Keniscayaan Reformasi Hukum: Upaya Menjaga Jati Diri Dan Martabat Bangsa

Sunday, December 26, 2010

Mahfud menyebut bahwa angin segar reformasi hukum Indonesia yang dibawa oleh Habibie ternyata sekedar menjadi iklan sekilas. Peraturan perundang-undangan yang begitu banyak diproduksi dalam waktu singkat ternyata tidak berekses optimal pada perbaikan hukum. Berikutnya, Abdurahman Wahid yang menggantikan Habibie semula memberikan harapan menggembirakan, namun apa daya saat ia harus berakhir di meja bedah konspirasi elit politik. Lantas keniscayaan bagaimana yang dimaksud Mahfud? Kami hadirkan tulisan lengkap Mahfud MD berikut ini.

***


MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA

---------
Keniscayaan Reformasi Hukum:
Upaya Menjaga Jati Diri Dan Martabat Bangsa[1]

Oleh: Moh. Mahfud MD[2]


Pendahuluan
Hukum di Indonesia lebih sering menuai kritik ketimbang pujian. Berbagai kritik diarahkan baik berkaitan dengan kualitas hukum, ketidak jelasan berbagai produk hukum yang berkaitan dengan proses legislasi dan juga lemahnya penerapan berbagai peraturan. Kritik sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan hukum di Indonesia. Kebanyakan orang akan bicara bahwa hukum di Indonesia itu dapat dibeli, yang menang mereka yang mempunyai kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walau aturan negara dilanggar. Ada pengakuan informal di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan hukum secara menyeluruh dan adil.
Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas  belaka (business as usual) tetapi tetapi  juga dipermainkan seperti barang dagangan (business–like). Meski sudah serak bangsa ini meneriakkan supremasi hukum (supremacy of law), hasilnya tetap saja mengecewakan. Hukum yang seharusnya menjadi alat pembaharu masyarakat, telah menjelma menjadi semacam mesin pembunuh karena disokong oleh perangkat hukum yang morat marit termasuk interpretasi hukum yang dangkal. Lembaga peradilan sebagai benteng keadilan lebih mirip ‘rumah bordil’ yang dihuni oleh para ‘pelacur hukum’. Peranan hukum dalam pembangunan sama persis dengan ‘macam ompong tengah mengunyah daging liat’.[3]
          Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia hukum dan peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini. Peradilan yang diskriminatif menjadikan hukum di negeri ini persis seperti yang didiskripsikan Plato bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat (laws are spider webs, they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful). Orang biasa yang ketahuan melakukan tindak pencurian kecil, seperti Hamdani yang ‘mencuri’ sandal jepit bolong milik perusahaan di mana ia bekerja di Tangerang, Nenek Minah yang mengambil tiga butir kakao di Purbalingga, Aguswandi Tanjung yang ‘numpang’ ngecas handphone di sebuah rumah susun di Jakarta serta Kholil dan Basari di Kediri yang mencuri dua biji semangka langsung ditangkap dan dihukum. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik negara dapat bebas berkeliaran dengan bebasnya. Buramnya wajah hukum merupakan anak kandung penegakan hukum (law enforcement) yang stagnan. Kalaupun hukum telah dicoba ditegakkan maka penegakannya yang diskriminatif
          Kondisi yang demikian atau katakanlah kualitas dari penegakan hukum yang buruk seperti itu akan sangat berpengaruh besar terhadap kesehatan dan kekuatan demokrasi Indonesia. Mental rusak para penegak hukum yang memperjualbelikan hukum sama artinya dengan mencederai keadilan. Mencederai keadilan atau bertindak tidak adil tentu saja merupakan tindakan gegabah melawan kehendak rakyat. Pada tataran tertentu, ketika keadilan terus menerus dikangkangi bukan tidak tidak mungkin disintegrasi bangsa menjadi taruhannya. Ketidakadilan akan memicu berbagai tindakan alamiah berupa perlawanan-perlawanan yang mungkin saja mewujud ke dalam berbagai aksi-aksi anarkhis atau kekerasan yang kontra produktif terhadap pembangunan bangsa.
Dengan kata lain, situasi ketidakadilan atau kegagalan mewujudkan keadilan melalui hukum menjadi salah satu titik sentral problem yang harus segera ditangani. Mental korup yang merusak serta sikap mengabaikan atau tidak hormat terhadap hukum jelas bukan karakter atau jati diri bangsa Indonesia. Pada sisi lain, ekses ketidakadilan akan menyuburkan anarkhisme, kekerasan, egoisme dan individualisme yang jelas-jelas tidak sejalan dengan karakter bangsa yang guyup dan penuh mufakat.

Reformasi Hukum
Reformasi secara garamatikal diartikan sebagai membentuk, menyusun, dan mempersatukan kembali.[4] Secara lebih sederhana reformasi berarti perubahan format, baik pada struktur maupun aturan main (rule of the game) ke arah yang lebih baik. Pada kata reformasi terkandung pula dimensi dinamik berupa upaya perombakan dan penataan yakni perombakan tatanan lama yang korup dan tidak efisien (dismantling the old regime) dan penataan suatu tatanan baru yang lebih demokratik, efisien, dan berkeadilan sosial (reconstructing the new regime). Selain itu, kata reformasi memuat nilai-nilai utama yang menjadi landasan dan harapan proses bernegara dan bermasyarakat.
Reformasi hukum dalam konteks ini menjadi salah satu bagian penting dari agenda penataan dan perombakan negeri ini. Reformasi hukum merupakan jawaban terhadap bagaimana hukum di Indonesia diselenggarakan dalam kerangka pembentukan negara hukum yang dicita-citakan. Hukum mengemban fungsi ekspresif yaitu mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai budaya dan nilai keadilan. Selain itu hukum mengemban fungsi instrumental yaitu sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban, stabilitas dan prediktabilitas, sarana untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan mewujudkan keadilan, sarana pendidikan serta pengadaban masyarakat dan sarana pembaharuan masyarakat (mendorong, mengkanalisasi dan mengesahkan perubahan masyarakat).[5] Dalam sistem politik yang demokratis, hukum harus memberi kerangka struktur organisasi formal bagi bekerjanya lembaga-lembaga negara, menumbuhkan akuntabilitas normatif dan akuntabilitas publik dalam proses pengambilan keputusan politik, serta dapat meningkatkan kapasitasnya sebagai sarana penyelesaian konflik politik.
Di Indonesia, tujuan hukum adalah untuk membentuk suatu pembentukan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Jika hukum tidak lagi dapat bekerja sesuai tujuan dan sebagaimana fungsinya maka itu menandakan upaya-upaya reformasi hukum sudah waktunya dilakukan. Roscoe Pound misalnya, telah mengatakan bahwa hukum berfungsi sebagai alat rekayasa pembaruan masyarakat (law as a tool of social engineering), tetapi apabila dalam kenyataannya di Indonesia telah bergeser menjadi alat rekayasa pembenaran korupsi (law as tool of corruption engineering) maka jelas diperlukan reformasi terhadapnya. Reformasi hukum bukan saja diartikan sebagai penggantian atau pembaruan perundang-undangan akan tetapi juga perubahan asumsi dasar dari sebuah tata hukum yang berlandaskan ide-ide diskriminatif dan kesenjangan sosial menjadi ide-ide persamaan di depan hukum dan keadilan sosial.

