Pembahasan
Kemerdekaan Pers di Indonesia
Sebelum penulis menguraikan sejauh mana kemerdekaan pers itu dilindungi Negara dan bagaimana peran, fungsi, hak dan kewajiban pers dalam menjalankan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab. Ada baiknya penulis jabarkan terlebih dahulu sejarah pers di Indonesia.
A. Sejarah Pers di Indonesia.
Di Indonesia, cikal bakal lahirnya jurnalistik sudah dimulai pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Para penyampai berita itu dikenal dengan istilah penyeranta. Kerjanya berkeliling menyampaikan pengumuman dari raja kepada khalayak ramai. Mereka berjalan kaki atau berkuda mendatangi tempat ramai atau mengumpulkan orang dengan memukul gong.
Pengaruh jurnalis Eropa merambah ke Indonesia berawal dari Gubernur Jenderal Belanda, Jan Pieterszon Coen (1587 – 1629) yang bertugas di Indonesia kala itu. Ia memprakarsai penerbitan newsletter yang dinamakan Memorie der Nouvelles, 1615. Caranya nyaris sama dengan Amenhotep III, yakni mengirim surat yang berisi berita-berita dari Nederland dan disebarkan dari Jakarta untuk kalangan pejabat VOC yang tinggal jauh di Ambon.
Namun yang menerima newsletter tersebut hanya orang-orang yang dianggap penting. Soalnya salinan surat tersebut terbatas yakni hanya 30 eksemplar. Pada masa itu di Indonesia belum ada mesin cetak, mesin stensil, apalagi mesin fotokopi dan faks, sehingga salinan harus ditulis tangan. Jadi, tidak mungkin menulis lebih banyak dari itu.
Pada 7 Agustus 1744, dicetaklah surat kabar pertama di Indonesia, Bataviasche Nouvelles en Politique Rainsonnementen (Berita dan Penalaran Politik Batavia) dalam bentuk kertas folio. Sebenarnya, keinginan menerbitkan Koran saat itu banyak mendapat hambatan dari pemerintah VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie, Perkumpulan Dagang India Timur).
Menurut Abdurrachman Surjomihardjo dalam bukunya “Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia,” keinginan untuk menerbitkan Koran baru terwujud setelah Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff memimpin VOC. Penerbit surat kabar pertama di Indonesia yakni Jans Erdmans Jordens dengan izin kontrak selama tiga tahun pada tahun 1744. Namun keberadaannya langsung dibredel oleh Pimpinan VOC di Belanda, 1745. Lantaran perjalanan laut Belanda – Indonesia memakan waktu 7 bulan, surat larangan itu baru sampai pada 20 Juni 1746. Dan Koran itu hanya sempat beredar selama 2 tahun.
Sementara Hanif Hoesein dalam tulisannya, ”Selintas Sejarah Kebebasan Pers di Indonesia,” mengatakan tekanan terhadap pers di Indonesia sudah dimulai sejak zaman VOC melalui berbagai bentuk aturan hukum. Pada tahun 1712 VOC melarang suratkabar yang berisi berita-berita dagang, karena VOC takut kalah dalam persaingan dagang akibat berita-berita tersebut. Selanjutnya pada tahun 1856 diberlakukan Drukpers Reglement dengan sensor preventif; dan tahun 1931 Belanda mengeluarkan lagi Presbreidel Ordonantie dengan sensor represif.
Kemudian Selama tiga setengah tahun penjajahan Jepang, beberapa penerbitan pers “sengaja dibangun” untuk mengobarkan semangat Perang Asia Timur Raya, akan tetapi beberapa penerbitan pers nasionalis yang sudah ada, mendapat pengawasan represif yang cukup ketat. Pembatasan terhadap kebebasan pers pada era penjajahan Jepang dilakukan melalui UU No.16 tahun 1942 dengan sensor preventif, yang dikenal dengan “Osamu Sere.”
Sepertinya, kebebasan pers di Indonesia memang mengalami tantangan besar. Berbagai sengketa dan penindasan menjadi ciri khas hubungan pers dengan pihak berwenang di Indonesia. Penguasa melakukan kontrol ketat terhadap pers mulai dari izin, regulasi, sensor, swasensor, interogasi, penahan, pengasingan hingga pembredelan. Bahkan pers juga mengalami kekerasan secara fisik dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya dilapangan.
