Ilustrasi: google.com
Asas Legalitas dalam Perspektif Hukum Pidana dan Kajian Perbandingan Hukum (Bagian I)
Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi “principle of legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu”. Andi Hamzah menterjemahkan dengan terminologi, “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”. Moeljatno menyebutkan pula bahwa, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Oemar Seno Adji menentukan prinsip “legality” merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh “Rule of Law” – konsep, maupun oleh faham “Rechtstaat” dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas “nullum delictum” dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip “legality”. Nyoman Serikat Putra Jaya, menyebutkan perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung makna asas lex temporis delicti, artinya undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut juga asas “nonretroaktif”, artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut. Asas legalitas juga berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan larangan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (nonretroactive application of criminal laws and criminal sanctions).
Dikaji dari substansinya, asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), nullum crimen sine lege (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang) atau nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya) atau nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa ketentuan yang tegas).
Konsepsi asas ini dikemukakan oleh Paul Johan Anslem von Feurbach (1775-1833), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801 yang mengemukakan teori mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Paul Johan Anslem von Feurbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana dan jikalau orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Akan tetapi, menurut J.E. Sahetapy dikemukakan bahwa Samuel von Pufendorflah yang mendahului von Feuerbach, maka Oppenheimer menganggap bahwa “Talmudic Jurisprudence” lah yang mendahului teori von Feurbach. Bambang Poernomo menyebutkan bahwa, apa yang dirumuskan oleh von Feurbach mengandung arti yang sangat mendalam, yaitu dalam bahasa Latin berbunyi: “nulla poena sine lege; nulla poena sine crimine; nullum crimen sine poena legali”.
Akan tetapi, walaupun asas legalitas diformulasikan dalam bahasa Latin, ada menimbulkan kesan seolah-olah asal muasal asas ini adalah dari hukum Romawi kuno. Aturan ini, dalam formulasi bahasa Latin, berasal dari juris Jerman, von Feuerbach – ini berarti bahwa asas ini lahir pada awal abad 19 dan harus dipandang sebagai produk ajaran klasik. J.E. Sahetapy menyebutkan bahwa asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin semata-mata karena bahasa Latin merupakan bahasa ‘dunia hukum’ yang digunakan pada waktu itu. Moeljatno menyebutkan bahwa, baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum Romawi Kuno. Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti “kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang”. Diantara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat). Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana.
Selain konteks di atas, ada juga yang berasumsi bahwa asas legalitas berasal dari ajaran Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois. Menurut van der Donk dan Hazewinkel Suringa baik ajaran Montesquieu maupun Rosseau mempersiapkan penerimaan umum terhadap asas legalitas, akan tetapi dalam ajaran kedua tokoh tersebut tidak terdapat rumusan asas legalitas. Maksud dari pelajaran kedua tokoh tersebut adalah melindungi individu terhadap tindakan hakim yang sewenang-wenang, yaitu melindungi kemerdekaan pribadi individu terhadap tuntutan tindakan yang sewenang-wenang. Hans Kelsen menyebutkan dimensi asas nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege adalah ekspresi legal positivism dalam hukum pidana.
Dikaji dari perspektif sejarah terbentuknya asas legalitas dalam KUHP Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht Nederland (WvS. Ned), sebagaimana berasal dari ketentuan Pasal 8 Declaration des Droits De L’Homme Et Du Citoyen tahun 1789 yang berbunyi, “tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya”, dan merupakan pandangan Lafayette dari Amerika ke Perancis dan bersumber dari Bill of Rights Virgina tahun 1776.
Apabila dianalisis lebih intens, detail dan terperinci terminologi “ketentuan perundang-undangan (wettelijk strafbepaling)” dan “undang-undang” maka ruang lingkup asas legalitas dalam hukum pidana materiil lebih luas dengan terminologi “perundang-undangan” dari kata “undang-undang” pada ketentuan hukum acara pidana. Tegasnya, asas legalitas di samping dikenal dalam ketentuan hukum pidana materiel juga dikenal dalam ketentuan hukum acara pidana (hukum pidana formal). Andi Hamzah kemudian lebih lanjut menyebutkan bahwa dengan demikian, asas legalitas dalam hukum acara pidana lebih ketat daripada dalam hukum pidana materiel, karena istilah dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP (sama dengan Belanda) “ketentuan perundang-undangan” (wettelijk strafbepaling) sedangkan dalam hukum acara pidana disebut undang-undang pidana. Jadi, suatu peraturan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tetapi tidak boleh membuat aturan acara pidana.