Reformasi hukum hingga saat ini
Sesungguhnya, saat kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamirkan, reformasi hukum sudah dicanangkan. Dengan diberlakukan Undang-Undang Dasar 1945, reformasi hukum sudah dimulai meski dalam perjalanannya tersendat-sendat. Reformasi hukum di era kepemimpinan Soekarno jika dibandingkan dengan reformasi politik dan reformasi ekonomi seolah diperlakukan bagai anak tiri, timpang dan hampir-hampir tidak mendapat perhatian apalagi penanganan secara holistik. Soekarno lebih memprioritaskan pembangunan politik dan sistem pemerintahan, akibatnya tujuan menciptakan negara hukum terabaikan oleh kepentingan politik dan ambisi Soekarno.
Sementara di masa pemerintahan Soeharto, reformasi hukum hanya memfokuskan pada legislasi hukum melalui pembentukan peraturan perundang-undangan yang dapat mendukung kebijakan politik dan ekonomi pemerintah. Selain itu sistem hukum kebacut sudah sangat korup dan tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan negara dan masyarakat. Pemerintahan Soeharto dengan karakter yang yang otoriter mempergunakan hukum sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Alhasil, tidak ada catatan kemajuan berarti terkait reformasi hukum pada masa ini. Malahan kondisi hukum di Indonesia saat itu digambarkan dengan kalimat desperate but not hopeless. Apabila dianalogikan, tepat pula anggapan bahwa pasien sistem hukum sebenarnya sudah harus masuk ICU tetapi tidak mendapat perhatian semestinya. Diagnosa “gawat” itu akhirnya dipaksa masuk “unit gawat darurat” setelah pada 1998, rakyat yang dipelopori oleh para mahasiswa menyerukan reformasi hukum total.
Tumbangnya Orde Baru tumbang meniupkan nafiri reformasi di segala aspek. Momen tersebut diyakini menjadi babak akhir dari periode kelam hukum otoriter. Rakyat mengira sumbat terhadap keadilan dan kebenaran hukum sudah terbuka. Namun ternyata hanya sedikit saja dari sumbat itu yang terbuka, sebab sekali lagi reformasi hukum tetap berjalan tersendat-sendat. Penyakit endemik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjangkiti hukum dan peradilan justru semakin meruak tanpa tedeng aling-aling lagi. Hukum menjadi sangat tidak ramah kepada rakyat kecil melainkan pro pada penguasa. Institusi-institusi hukum terperangkap oleh disfungsi dalam apa yang dinamakan law in action.
Angin segar reformasi hukum yang dibawa oleh Habibie ternyata sekedar menjadi iklan sekilas. Peraturan perundang-undangan yang begitu banyak diproduksi dalam waktu singkat ternyata tidak berekses optimal pada perbaikan hukum. Berikutnya, Abdurahman Wahid yang menggantikan Habibie semula memberikan harapan menggembirakan, namun apa daya saat ia harus berakhir di meja bedah konspirasi elit politik. Wajah hukum dan segenap penegakkannya kembali kelabu saat Megawati berada di tampuk kepresidenan. Reformasi hukum belum paripurna meskipun harus diakui bahwa dimulainya agenda Amandemen UUD 1945 merupakan poin menggembirakan bagi proses reformasi. Ini sejalan dengan pendapat Thomson bahwa apabila dikaitkan dengan hukum, reformasi sebagai proses perubahan tatanan hukum, yakni konstitusi (constitutional reform).[6] Hal ini harus dimaknai bahwa doktrin hukum Indonesia, tentang separation of powers dan check and balances among the branches of government sedang diteguhkan kembali. Pemulihan doktrin-doktrin ini adalah inti dari keseluruhan reformasi berbagai bidang di Indonesia, termasuk bidang hukum. Namun sejalan dengan itu mafia hukum dan peradilan malah bertambah bagaikan epidemi. Bahkan ada yang bilang, hukum diperkosa terang-terangan oleh uang dan kekuasaan.
Masa-masa tersebut jelas bukan masa yang menggembirakan bagi perjuangan reformasi di bidang hukum. Pengadilan negeri ini justru mendapat cemoohan masyarakat karena tidak berhasil menuntaskan perkara-perkara korupsi yang mempunyai implikasi politik (misalnya kasus-kasus hukum yang melibatkan mantan Presiden Soeharto, kasus Bank Bali dan lain-lain), tetapi juga telah terlibat dalam korupsi dan politik (misalnya dalam kasus tiga hakim yang dituduh korupsi berdasarkan laporan Edin Wahyuddin dan kasus Manulife).  Kepercayaan dunia internasional pada sistem peradilan di Indonesia juga semakin merosot terutama melihat fenomena lembaga-lembaga hukum yang tidak sadar sedang berada dalam keadaan “gawat”. Apalagi dikatakan bahwa sistem hukum Indonesia tidak lagi berada dalam kondisi desparate tetapi sudah fatal dan berpotensi merusak sistem-sistem lain dalam masyarakat, seperti ekonomi, politik dan budaya. Lebih tegas lagi, disebutkan bahwa upaya reformasi di bidang hukum dinilai masih sebatas wacana.[7] Ini berarti, upaya yang telah dilakukan pada kurun waktu tersebut, belum berhasil menyentuh substansi persoalan hukum yang sedang dihadapi yakni hukum yang mudah disalahgunakan dan rapuh dalam mengatasi berbagai tindak pelanggaran.
Perjalanan reformasi hukum baru menjumpai titik terang manakala Pemilu 2004 menghasilkan pemerintahan yang legitimate dimana presiden dan wakil presiden untuk pertama kalinya dipilih langsung oleh rakyat. Kehadiran komisi-komisi pembantu negara (state auxiliary agencies) memberi gambaran bahwa ada agenda kuat dalam mewujudkan reformasi hukum. Lahirnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Penyiaran Independen (KPI), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS Anak) menunjukkan adanya pembaruan dalam praktek ketatanegaraan. Namun banyak kalangan mempertanyakan efektifitasnya khususnya dalam mendukung reformasi hukum. Eksistensi state auxiliary agencies tersebut belum memberikan dampak yang signifikan terhadap agenda reformasi di bidang hukum meski tidak boleh dikatakan tidak berperan. Inti keprihatinan belum berubah melihat realitas penegakan hukum yakni kepastian hukum masih ditegakkan melalui pendekatan peraturan atau undang-undang atau pendekatan legislatif, belum melalui penegakan hukum oleh pengadilan sebagai benteng terakhir masyarakat pencari keadilan atau pendekatan law enforcement dan an independent judiciary. Hingga masa pemerintahan sekarang ini, reformasi hukum belum dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Terbukti, masih dilakukannya kebiasaan-kebiasaan lama melalui praktik judicial corruption, tidak tuntasnya masalah penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM, dan korupsi.