Bahkan Maskun mengatakan (2006 : 8), kebebasan pers di Indonesia bergantung kepada siapa yang berkuasa. Pada masa pers dibelenggu tak terhitung banyak darah mengalir, betapa banyak orang pers dipenjarakan, banyak media yang dibredel dan banyak karyawan-karyawan yang tiba-tiba menganggur.
A.M. Dewabrata dalam bukunya “Kalimat Jurnalistik, Panduan Mencermati Penulisan Berita,” menceritakan bahwa Pimpinan Redaksinya, Rosihan Anwar berpesan agar hati-hati menulis berita dan memilih berita. Pemerintah bisa tiap saat membredel Koran. Waktu itu Orde Baru cukup ketat mengontrol media massa.
Menurut catatan Warief Djajanto Basoeri (2006 : 9), sengketa dan penindasan merupakan ciri khas hubungan pers di Indonesia dari 1774 hingga 1998. Kontrol penguasa penguasa sangat dominan. Mulai dari izin, regulasi, sensor, swasensor, introgasi, penahan, pengasingan hingga pembredelan.
Berikut penulis uraikan daftar Koran dan kasus yang terjadi sejak 1744 hingga saat ini versi Warief, diantaranya :
a. 7 Agustus 1744 – Bataviasche Nouvelles en Politique Rainsonnementen, diterbitkan oleh Jan Erdams Jordens
b. 1746 - Bataviasche Nouvelles en Politique Rainsonnementen dibredel oleh VOC berkedudukan di Amsterdam
c. 1851 – De Locomotief terbit di Semarang
d. 1852 – Java Bode, Jakarta
e. 1855 – Bromartani, Surakarta, berbahasa jawa.
f. 1856 – Soerat Kabar Bahasa Malaijoe, Surabaya
g. 1902 – Bintang Hindia, Majalah Dwimingguan di Amsterdam, dipimpin oleh Abdul Rivai
h. 1907 – Medan Prijaji, Bandung, diterbitkan oleh Raden Mas Tirtoadisuryo
i. 1907 – Wartawan bersuara hati nurani pertama (the first Indonesiaan newspaperman with a conscience) ditahan di Indonesia (Hindia Belanda saat itu)
j. 1937 – LKBN Antara didirikan
k. 1945 – Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, Pers Perjuangan
l. 1945 – Merdeka, Jakarta
m. 1947 – Waspada, Medan
n. 1948 – Pedoman, Jakarta
o. 1949 – Indonesia Raya, Jakarta
p. 1950 – Soera Merdeka, Semarang
q. 1950 – 1959 – Sistem parlementer. Pers partisan
r. 1958 – Indonesia Raya dibredel, Pimred Mochtar Lubis masuk keluar tahan sejak 1956
s. Awal 1960 – Pers Nasakom
t. 1965 – Harian Rakyat ditutup Angkatan Darat, 46 koran kiri dibredel
u. 1974 – Orde Baru, Pemerintah Presiden Soeharto mencabut SIT 11 penerbitan pers, termasuk Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, Nusantara, Harian Kami dan The Jakarta Times
v. 1978 – Pemerintah Soeharto menutup sementara 7 koran, termasuk Kompas, Merdeka, Sinar Harapan, dan Pelita
w. 1994 – Pemerintah Orde Baru mencabut SIUPP majalah Tempo
x. 1998 – 21 Mei Soeharto lengser
y. 1999 – UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers Sistem bredel berakhir. Sensor dihapus dan perizinan ditiadakan bagi media pers cetak.
Jika melihat uraian diatas, dari 1744 hingga 1945 tak banyak perusahaan pers didirikan. Selain kondisinya tidak memungkinkan secara teknis, namun hal itu tidak terlepas dari pengaruh kediktatoran penguasa kala itu. Pembredelan dan penahanan wartawan lantaran bersuara hati nurani terjadi. Sepertinya Pemerintah VOC dan Jepang menerapkan sistem authoritarian kala itu.
B. Sejauh mana Kebebasan pers dilindungi Negara.
Lantas bagaimana kondisi pers pasca kemerdekaan. Jika dilihat dari waktu, perkembangan pers dapat dibagi dalam periode sebagai berikut :
a. Periode 1945 – 1950
Periode ini pers berperan sebagai alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Pasca teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk juga diantaranya pers dan yang diperebutkan itu adalah peralatan percetakan.
