Ilustrasi: Primair Online
KISAH HUKUM YANG LOYO (Bagian II)
BOLEHLAH dibilang, kasus korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) merupakan perkara seksi yang berada di papan atas perjalanan hukum bangsa ini dalam kurun setahun terakhir. Nilai duitnya, kerugian negara, ditaksir Rp420 miliar. Pihak yang terlibat: para pejabat dan eks pejabat, pengusaha.
Sejarah Sisminbakum begini. Pada 1999, International Monetary Fund (IMF) mensyaratkan, dalam Letter of Intent (LoI) semasa Presiden Gus Dur, percepatan pendaftaran badan hukum perusahaan di Indonesia, yang berada di bawah kewenangan Departemen Kehakiman dan HAM (saat itu).
Menteri saat itu Yusril Ihza Mahendra mengusulkan modifikasi Sisminbakum. Semula sistem ini manual. Namun disulap menjadi sistem teknologi informasi (IT). Saran itu diterima oleh Presiden.
Sejak saat itu Sisminbakum mulai dipersiapkan. Proses pengesahan badan hukum perusahaan ini di bawah kewenangan Administrasi Hukum Umum (AHU). Rencana perubahan sistem itu pertama kali dilempar pemerintah saat Dirjen AHU, Prof Romli Atmasasmita (saat itu) bertemu dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI).
Konsep Sisminbakum kemudian diterima oleh calon penggunanya. Pada 8 November 2000 Direktorat Jenderal AHU menunjuk dua operator Sisminbakum, yakni PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) dan Koperasi Pengayoman Pegawai Kehakiman (KPPDK). Di kantor Dirjen AHU, penandatanganan kerjasama itu dilakukan.
PT SRD diwakili oleh Direktur Utama Yohanes Waworuntu, sementara KPPDK diwakili Ketuanya Ali Amran Djanah. Suasana meriah. Turut hadir Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra serta pengusaha Hary Tanoesoedibjo dan Hartono Tanoesoedibjo. Apa peran keduanya?
Hartono hadir sebagai salah seorang komisaris PT SRD. Lewat anak perusahaan PT Bhakti Investama, yakni PT Bhakti Aset Management (BAM), terbentuklah PT SRD di bawah kendali Hary Tanoesoedibjo.
Disepakati, PT SRD mendapat 90 persen dari total biaya penggunaan jasa. Sisahnya 10 persen masuk kantong KPPDK. Dalam butir kesepakatan, SRD juga diminta menyerahkan seluruh fasilitas yang dibangun setelah 10 tahun. Terhitung dari tanggal 31 Januari 2001 Sismibakum beroperasi. Presiden Megawati Soekarnoputri meluncurkan sistem ini.
Kecepatan akselerasi Sisminbakum berhenti di tahun 2008. Kejaksaan Agung, melalui penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), menetapan Romli Atmasasmita sebagai tersangka. Proyek ini dituding sebagai praktik korupsi.
Dari penyidikan jaksa ditemukan dugaan korupsi proyek Sisminbakum. Modusnya adalah dengan menaikkan biaya pokok pembuatan badan hukum menjadi 300 persen dari ketetapan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Semua biaya pembuatan Sisminbakum dipatok, dari semula Rp200 ribu menjadi Rp1,35 juta.
Tak tanggung-tanggung, total kerugian negara dalam proyek ini hingga Rp420 miliar. Total itu didapat dari jumlah pendaftar selama 7 tahun. Sebagian besar dari total itu, yakni 90 persen mengalir ke PT SRD. Pada tahap pertama penyidik menetapkan lima tersangka. Yakni, tiga mantan Dirjen AHU Romli Atmasasmita, Samsuddin Manan Sinaga dan Zulkarnain Yunus. Direktur Utama PT SRD Yohanes Waworuntu dan Ketua KPPDK Ali Amran Djanah juga masuk dalam gelombang pertama.
Baru dua tahun kemudian, tanggal 24 Juni 2010, Hartono resmi ditetapkan sebagai tersangka. Media geger. Pasalnya, saat ditetapkan sebagai tersangka, Hartono diduga kabur ke Singapura. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Imigrasi, Hartono pergi satu hari sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
Pada pemeriksaan pertama tanggal 1 Juli 2010, Hartono mangkir. Ia menyatakan sedang berobat di Singapura. Baru pada 15 Juli 2010, Hartono hadir. Namun ia tidak sendiri.
Pemeriksaan itu gaduh. Bukan karena kakak bos PT Media Nusantara Citra (MNC) itu diperiksa. Gaduh justru karena terungkapnya pertemuan antara Jampidsus M Amari dengan Hary di Kejaksaan Agung, tepat saat Hartono diperiksa. Alhasil Hartono tidak ditahan seperti tersangka lain seusai diperiksa.