Hakikat ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mendeskripsikan tentang pemberlakuan hukum pidana menurut waktu terjadinya tidak pidana (tempus delicti). Konkritnya, untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan agar dipidana maka ketentuan pidana tersebut harus ada terlebih dahulu diatur sebelum perbuatan dilakukan. Francis Bacon (1561-1626), seorang filsuf Inggris merumuskan dalam adagium moneat lex, priusquam feriat (undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya), ini kiranya mencakup lebih dari sekedar itu, yakni mencakup juga pembenaran atas pidana yang dijatuhkan. Hanya jika ancaman pidana yang muncul terlebih dahulu telah difungsikan sebagai upaya pencegahan, menghukum dapat dibenarkan.
Dalam perspektif tradisi Civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu terhadap peraturan perundangan-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa dan analogi. Roelof H. Haveman menyebutkan keempat dimensi konteks di atas sebagai, though it might be said that not every aspect is that strong on its own, the combination of the four aspects gives a more true meaning to principle of legality. Moeljatno menyebutkan bahwa asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu:
(1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.(2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
(3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Komariah Emong Sapardjaja dengan bertitik tolak pandangan Groenhuijsen menyebutkan ada empat makna yang terkandung asal legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Pertama, bahwa pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. Kedua, bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi. Polarisasi pemikiran Komariah Emong Sapardjaja dengan bertitik tolak pandangan Groenhuijsen hakikatnya identik dengan pendapat dari Machteld Boot dengan titik tolak pandangan Jeschek dan Weigend yang menyebutkan empat syarat asas legalitas. Pertama, tidak ada perbuatan pidana dan pidana tanpa undang-undang sebelumnya (asas nullum crimen, noela poena sine lege pravia). Kedua, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis (asas nullum crimen, nulla poena sine lege scripta). Ketiga, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas (asas nullum crimen, nulla poena sine lege certa). Keempat, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat (asas nullum crimen, noela poena sine lege stricta). Lebih detail Machteld Boot menyebutkan bahwa:
“The formulation of the Gesetzlichkeitsprinzip in Article 1 StGB is generally considered to include four separate requirements. Fist, conduct can only be punished if the punishability as well as the acconpanying penalty had been determined before the offence was committed (nullum crimen, noela poena sine lege praevia). Furthermore, these determinations have to be be included in statutes (Gesetze): nullum crimen, noela poena sine lege scripta. These statutes have to be difinite (bestimmt): nullum crimen, noela poena sine lege certa. Lastly, these statutes may not be applied by analogy which is reflected in the axion nullum crimen, noela poena sine lege stricta.”
JH. J. Enschede, menyebutkan hanya ada dua makna yang terkandung dalam asas legalitas, yaitu: Pertama, suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundang-undangan pidana (…wil een feit strafbaar zijn, dan moet het vallen onder een wettelijke strafbepaling…). Kedua, kekuatan ketentuan pidana pidana tidak boleh diberlakukan surut (…zo’n strafbepaling mag geen terugwerkende kracht hebben…). Kemudian Jan Remmelink menyebutkan tiga hal tentang makna asas legalitas. Pertama, Konsep perundang-undang yang diandaikan ketentuan Pasal 1. Ketentuan Pasal 1 Sv (KUH Pidana Belanda maupun Indonesia, bdgk. Pasal 3 KUHP Indonesia 1981) menetapkan bahwa hanya perundang-undangan dalam arti formal yang dapat memberi pengaturan di bidang pemidanaan. Kata perundang-undangan (wettelijk) dalam ketentuan Pasal 1 menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa pidana akan ditetapkan secara legitimate. Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa pelbagai bentuk perundang-undangan tercakup di dalamnya, termasuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah (tingkat provinsi maupun kabupaten/kotamadya) dan seterusnya. Kedua, Lex Certa (undang-undang yang dirumuskan terperinci dan cermat/nilai relatif dari ketentuan ini). Asas Lex Certa atau bestimmtheitsgebot merupakan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak akan berguna sebagai pedoman perilaku. Ketiga, dimensi analogi. Asas legalitas menyimpan larangan untuk menerapkan ketentuan pidana secara analogis (nullum crimen sine lege stricta: tiada ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit/ketat di dalam peraturan perundang-undangan).
__________________________________
Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang dan Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis Buku Ilmu Hukum dan Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Email: lilikmulyadi@yahoo.com