Sejak itu, pers di Indonesia semakin kuat dan dapat dilihat dengan mulai beredarnya Koran, antara lain Kedaulatan Rakyat, Pers Perjuangan (Yogyakarta) dan Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. Kemudian disusul Waspada, Pedoman dan Indonesia Raya.
Meskipun demikian, bukan berarti kemerdekaan pers terjamin. Pasalnya, didalam konstitusi kita, perlindungan terhadap kebebasan pers tidak atur secara tegas. Undang – undang Dasar Pasal 28 UUD 1945 menyebutkan bahwa kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan dan sebagainya diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Perihal ini menunjukan belum adanya kesadaran para pembentuk undang-undang bahwa kebebasan pers adalah bagian dari demokrasi. Sepertinya politik hukum yang mengarah untuk mewujudkan kebebasan pers adalah bagian dari kedaulatan rakyat dan menjadi unsur esensial untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokrasi, masih jauh dari yang diharapkan.
Selain itu, kemerdekaan pers bagian dari kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia yang hakiki, yang diperlukan untuk menegakan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak masuk dalam pertimbangan para pembuat norma dasar bangsa ini.
Hal ini juga pernah diungkapkan Ashadi Siregar dalam tulisannya Prospek Kebebasan Pers Dalam Perkembangan Demokrasi. Ia mengatakan Sumber hukum primer tentulah dari konsitusi. Tetapi para pendiri RI, kendati umumnya menggunakan pers sebagai sarana perjuangan, tidak secara eksplisit memasukkan hak warga negara untuk menyampaikan dan memperoleh informasi.
Kemudian, institusi pers hanya dilihat sebagai bagian dari hukum penawaran dan permintaan, bukan sebagai praksis dari suatu ideologi. Sebagai institusi yang berada di dua ranah, ranah ekonomi dan ranah politik, pers harus hadir berlandasrkan hukum-hukum ekonomi. Sementara dalam ranah politik, bukan dari peran politik yang dapat dijalankannya, tetapi dalam posisinya menghadapi birokrasi negara
Menurut Hanif, faktor penyebabnya adalah, saat itu Indonesia tengah mengalami revolusi fisik. Ada dualisme sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan yang demokratis berdasarkan UUD 1945, dan pemerintahan otoriter Kolonial Belanda NICA yang kembali ke Indonesia membonceng tentara Sekutu. Padahal, pasca proklamasi, pers Indonesia tengah eforia kebebasan. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan inilah yang menurut pers pada saat itu merupakan kebenaran yang harus dipertahankan. Kebebasan pers saat itu dapat dikategorikan sebagai The Libertarian Theory
Disamping itu, media massa di satu negara mencerminkan sistem pemerintahan negara bersangkutan. Dengan kata, lain perkembangan politik dan sistem pemerintahan amat berpengaruhi terhadap pertumbuhan media, terutama yang berkaitan dengan kebebasan.
Selain itu, untuk mengetahui realitas pers di suatu negara secara mendalam, terlebih dahulu harus dikaji asumsi-asumsi filosofis (dasar dan hakiki) yang diyakini dan digunakan oleh negara tersebut, terutama menyangkut hakikat manusia, hakikat negara dan masyarakat, hubungan manusia dengan negara, serta hakikat pengetahuan dan kebenaran.
Secara kelembagaan, periode ini juga melahirkan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada Tanggal 9 Pebruari 1946 yang menempatkan diri sebagai organisasi kejuangan bersama organisasi lainnya. Pada masa tersebut, NKRI yang berusia muda mengintervensi – bahkan mensubordinatkan – organisasi wartawan PWI, tetapi untuk satu tujuan yang mulia, kemerdekaan itu sendiri. Kondisi PWI yang demikian, tidak dapat dilepaskan dari kenyataan historis bahwa NKRI yang masih berusia muda sangat memerlukan dukungan dari seluruh segmen masyarakat, dan hal ini tidak berarti mengekang kebebasan wartawan.
b. Periode 1950 – 1957.
Pada 1950, hegemoni Belanda masih mempengaruhi sistem pemerintahan di Indonesia. Pengaruh dari hasil konferensi meja bundar mengharuskan Indonesia merubah UUD 1945 menjadi Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) dan berbentuk liberal.