Reformasi hukum menjaga jati diri
Perjalanan reformasi hukum dikatakan belum berhasil optimal melihat realitas penegakan hukum yang terjadi sampai hari ini. Malahan dinamika kebebasan dan demokrasi yang dibuka pasca reformasi yang terjadi menimbulkan ekses lain, yakni meskipun supremasi hukum diteriakkan keras-keras tetapi sejalan dengan itu penghormatan terhadap hukum hanya sebatas formalistik dan prosedural. Arus reformasi yang tidak terkendali telah menciptakan masyarakat yang berperilaku liar dan membabi buta.
Berikutnya, ketidakhormatan terhadap hukum semakin menjadi-jadi manakala hukum hanya dipandang secara tekstual dan sangat positivistik menafikkan aspek keadilan yang menjadi ruhnya. Di pengadilan, libido untuk memenangkan perkara telah membajak keinginan untuk mencari dan menemukan keadilan. Kegenitan-kegenitan dari sebagian penegak hukum dibantu oleh makelar kasus telah sampai pada taraf ‘melumpuhkan’ hukum sebagai alat mencapai keadilan. Penciptaan berbagai peraturan tidak kunjung membawa perbaikan tetapi justru membuat kondisi hiperregulated” yang mengantarkan masyarakat menjadi lebih apatis. Sementara, institusi dan aparatur hukum hanya mengedepankan formal justice semata tanpa memperdulikan substansial justice sehingga segala sesuatu dilihat dari secara hitam-putih di atas kertas.
Sebagai contoh, pelaksanaan demokrasi melalui pemilihan umum kepala daerah langsung (pemilukada) misalnya, justru menenggelamkan jati diri masyarakat dalam lautan kehidupan egoisme dan materialisme. Panggung pemilukada yang semestinya secara subtantif sangat baik bagi negara ini, dalam kenyataannya justru mendesain manusia sekedar menjadi individu-individu yang egois karena kehendaknya semata-mata meraih tujuan masing-masing bukan tujuan bersama. Sehingga boleh dikata masyarakat gagal menjadi persekutuan orang-orang yang bernurani dan berbudi luhur. Kegagalan ini terlihat melalui indikasi-indikasi seperti maraknya money politics, kecenderungan menjadi demagog yang suka berbohong atau ingkar janji, ketidakmampuan dalam pengendalian emosi yang menjurus anarkhis, syahwat kekuasaan yang berlebihan sehingga menghalalkan segala cara, sektarianisme dan lokal-etnisentrisme.
Proses-proses yang semacam itu telah menghegemoni rakyat agar mengikuti sistem yang ada meskipun harus mencerabut diri dari jati diri sebagai manusia Pancasila[8] dengan kepribadian yang religius, humanistik, ontologis monistik  atau cinta persatuan kesatuan serta demokratis dan adil. Kondisi tersebut menunjukkan kecenderungan menurunnya kualitas kehidupan dan jati diri bangsa. Untuk itu adalah sebuah keniscayaan akan adanya reformasi hukum di Indonesia untuk membentengi atau menjaga jati diri dan martabat bangsa. Dalam hal ini, reformasi hukum diyakini merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan di Indonesia untuk keluar dari carut marut kondisi (hukum) Indonesia yang jika dibiarkan akan semakin menggerus jati diri dan martabat bangsa.
Jika dilokalisir, persoalan hukum di Indonesia utamanya disebabkan oleh makin jauhnya hukum dengan keadilan karena produk hukum substansial semakin didesak oleh hukum prosedural. Bicara reformasi hukum menyeluruh, tentu mencakup seluruh elemen sistem hukum sebagaimana dikatakan di atas, yakni substansi hukum (legal substance), baik yang tertulis maupun tidak tertulis, struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture). Berbicara mengenai substansi maka bicara soal bagaimana undang-undangnya, apakah sudah memenuhi rasa keadilan, tidak diskriminatif, responsif atau tidak. Sementara struktur hukum berhubungan dengan institusi dan kelembagaan hukum, bagaimana dengan polisi, hakimn, jaksa, dan pengacara. Semua itu harus ditata dalam sebuah struktur hukum yang sistemik. Dalam budaya hukum, dibicarakan tentang upaya-upaya untuk membentuk kesadaran hukum masyarakat, membentuk pemahaman masyarakat terhadap hukum, dan memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat.
Apa sesungguhnya yang menjadi permasalahan bidang hukum? Harus diakui
bahwa hukum merupakan complex area. Oleh sebab itu,
reformasi hukum tidak dapat dilakukan secara parsial, tetapi harus menyeluruh
dan komprehensif, berkesinambungan, dan sistemik. Namun setidaknya berdasarkan persoalan di atas, agenda penting reformasi hukum adalah reformasi dalam proses pembentukan hukum (legislasi), reformasi birokrasi lembaga peradilan, pemberantasan korupsi, penegakkan dan penghormatan HAM serta pelibatan masyarakat agar partisipatif dalam proses reformasi hukum. Reformasi hukum dalam konteks perundang-undangan merupakan suatu proses yang komprehensif dan digerakkan secara konsisten oleh mesin perubahan dengan wewenang dan kendali yang jelas dan akuntabel.