Sisminbakum ini merembet menjadi persoalan lain, utamanya ketika Sisminbakum dipergunakan untuk kepentingan yang diduga menyimpang dari tujuan pendirian sistem itu.
Berdasarkan penelusuran dokumen oleh primaironline.com, pekan lalu, dalam surat Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum Umum, Nomor AHU. AH.03.04-03 tertanggal 19 Januari 2011, yang ditujukan kepada Deputi Menteri Sekretaris Negara, disebutkan bahwa Sisminbakum pernah disalahgunakan untuk memblokir akses pemegang saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), Siti Hardiyanti Rukmana. Perintah pemblokiran ini dilakukan oleh Hary Tanoesoedibjo kepada Yohanes Waworuntu.
"Pihak Hary Tanoeseodibjo melalui notaris Bambang Wiweko memberikan kuasa kepada Yohanes Waworuntu, Direktur PT Sarana Rekatama Dinamika (PT SRD) yang mengendalikan secara teknis sistem pendaftaran badan hukum pada saat itu, (pengelolaan teknis ini jadi obyek penyidikan Kejagung dan belakangan kasus ini dikenal sebagai kasus Sisminbakum membuat beberapa pejabat/orang menjadi tersangka, terdakwa hingga terpidana) untuk memproses permohonan perubahan pemegang saham dan pengruus perseroan melalui akta nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 yang akhirnya menerbitkan surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor C 07564 HT.01.04 Tahun 2005 tanggal 21 Maret 2005. Jadi surat itu tidak melalui proses pejabat yang memiliki kewenangan untuk mengubah anggaran dasar perseroan. Penegasan itu disampaikan kepada tim independen oleh Zulkarnaen Yunus (Dirjen AHU), Syamsudin Manan Sinaga (Direktur Perdata), Budiharjo (Kasubdit Badan hukum) dan menurut pengakuan Yohanes Waworuntu Direktur PT SRD dirinya melakukan hal tersebut atas perintah Hary Tanoeseodibyo," demikian surat Dirjen AHU Aidir Amin Daud, sebagaimana dikutip, Jumat (11/3).
Surat ini menanggapi permintaan Setneg yang mendapat pengaduan masyarakat. Tepatnya permintaan dari Direktur dan Wakil Direktur TPI Nomor 056/DIR-TPI/XI/2010 tanggal 18 Oktober 2010, perihal keberatan mengenai perubahan nama TPI menjadi MNC TV.
Aidir menyatakan, kajian tim Kemenkumham merupakan dasar dikeluarkannya surat 8 Juni 2010 yang menyebut SK Menkumham tahun 2005 soal pendaftaran hasil RUPLSB 18 Maret 2005 adalah cacat hukum. Jawaban yang sama juga sudah disampaikan dalam tanggapan pencabutan gugatan tata usaha negara yang diajukan PT Media Nusantara Citra.
"Kekeliruan dalam menerbitkan surat keputusan oleh menteri hukum dan hak asasi manusia telah dikoreksi dan diralat beserta segala akibat hukumnya," ujar Aidir.
Mengenai perubahan nama TPI menjadi MNC TV, dalam arti mengubah nama perseroan (PT), maka perubahan nama perseroan tersebut wajib dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Menkumham, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
"Menteri atau pejabat yang ditunjuk yang dalam hal ini Direktur Jenderal AHU dapat memberikan persetujuan perubahan anggaran dasar perseroan apabila permohonan akta perubahan anggaran dasar perseroan telah memenuhi ketentuan UU maupun syarat administrasi lainnya," jelasnya.
Kendati demikian, Aidir menggarisbawahi, bahwa antara Tutut dan Hary Tanoe belum pernah meminta persetujuan perubahan nama itu. Setiap akses perubahan anggaran dasar TPI masih ditutup DIrjen AHU lantaran ada sengketa di PN Jakpus terkait gugatan Tutut kepada PT Berkah Karya Bersama.
Diwawancarai terpisah mengenai perkara korupsi dan penyimpangan penggunaan Sisminbakum oleh primaironline.com, pihak keluarga Tanoesoedibjo membantah melakukan korupsi dalam kasus sistem administrasi badan hukum. Pihaknya juga mengaku tak punya kuasa dalam mempengaruhi pejabat termasuk aparat penegak hukum.
Kuasa hukum Hartono Tanoesoedibjo, Andi F Simangunsong, kepada primaironline.com, Jumat (11/3), berkata, Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah tidak memiliki alasan lagi dalam memperkarakan Hartono. Pasalnya, putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang membebaskan Romly Atmasasmitha menjadi dasar, bahwa saat peristiwa pembagian keuntungan dalam Sisminbakum terjadi belumlah dikategorikan sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). "Bukan keuangan negara," ujar Andi.