Kondisinya pers tetap tertekan walaupun sudah ada jaminan dalam pasal 7 KRIS, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pasalnya, peraturan pelaksanaan terhadap pasal-pasal KRIS belum ada. Sementara pasal-pasal karet “hatzaai artikelen” KUHP dan Presbreidel-ordonantie 1931 masih tetap berlaku.
Meskipun berada dalam batas-batas hukum tersebut, pers Indonesia masih tetap melakukan fungsinya, namun tidak lagi semata-mata mengobarkan semangat perjuangan, tetapi sudah melaksanakan fungsi “social control” terhadap kekuasaan.
KRIS hanya bertahan satu tahun, kemudian diganti dengan UUD Sementara (UUDS) dengan menganut sistem pemerintahan parlementer yang mengadopsi sistem pemerintahan negara-negara Anglo Saxon. Perkembangan kebebasan pers pada era ini dapat dikatakan dalam keadaan baik, termasuk perkembangan fisik.
Kisaran tahun 1950 – 1953, surat kabar berkembang menjadi 75 penerbitan dengan oplah 630.000 eksemplar. Pada saat ini mulai terbit surat kabar partai politik dan surat kabar partisan. Satu tonggak sejarah bagi kebebasan pers pada era Kabinet Parlementer ini adalah dicabutnya Presbreidel-ordonantie - 1931 dengan UU No. 23 Tahun 1954, karena bertentangan dengan pasal 19 juncto 33 UUDS
Terjadinya perubahan kabinet sebanyak 6 kali, tidak lepas dari pengaruh pers kala itu. Kadang kala, disamping berhadapan dengan parlemen dan kabinet, dikalangan pers tidak jarang terjadi polemik, terutama antara surat kabar partai/partisan yang memerintah dengan surat kabar yang menempatkan diri sebagai oposisi.
Hal ini ditegaskan Hanif, bahwa masing-masing media atau institusi pers tersebut memiliki ikatan primordial atau ikatan ideologis dengan partai-partai tertentu. Dan keterlibatan pers -- seperti kelompok masyarakat lainnya – dalam kehidupan kenegaraan, bukan dalam konteks partisipasi yang demokrtis, akan tetapi partisipasi yang oligarkis
Bagitu juga Maskun. Dia berpendapat bahwa pers pada masa itu dijadikan sebagai alat propaganda untuk kepentingan partai politik (Parpol) atau dengan sebutan lain pers partisan. Dengan menganut sistem pemerintahan parlementer dan menjunjung demokrasi liberal, maka membidani lahirnya banyak Parpol. Eksistensi parpol menjadi taruhan dan banyak Parpol membidani lahirnya media sebagai corong mereka.
c. Periode1957 - 1965
Status Negara dalam keadaan bahaya diberlakukan Presiden Soekarno di seluruh Indonesia pada tanggal 14 Maret 1957. Kebijakan itu terkait pemberontakan PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi. Pada Juli 1957, presiden mengumumkan Kabinet Juanda dan menetapkan Manipol Usdek sebagai Haluan Negara. Periode ini dikenal dengan sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin dan menempatkan Soekarno sebagai pemimpin yang otoriter.
Lantas bagaimana pers. Kedudukan serta fungsinya alat propaganda penguasa untuk mencapai tujuan politik Demokrasi Terpimpin. Pers yang bertentangan dan bersuara lantang dibungkam. Berbagai batasan dilakukan, diantaranya melakukan sensor atas infromasi ke luar negeri. Jack Russel, koresponden United Press dikecam penguasa, karena United Press mengkritik Sukarno sebagai pimpinan otoriter yang semakin dekat dengan Komunis. Selama tahun 1957, terjadi peningkatan yang signifikan terhadap tindakan anti pers oleh penguasa yang secara keseluruhan mencapai 125 kali tindakan pembatasan kebebasan pers.
Pada tahun 1958, Penguasa Perang Daerah Djakarta (Peperada) mengeluarkan aturan bagi seluruh penerbitan surat kabar dan majalah wajib mendaftarkan diri sebelum 1 Oktober 1958 untuk memperoleh SIT (Surat Izin Terbit). Tanggal 1 Oktober 1858, dapat dikatakan sebagai tanggal matinya kebebasan pers di Indonesia. Walaupun surat kabar dapat terbit, akan tetapi harus mengikuti kehendak penguasa, dan setiap saat SIT dapat dicabut tanpa alasan hukum yang jelas. Bahkan, Muchtar Lubis sebagaimana dikutip Smith, Edwar C dalam bukunya Sejarah Pembredelan Pers Di Indonesia, mengatakan sejak 1 Oktober 1958, sejarah pers Indonesia memasuki periode hitam.