Dalam implementasinya, reformasi hukum dalam proses legislasi harus memuat persyaratan sebagai berikut, pertama, ada upaya harmonisasi dan sinkronisasi substansi peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak terjadi tumpang tindih, kekurangjelasan, salah tafsir dan bentrokan kebijakan publik sebagai akibat dari peraturan yang tidak jelas dan tumpang tindih tersebut. Kedua,  seluruh peraturan perundang-undangan tidak boleh ada yang bertentangan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Ketiga, seluruh peraturan perundang-undangan tidak boleh mengandung sedikit pun kemungkinan untuk digunakan sebagai celah melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan benturan kepentingan fungsi pejabat publik. Keempat, seluruh peraturan perundangan harus bisa mengubah masyarakat menjadi modern, berpendidikan tinggi, bersaing ketat dengan bangsa-bangsa lain di dunia, dan menjadi masyarakat terbuka yang menghargai pluralisme, tanpa melupakan jati diri bangsa ini. Kelima,  seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku mampu menggerakkan ekonomi, mencapai angka pertumbuhan ideal, membuka kesempatan usaha berkeadilan  dan mensejahterakan semua bagian masyarakat Indonesia.
Sementara, reformasi hukum pada birokrasi lembaga peradilan seharusnya juga mencakup usaha yang sungguh-sungguh, ajeg dan konsisten untuk melakukan pembaharuan di semua institusi penegak hukum, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung dengan seluruh bagian-bagian dan unit-unitnya. Selain itu juga mengubah fungsi dan kapasitas organisasi profesi hukum menjadi independen, bersih dan penuh kompetensi. Reformasi total aparat penegak hukum adalah sebuah keniscayaan (necessary condition) yang tidak bisa dielakkan. Apalah artinya suatu
peraturan hukum yang memenuhi prinsip-prinsip logika, jika aparat pelaksananya
tidak mau menggunakan logika dan akal sehat (common sense).
Apapun risikonya, pilihan untuk mereformasi total institusi ini harus terus didorong. Di samping itu, reformasi hukum juga menjadi porsi dan tanggung jawab perguruan tinggi. Kampus-kampus perlu melakukan kajian sekaligus mereformasi kurikulum yang diajarkan dalam kuliah hukum, karena produk perguruan tinggi ini yang akan menjadi pilar penegakan hukum.
Agar prosesnya berjalan terarah, komprehensif, berkesinambungan dan mencapai hasil, perlu dikawal oleh berbagai instrumen evaluasi yang mengontrol efektifitasnya. Oleh karena itu, perlu kajian-kajian mendalam menyoal arah reformasi hukum setelah sekian waktu digulirkan, menyoal pilihan-pilihan sistem hukum yang akan dibangun beserta segenap alasan fundamentalnya, apa saja agenda-agenda guna membangun sistem hukum tersebut, sejauhmana perkembangannya, apakah terjadi penyimpangan dalam proses pembangunannya, bagaimana pendapat masyarakat sipil dalam melihat proses yang berjalan dan bagaimana perspektif dunia internasional dalam melihat proses reformasi hukum yang tengah berjalan di Indonesia. Itu semua diperlukan agar kejadiannya tidak seperti sekarang ini dimana reformasi hukum dicanangkan tetapi tidak ada pedoman dan sarana untuk mengontrol sampai sejauh mana reformasi hukum telah berjalan dengan baik (on the right track).
Akhirnya harus diingat bahwa hukum senantiasa tertuju pada tiga tujuan utama yaitu kepastian hukum (yuridis), keadilan (filosofis), dan kemanfaatan atau kegunaan (sosiologis). Ketiga tujuan hukum tersebut harus termanisfestasi dalam peraturan perundang-undangan hingga pelaksanaan dalam praktek hukum. Oleh sebab itu, maka para birokrat pemerintah dan aparat penegak hukum harus menyadari hal itu sehingga mampu mewujudkan ketiga tujuan hukum itu dengan baik dan sungguh-sungguh. Artinya, reformasi hukum memerlukan kepemimpinan yang kuat dan jelas, baik pada tingkat pemerintahan maupun pada tingkat institusional. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengirimkan sinyal yang kuat akan komitmen bagi terciptanya institusi penegakan hukum yang dapat dipercaya oleh masyarakat. Tantangan utama di sini terletak pada upaya institusi penegakan hukum untuk mendapatkan kepercayaan kembali dari masyarakat.
Perbaikan keadaan fundamental melalui reformasi hukum yang konsisten setidaknya akan mengajak orang Indonesia untuk kembali memiliki rasa ke-Indonesia-an yang tercermin dalam sikap pluralisme atau kebhinekaan, kekeluargaan, kesantunan, toleransi, sikap moderat, keterbukaan, dan rasa kemanusiaan, mempertahankan sistem demokrasi berasas hukum dan menghormati berbagai persyaratan untuk hidup bermartabat (living in dignity) karena seperti itulah sesungguhnya jati diri bangsa Indonesia.