Sejarah Sisminbakum begini. Pada 1999, International Monetary Fund (IMF) mensyaratkan, dalam Letter of Intent (LoI) semasa Presiden Gus Dur, percepatan pendaftaran badan hukum perusahaan di Indonesia, yang berada di bawah kewenangan Departemen Kehakiman dan HAM (saat itu).
Menteri saat itu Yusril Ihza Mahendra mengusulkan modifikasi Sisminbakum. Semula sistem ini manual. Namun disulap menjadi sistem teknologi informasi (IT). Saran itu diterima oleh Presiden.
Sejak saat itu Sisminbakum mulai dipersiapkan. Proses pengesahan badan hukum perusahaan ini di bawah kewenangan Administrasi Hukum Umum (AHU). Rencana perubahan sistem itu pertama kali dilempar pemerintah saat Dirjen AHU, Prof Romli Atmasasmita (saat itu) bertemu dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI).
Konsep Sisminbakum kemudian diterima oleh calon penggunanya. Pada 8 November 2000 Direktorat Jenderal AHU menunjuk dua operator Sisminbakum, yakni PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) dan Koperasi Pengayoman Pegawai Kehakiman (KPPDK). Di kantor Dirjen AHU, penandatanganan kerjasama itu dilakukan.
PT SRD diwakili oleh Direktur Utama Yohanes Waworuntu, sementara KPPDK diwakili Ketuanya Ali Amran Djanah. Suasana meriah. Turut hadir Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra serta pengusaha Hary Tanoesoedibjo dan Hartono Tanoesoedibjo. Apa peran keduanya?
Hartono hadir sebagai salah seorang komisaris PT SRD. Lewat anak perusahaan PT Bhakti Investama, yakni PT Bhakti Aset Management (BAM), terbentuklah PT SRD di bawah kendali Hary Tanoesoedibjo.
Disepakati, PT SRD mendapat 90 persen dari total biaya penggunaan jasa. Sisahnya 10 persen masuk kantong KPPDK. Dalam butir kesepakatan, SRD juga diminta menyerahkan seluruh fasilitas yang dibangun setelah 10 tahun. Terhitung dari tanggal 31 Januari 2001 Sismibakum beroperasi. Presiden Megawati Soekarnoputri meluncurkan sistem ini.
Kecepatan akselerasi Sisminbakum berhenti di tahun 2008. Kejaksaan Agung, melalui penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), menetapan Romli Atmasasmita sebagai tersangka. Proyek ini dituding sebagai praktik korupsi.
Dari penyidikan jaksa ditemukan dugaan korupsi proyek Sisminbakum. Modusnya adalah dengan menaikkan biaya pokok pembuatan badan hukum menjadi 300 persen dari ketetapan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Semua biaya pembuatan Sisminbakum dipatok, dari semula Rp200 ribu menjadi Rp1,35 juta.
Tak tanggung-tanggung, total kerugian negara dalam proyek ini hingga Rp420 miliar. Total itu didapat dari jumlah pendaftar selama 7 tahun. Sebagian besar dari total itu, yakni 90 persen mengalir ke PT SRD. Pada tahap pertama penyidik menetapkan lima tersangka. Yakni, tiga mantan Dirjen AHU Romli Atmasasmita, Samsuddin Manan Sinaga dan Zulkarnain Yunus. Direktur Utama PT SRD Yohanes Waworuntu dan Ketua KPPDK Ali Amran Djanah juga masuk dalam gelombang pertama.
Baru dua tahun kemudian, tanggal 24 Juni 2010, Hartono resmi ditetapkan sebagai tersangka. Media geger. Pasalnya, saat ditetapkan sebagai tersangka, Hartono diduga kabur ke Singapura. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Imigrasi, Hartono pergi satu hari sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
Pada pemeriksaan pertama tanggal 1 Juli 2010, Hartono mangkir. Ia menyatakan sedang berobat di Singapura. Baru pada 15 Juli 2010, Hartono hadir. Namun ia tidak sendiri.
Pemeriksaan itu gaduh. Bukan karena kakak bos PT Media Nusantara Citra (MNC) itu diperiksa. Gaduh justru karena terungkapnya pertemuan antara Jampidsus M Amari dengan Hary di Kejaksaan Agung, tepat saat Hartono diperiksa. Alhasil Hartono tidak ditahan seperti tersangka lain seusai diperiksa.
Sisminbakum ini merembet menjadi persoalan lain, utamanya ketika Sisminbakum dipergunakan untuk kepentingan yang diduga menyimpang dari tujuan pendirian sistem itu.
