Konsultasi Hukum
Antara Azas Legalitas dan Ius Curia Novit
Pertanyaan:
Pasal 1 KUHP menyatakan tidak dapatnya dipidana seseorang kalau belum ada pengaturan yang mengaturnya, sementara ada juga ketentuan bahwa hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya. Mohon penjelasannya.
Pasal 1 KUHP menyatakan tidak dapatnya dipidana seseorang kalau belum ada pengaturan yang mengaturnya, sementara ada juga ketentuan bahwa hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya. Mohon penjelasannya.
Jawaban:
Sebelum menjawab pertanyaan Saudara, kami akan memaparkan terlebih dahulu ketentuan dalam Pasal 1 KUHP yang kemudian di kenal dengan 'Azas Legalitas'. Pasal tersebut menyatakan sebagai berikut, "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan suatu aturan pidana dalam perundang-undangan, sebelum perbuatan itu dilakukan", yang dalam bahasa latinnya, "nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali". Dalam azas legalitas tersebut terkandung 3 makna penting yaitu:
Sebelum menjawab pertanyaan Saudara, kami akan memaparkan terlebih dahulu ketentuan dalam Pasal 1 KUHP yang kemudian di kenal dengan 'Azas Legalitas'. Pasal tersebut menyatakan sebagai berikut, "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan suatu aturan pidana dalam perundang-undangan, sebelum perbuatan itu dilakukan", yang dalam bahasa latinnya, "nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali". Dalam azas legalitas tersebut terkandung 3 makna penting yaitu:
- tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu tidak terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang;
- untuk menyatakan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi atau mengambil persamaan atas suatu peristiwa yang sebelumnya telah dinyatakan sebagai tindak pidana;
- aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut sehingga suatu aturan pidana tidak boleh berlaku ke masa sebelum dibentuknya aturan tersebut, kecuali hal itu dinyatakan dalam aturan yang bersangkutan.
Konsekuensi logis dengan berlakunya azas legalitas tersebut, maka bilamana terdapat suatu perbuatan yang 'dipandang' sebagai perbuatan pidana atau yang seharusnya dapat dipidana, tetapi belum ada aturan yang mengaturnya, maka terhadap pelaku perbuatan tersebut tidak dapat dikenakan sanksi pidana. Dengan demikian, tentu saja fungsi hukum pidana menjadi 'lumpuh', sehingga banyak pendapat yang akhirnya menyatakan bahwa azas legalitas merupakan suatu kelemahan dalam tubuh hukum pidana itu sendiri. Sebab hukum pidana akan senantiasa tertinggal oleh perkembangan perilaku masyarakat yang cenderung cepat dan dinamis.
Namun demikian, bukan berarti suatu perbuatan pidana yang dilakukan tetapi tidak atau belum diatur dalam undang-undang kemudian bebas atau tidak dapat dipidana. Tujuan utama asas legalitas adalah agar terdapat kepastian hukum, supaya undang-undang pidana dapat menjamin perlindungan bagi masyarakat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang sewenang-wenang dan agar undang-undang pidana dapat dipercaya (lex certa) oleh masyarakat.
Selanjutnya, terkait dengan adagium "hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya", hal tersebut diatur dalam 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Dalam adagium latin dikenal dengan "Ius Curia Novit" yang dijadikan salah satu asas hukum dan termuat dalam Code Civil, yang merupakan bagian dari Code Napoleon di Perancis. Pada mulanya asas itu ditafsirkan secara sempit, yaitu “hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan alasan hukum tidak ada atau kurang jelas”.
Penafsiran tersebut didasarkan pada keyakinan yang berkembang saat itu, bahwa hukum tertulis yang terkodifikasi itu telah secara lengkap memuat aturan tentang seluruh peristiwa hukum dan hubungan hukum yang mungkin terjadi dalam seluruh segi kehidupan manusia. Namun kemudian ternyata bahwa hukum yang telah terkodifikasi itu tidak pernah lengkap dan selalu tertinggal oleh perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karenanya asas itu kemudian ditafsirkan secara luas, yaitu memberikan wewenang kepada pengadilan (hakim) untuk menemukan hukum (rechtsvinding) untuk mengadili perkara yang diajukan kepadanya, manakala hukum yang terkodifikasi belum mengaturnya.
Penemuan hukum itu dimaksudkan agar para pencari keadilan (justitiabelen) tetap terjamin haknya untuk memperoleh keadilan, walaupun hukum tertulis belum mengaturnya. Asas tersebut kemudian diserap dan diterima secara universal. Di Belanda, asas tersebut dimuat dalam Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB), kemudian Indonesia (Nederlandsche Indie) mencantumkan asas tersebut dalam Pasal 22 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlandsche Indie (Staatsblad 1847 Nomor 23), yang berbunyi : “De regter, die weigert regt te spreken, onder voorwendsel van stilzwijgen, duisterheid of onvolledigheid der wet, kan uit hoofde van regtsweigering vervolgd worden”.
Dengan menelusuri sejarahnya, ketentuan yang tercantum dalam Pasal 16 tersebut bukan hanya merupakan ketentuan umum (algemene norm), melainkan merupakan asas yang dianut secara universal dalam sistem peradilan. Oleh karena itu tepat sekali pembuat undang-undang menempatkan Pasal 16 itu di bawah Bab II dengan berjudul Badan Peradilan dan Asasnya. Sebagai perbandingan, Filipina mencantumkan asas itu dalam The Civil Code of The Philippines Article 9 yang berbunyi: “No judge or court shall decline to render judgement by reason of the silence, obscurity or insufficiency of the laws”.
Kemudian, dalam hukum pidana dikenal pula doktrin “no crime without punishment”. Dengan demikian maka meskipun asas legalitas merupakan kesepakatan para pembentuk undang-undang, tetapi di dalamnya juga mengatur tentang interpretasi judisial. Fungsinya untuk mengisi kekosongan ruang dalam suatu perundang-undangan. Interpretasi judisial yang dimaksud adalah menjalankan undang-undang setelah undang-undang itu menjadi jelas atau menjalankan kaidah yang oleh undang-undang tidak dinyatakan dengan jelas. Memang asas legalitas melarang penggunaan analogi dalam interpretasi judisial. Namun demikian para pembentuk undang-undang sepakat membuat kebijakan seiring perkembangan kondisi masyarakat yang berubah sangat cepat maka penafsiran secara analogi di ijinkan untuk dipergunakan oleh para hakim.
Demikian jawaban dari kami, semoga menjawab hal-hal yang ditanyakan.
***
Dijawab oleh: