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu, untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut terjadi reaksi-reaksi adat sebagai bentuk wujud mengembalikan ketentraman magis yang terganggu dengan maksud sebagai bentuk meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial akibat suatu pelanggaran adat.

Apabila dikaji dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat juga bersumber baik sumber tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tertulis dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat bersangkutan. Kemudian sumber tidak tertulis dari hukum pidana adat adalah semua peraturan yang dituliskan seperti di atas daun lontar, kulit atau bahan lainnya.

Dikaji dari perspektif normatif, teoretis, asas dan praktik dimensi dasar hukum dan eksistensi keberlakukan hukum pidana adat bertitik tolak berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, ketentuan Pasal 5 ayat (1) Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP Tahun 2008, pendapat doktrina dan yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Pada praktik peradilan, hukum pidana adat terdapat dalam beberapa putusan seperti delik adat “lokika sanggraha” di Bali berdasarkan Pasal 359 Kitab Adigama jo ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 dengan adanya sanksi adat sekaligus pemulihan keseimbangan kosmis di dalamnya. Terhadap prospek dan dimensi delik adat Lokika Sanggraha dalam konteks pembentukan hukum pidana nasional maka tergantung aspek apakah unsur-unsur delik yang terdapat dalam Lokika Sanggraha juga ada dan dikenal pada masyarakat adat di seluruh Indonesia.

Pada RUU KUHP Tahun 2008 sebagai ius constituendum diatur eksistensi pidana tambahan berupa, “pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat” dimana hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan pedoman pemidanaan dan tujuan pemidanaan. Pedoman pemidanaan khususnya yang berupa pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan dan tujuan pemidanaan khususnya berupa menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat sehingga putusan hakim secara menyeluruh mempertimbangkan dimensi legal justice, moral justice dan social justice.

***

DAFTAR PUSTAKA
  • Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Dalam Era Globalisasi, Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2008
  • Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001
  • Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 2009
  • H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2007
  • Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, CV Rajawali, Jakarta, 1961
  • I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT Eresco, Bandung, 1993
  • Lieven Dupont dan Raf Verstraeten, Handboek Belgisch Strafrech, Acoo Leuven/Amersfoort, 1990 dalam: Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Hukum Pidana Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, PT Alumni, Bandung, 2002
  • Lilik Mulyadi, Eksistensi Yurisprudensi Dikaji Dari Perspektif Teoretis dan Praktik Peradilan, Bahan Literatur Penelitian Kedudukan Dan relevansi Jurisprudensi Untuk Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan, Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2010
  • ————–, Delik Adat “Lokika Sanggraha” Di Bali, Majalah Varia Peradilan, Penerbit IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia), Jakarta, Oktober, 1987
  • M. Cherif Bassiouni, Introduction to International Criminal Law, Transnational Publisher, Inc. Ardsley, New York, 2003
  • Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
  • Soerojo Wignodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, PT Alumni, Bandung, 1979
  • Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Universitas, 1963
  • Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, PT Alumni, Bandung, 1983
  • Ter Haar BZN, Azas-Azas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976
__________________________________
undefinedPenulis: Dr Lilik Mulyadi SH MH,
Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang dan Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis Buku Ilmu Hukum dan Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Email: lilikmulyadi@yahoo.com