Ilustrasi: Sidang MK - google.com
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang diajukan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Lily Chadidjah Wahid.
"Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua majelis MK Moh Mahfud MD di Gedung MK Jakarta, Senin (14/3).
Dalam permohonannya, Lily menguji kontitusionalitas Pasal 213 ayat (2) huruf e-h UU MD3 dan Pasal 12 huruf g-h UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Pasal-pasal itu mengatur tentang usulan pemberhentian anggota DPR dan DPRD yang dilakukan oleh partai politik (Parpol).
Berlakunya pasal itu dinilai merugikan hak konstitusional pemohon dan juga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Menurutnya pemberhentian anggota DPR lewat pergantian antar waktu (PAW) atau recall, melanggar hak kedaulatan rakyat. Sebab, anggota dewan dipilih oleh rakyat dengan suara terbanyak, sehingga seharusnya parpol tak berwenang untuk memberhentikan dan me-recall.
Awalnya, motivasi pemohon mengajukan uji materi ini lantaran muncul ancaman dari PKB untuk me-recall dirinya. Ancaman dari partai keluar setelah Lily membelot dari kebijakan partai dalam keputusan panitia khusus hak angket Bank Century.
Terlebih, sebelumnya Lily juga mengajukan uji materi UU Kementerian Negara. DPP PKB lalu mencopot Lily sebagai Wakil Ketua Dewan Syuro PKB. Beberapa kesalahan Lily itu dianggap tidak bisa ditoleransi lagi karena bisa mengganggu soliditas PKB.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan UU Partai Politik telah mengatur tindakan pendisiplinan terhadap anggota partai politik, termasuk anggota partai politik yang menjadi anggota dewan. “Itu tidaklah bertentangan dengan konstitusi,” kata Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Maria mengatakan bahwa Pasal 22B UUD 1945 memungkinkan pemberhentian anggota DPR dari jabatannya yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
Selain itu, Mahkamah juga pernah memutus (vide Putusan Nomor 008/PUU-IV/2006 bertanggal 28 September 2006) bahwa PAW karena pencabutan keanggotaan dari parpol bagi anggota DPR/DPRD itu sah dan konstitusional sebagai hak partai politik. Sebab, menurut Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, peserta pemilu anggota DPR/DPRD adalah Parpol.
Karena itu, Mahkamah tetap berpendirian bahwa Parpol berwenang melakukan PAW bagi anggotanya yang bertugas menjadi anggota DPR/DPRD sesuai ketentuan undang-undang dan AD/ART partai. Namun, jika prosesnya melanggar dan sewenang-wenang, maka anggota Parpol yang bersangkutan dapat menempuh jalur hukum baik melalui peradilan tata usaha negara maupun melalui peradilan umum.
Tentunya, setiap warga negara yang memilih dan bergabung sebagai anggota parpol tertentu dengan sendirinya secara sukarela menundukkan diri, terikat, dan menyetujui AD/ART parpol yang bersangkutan. “Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tutur Maria.
Meski substansi permohonan ini sudah pernah diputus sebelumnya, sehingga permohonan ini nebis in idem (objek permohonan sama) dan permohonan seharusnya tidak dapat diterima. Tetapi, karena permohonan ini memuat undang-undang yang berbeda, maka permohonan ini harus dinyatakan ditolak.
(Tim JLC)
Sumber: Hukum Online