*****
 

[1] Makalah dalam Konvensi Kampus VI dan Temu Tahunan XII Forum Rektor Indonesia (FRI) di Universitas Tanjungpura Pontianak, 9 Januari 2010.
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
[3] Anthon F. Susanto, Membaca Mitos Hukum Ditengah Percepatan Perubahan, Tulisan yang diajukan untuk Penerbitan Buku "Menyambut 70 Tahun Usia Prof Satjipto Rahardjo, http://trulidemon.multiply.com/journal/item/19/membaca_mitos_hukum, di akses 4 Maret 2008. 
[4] W.T.Cunningham, Nelson Contemporary English Dictionary, (Canada: Thompson and Nelson Ltd, 1982), hal. 422.
[5] Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, 2000, Bandung, Mandar Maju, hal. 189.
[6] Brian Thompson,”Constitution is a document which contains the rulers for the operation of an organitation”. Textbook on Constitutional and Administrasi Law, edisi ke-3, (London: Blackstone Press ltd., 1997), hal. 3

[7] Komisi Hukum Nasional (KHN), Newsletter, Edisi November-Desember 2003, hal. 4.
[8] Istilah ini meminjam istilah Sujana dalam buku Manusia Pancasila yang menggambarkan kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia yang demikian lengkap namun tidak terejawantahkan dalam aktivitas sehari-hari. 
_________________________________________________________

(Tim_JLC)