Berdasarkan penelusuran dokumen oleh primaironline.com, pekan lalu, dalam surat Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum Umum, Nomor AHU. AH.03.04-03 tertanggal 19 Januari 2011, yang ditujukan kepada Deputi Menteri Sekretaris Negara, disebutkan bahwa Sisminbakum pernah disalahgunakan untuk memblokir akses pemegang saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), Siti Hardiyanti Rukmana. Perintah pemblokiran ini dilakukan oleh Hary Tanoesoedibjo kepada Yohanes Waworuntu.
"Pihak Hary Tanoeseodibjo melalui notaris Bambang Wiweko memberikan kuasa kepada Yohanes Waworuntu, Direktur PT Sarana Rekatama Dinamika (PT SRD) yang mengendalikan secara teknis sistem pendaftaran badan hukum pada saat itu, (pengelolaan teknis ini jadi obyek penyidikan Kejagung dan belakangan kasus ini dikenal sebagai kasus Sisminbakum membuat beberapa pejabat/orang menjadi tersangka, terdakwa hingga terpidana) untuk memproses permohonan perubahan pemegang saham dan pengruus perseroan melalui akta nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 yang akhirnya menerbitkan surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor C 07564 HT.01.04 Tahun 2005 tanggal 21 Maret 2005. Jadi surat itu tidak melalui proses pejabat yang memiliki kewenangan untuk mengubah anggaran dasar perseroan. Penegasan itu disampaikan kepada tim independen oleh Zulkarnaen Yunus (Dirjen AHU), Syamsudin Manan Sinaga (Direktur Perdata), Budiharjo (Kasubdit Badan hukum) dan menurut pengakuan Yohanes Waworuntu Direktur PT SRD dirinya melakukan hal tersebut atas perintah Hary Tanoeseodibyo," demikian surat Dirjen AHU Aidir Amin Daud, sebagaimana dikutip, Jumat (11/3).
Surat ini menanggapi permintaan Setneg yang mendapat pengaduan masyarakat. Tepatnya permintaan dari Direktur dan Wakil Direktur TPI Nomor 056/DIR-TPI/XI/2010 tanggal 18 Oktober 2010, perihal keberatan mengenai perubahan nama TPI menjadi MNC TV.
Aidir menyatakan, kajian tim Kemenkumham merupakan dasar dikeluarkannya surat 8 Juni 2010 yang menyebut SK Menkumham tahun 2005 soal pendaftaran hasil RUPLSB 18 Maret 2005 adalah cacat hukum. Jawaban yang sama juga sudah disampaikan dalam tanggapan pencabutan gugatan tata usaha negara yang diajukan PT Media Nusantara Citra.
"Kekeliruan dalam menerbitkan surat keputusan oleh menteri hukum dan hak asasi manusia telah dikoreksi dan diralat beserta segala akibat hukumnya," ujar Aidir.
Mengenai perubahan nama TPI menjadi MNC TV, dalam arti mengubah nama perseroan (PT), maka perubahan nama perseroan tersebut wajib dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Menkumham, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
"Menteri atau pejabat yang ditunjuk yang dalam hal ini Direktur Jenderal AHU dapat memberikan persetujuan perubahan anggaran dasar perseroan apabila permohonan akta perubahan anggaran dasar perseroan telah memenuhi ketentuan UU maupun syarat administrasi lainnya," jelasnya.
Kendati demikian, Aidir menggarisbawahi, bahwa antara Tutut dan Hary Tanoe belum pernah meminta persetujuan perubahan nama itu. Setiap akses perubahan anggaran dasar TPI masih ditutup DIrjen AHU lantaran ada sengketa di PN Jakpus terkait gugatan Tutut kepada PT Berkah Karya Bersama.
Diwawancarai terpisah mengenai perkara korupsi dan penyimpangan penggunaan Sisminbakum oleh primaironline.com, pihak keluarga Tanoesoedibjo membantah melakukan korupsi dalam kasus sistem administrasi badan hukum. Pihaknya juga mengaku tak punya kuasa dalam mempengaruhi pejabat termasuk aparat penegak hukum.
Kuasa hukum Hartono Tanoesoedibjo, Andi F Simangunsong, kepada primaironline.com, Jumat (11/3), berkata, Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah tidak memiliki alasan lagi dalam memperkarakan Hartono. Pasalnya, putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang membebaskan Romly Atmasasmitha menjadi dasar, bahwa saat peristiwa pembagian keuntungan dalam Sisminbakum terjadi belumlah dikategorikan sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). "Bukan keuangan negara," ujar Andi.
Primair Online