Penggunaan Asas Diskresi Dalam Pelaksanaan Fungsi Pemerintah

Saturday, December 18, 2010

Pemerintah merupakan organ yang memiliki kewenangan penting dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita dalam suatu Negara. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa Pemerintah memilki 2 (dua) fungsi utama, yakni fungsi memerintah dan fungsi pelayanan. Untuk menjalankan kedua fungsi tersebut, pemerintah diberikan kewenangan penuh untuk melahirkan suatu produk hukum sebagai alat legitimasi dalam menjalankan kewenangan-kewenangannya ersebut. Di dalam ilmu hukum tata pemerintahan (bestuurs recht), terdapat 2 (dua) jenis produk hukum yang dilahirkan oleh Pemerintah, yaitu : Pertama, Regelling (peraturan perundang-undangan) dan Kedua, Beschikking (keputusan).

Bagi orang awam, mungkin kedua jenis produk hukum tersebut nampak tidak ada perbedaan sama sekali, sebab sama-sama dikeluarkan oleh Pemerintah sebagai organ pelaksana Negara. Akan tetapi jika ditelaah lebih mendalam, kedua produk hukum tersebut memiliki perbedaan mendasar. Perbedaan ini dapat kita lihat, baik dari kacamata teoritis maupun melalui kacamata yuridis formal.

Secara teoritis, perbedaan kedua produk hukum tersebut dapat kita lihat melalui 3 (tiga) indikator penting, yakni :
  1. Mengenai subjek hukum yang diatur;
  2. Tempat berlakunya produk hukum tersebut; dan
  3. Waktu, tempo, atau saat berlakunya produk hukum tersebut.
Dari ketiga indikator tersebut, maka dapat kita simpulkan bahwa jika suatu produk hukum tidak terikat kepada 3 (tiga) indikator tersebut, maka produk hukum tersebut harus berbentuk peraturan (regelling). Sebaliknya, jika ketiga unsur tersebut terpenuhi, maka produk hukum yang dilahirkan oleh Pemerintah berbentuk keputusan (beschikking).

Secara yuridis, perbedaan dari kedua produk hukum Pemerintah ini dapat kita lihat dari aspek atau segi hukum positif atau yang sedang berlaku (ius costititum), sebagaimana yang telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 junto Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Di dalam Undang-undang tersebut Pasal 1 angka 3 ditegaskan bahwa keputusan Tata Usaha Negara harus memenuhi 3 (tiga) unsur atau sifat, yaitu :

Pertama, Kongkrit. Sifat ini berarti bahwa suatu keputusan Tata Usaha Negara harus memiliki tujuan jelas atau untuk apa produk itu dilahirkan. Dalam hal ini, suatu keputusan harus benar-benar memiliki makna dan tujuan yang jelas secara hukum, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.

Kedua, Individual. Makna dari sifat individual ini adalah bahwa suatu keputusan Tata Usaha Negara harus memiliki sasaran yang tegas atau kepada siapa keputusan tersebut dituju. Akan tetapi, makna individual disini tidak hanya berlalu secara personal saja secara sempit. Namun individual juga dapat berarti kelompok, sepanjang memiliki sifat homogenitas yang sama, dalam arti keputusan tersebut berlaku bagi individu yang lebih dari satu dengan tujuan yang sama. Sebagai contoh, surat keputusan mengenai pengangkatan Hakim Agung, dimana lampiran keputusan tersebut terdiri dari 13 (tiga belas) orang yang sama.

Ketiga, Bersifat final. Makna final disini dapat diartikan bahwa keputusan tersebut berlaku secara langsung atau saat itu juga (direct dicesion), sehingga menimbulkan akibat hukum dalam bentuk hak dan kewajiban.

Secara sederhana, untuk membedakan kedua produk hukum yang lahir dari Pemerintah tersebut, baik peraturan (regelling) maupun keputusan (becshikking), maka kita dapat menggunakan teori residu.

Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetepan tertulis yang dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara mendasarkan diri kepada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, bersifat kongkrit, individual dan final. (Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara)

Secara umum, terdapat 4 (empat) unsur utama keputusan Tata Usaha Negara, yakni :
  1. Berbentuk penetapan tertulis;
  2. Dibuat oleh pejabat Tata Usaha Negara, sebagai subjek hukum yang melaksanakan fungsi pemerintahan;
  3. Mendasarkan kepada peraturan yang lebih tinggi; dan
  4. Bersifat khusus, yaitu kongkrit, individual dan final.
Hal tersebut semakin dikuatkan di dalam Undang-undang nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menegaskan bahwa jika hal tersebut di atas tidak terpenuhi, maka suatu keputusan tidak dapat dikatakan sebagai keputusan tata usaha negara. Di dalam Pasal 2 disebutkan bahwa, yang tidak termasuk dalam keputusan tata usaha negara, antara lain :
  • Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
  • Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
  • Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
  • Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
  • Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  • Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
  • Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Akan tetapi, pada poin ketiga unsur keputusan Tata Usaha Negara, yakni mendasarkan kepada peraturan yang lebih tinggi, tidaklah berarti kaku dalam pemaknaanya. Sebab terdapat pengecualian bagi Pemerintah yang diperbolehkan mengambil keputusan meski tidak mendasarkan kepada peraturan yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan situasi dan kondisi tertentu dimana Pemerintah diharuskan megambil suatu keputusan secara cepat menyangkut fungsinya, baik fungsi memerintah maupun fungsi pelayanan. Disamping itu, pengambilan keputusan yang tidak mendasar kepada peraturan yang lebih tinggi, juga turut dibenarkan dengan adanya asas “discresional principle” atau yang lebih kita kenal dengan istilah diskresi.

Akan tetapi, terdapat kekhawatiran akan adanya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam penggunaan langkah diskresi ini. Maka dari itu, pemerintah diharuskan tunduk terhadap syarat-syarat dan ketentuan diskresi tersebut, antara lain :
  • Diskresi diperbolehkan jika terjadi kekosongan hukum (rechts vakum);
  • Diskresi diperbolehkan jika terdapat ruang kebebasan interpretasi;
  • Diskresi diperboleh jika ada delegasi perundang-undangan; dan
  • Diskresi diperbolehkan demi pemenuhan kepentingan umum, sebagai bagian pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
Akan tetapi, pada aspek keempat di atas, masih menjadi perdebatan dikalangan ahli hukum, dimana definisi kepentingan umum disini masih dianggap kabur dan multi tafsir, sehingga mengundang protes dimana-mana. Bahkan beberapa produk hukum Pemerintah seperti Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 junto Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pencabutan Hak Atas Nama Demi Kepentingan Umum, ditengarai menggunakan otoritas Eksekutif (pemerintahan) yang terlalu berlebihan atau melampaui kewenangan sebagaimana yang diamanatkan di dalam peraturan perundang-undangan.

Untuk itu, diperlukan suatu definisi yang jelas pula mengenai apa yang dimaksud dengan kepentingan umum serta sampai dimana batasan-batasan atau prasyarat yang harus terpenuhi, agar dapat dikatangan sebagai kategori kepentingan umum. Secara prinsip, terdapat 3 (tiga) aspek utama suatu kebijakan disebut sebagai kenbijkan yang mengandung unsut kepentingan umum, yaitu :
  1. Proyek pembangunan (fisik dan psikis) yang dilaksanakan oleh pemerintah;
  2. Proyek pembangunan tersebut digunakan oleh pemerintah; dan
  3. Penggunaannya tidak bersifat profit oriented (nirlaba) atau mengejar keuntungan semata.
Dengan demikian, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa diskresi merupakan bentuk tindakan Pemerintah yang dapat dibenarkan, akan tetapi diharuskan tunduk terhadap syarat-syarat tertentu, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Untuk itu, Pemerintah dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya, akan terhindar dari pelanggaran hak dan kewajiban warga negaranya, atau dalam kata lain tidak melakukan penyimpangan atau penyalagunaan kekuasaan.

Sumber: herdiansyah.web.id