Sejak itu, tindakan Paperada juga diikuti Penguasa Perang Tertinggi (Peperti). bahwa seluruh penerbitan suratkabar dan majalah di seluruh Indonesia wajib memiliki SIT. Pada tahun 1960, secara resmi Menpen melegalisasikan ketentuan tentang SIT ini dan untuk mendapatkan SIT, semua penerbitan harus menanda tangani persetujuan atas 19 pasal pernyataan. Pernyataan tersebut adalah janji penanggung jawab penerbit surat kabar dan majalah yang berupa ancaman seandainya mereka diberi SIT.
Menurut Hanif, hal ini dilakukan oleh penguasa untuk mempercepat retooling alat-alat publikasi, terutama surat kabar dan majalah, sehingga ia dapat menjadi alat dan pendukung revolusi. Janji penerbit ini selanjutnya merupakan senjata bagi penguasa dalam melakukan pembredelan pers yang tidak sepaham dengan kekuasaan. Beberapa suratkabar yang dicabut SIT-nya oleh Menpen sebagai konsekuensi dari janji tersebut, antara lain: Pedoman, Nusantara, Keng Po, Pos Indonesia, Star Weekly. Sedangkan Harian Abadi menghentikan penerbitannya karena tidak bersedia menandatangani 19 persyaratan tersebut.
Pembatasan terhadap kebebasan pers terus dilakukan pemerintah melalui Menteri Penerangan yang mewajibkan surat kabar di seluruh Indonesia berafiliasi dengan parpol atau ormas. Saat itu tidak kurang 80 surat kabar di Indonesia berafiliasi ke sembilan parpol, ormas dan Panca Tunggal (pemerintah). Hal ini berarti bahwa masyarakat tidak dapat lagi menerbitkan surat kabar apabila tidak ada partai politik atau ormas yang mendukung. Pemberlakuan aturan tersebut menunjukan telah terjadinya pengingkaran terhadap pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara sebagaimana Dekrit 5 Juli 1959.
Periode ini, kedudukan dan fungsi pers dikategorikan sebagai pers paprtisan. Pers dijadikan sebagai alat propaganda untuk kepentingan partai politik. Eksistensi parpol menjadi taruhan dan banyak Parpol membidani lahirnya media sebagai corong mereka.
d. Periode Orba (1965 – 1998).
Seperti yang dikatakan AM. Dewabrata, Pemerintah Soeharto sangat ketat mengontrol kebebasan pers. Bila mereka bernada keras dianggap melawan pemerintah. sewaktu-waktu pemerinta bisa saja membredel Koran.
Masa ini, Orde baru mulai berkuasa. Pers mengalami depolitisasi dan komersialisasi. Pemerintah Soeharto mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga, yakni Golkar, PDI, dan PPP. Berlakunya aturan itu pada tahun 1973, berdampak terputusnya hubungan Parpol dan organisasi massa (Ormas) dengan pers sehingga pers tidak lagi mendapat suntikan dana dari Parpol.
Sementara Hanif berbeda. Ia membagi kebebasan pers periode ini atas dua kategori. Pertama yakni Periode Tahun 1966 – 1974 sebagai Pra Malari (Malapetaka Januari 14 dan 15 Januari 1974).
Periode ini terjadi transisi pusat kekuasaan dan kondisi saat itu kacau. Adanya gerakan 30 September atau yang dikenal dengan G.30S PKI pada tahun 1965 merupakan the turning point dari sistem pemerintahan otoriter demokrasi terpimpin.
Secara de facto maupun de jure Soekarno masih memiliki kekuasaan yang cukup besar, sementara tuntutan mahasiswa dan rakyat melalui demonstrasi massa dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tri Tura), yaitu (1) Bubarkan PKI, (2) Turunkan harga, dan (3) Bubarkan Kabinet 100 Menteri (bentukan Soekarno), semakin berlanjut, yang menyebabkan sistim pemerintahan tidak berjalan.
Angkatan Darat yang merasa dirugikan oleh pemberontakan Komunis, melakukan berbagai perlawanan terhadap rezim Soekarno. Dalam membentuk opini publik, pihak Angkatan Darat menerbitkan surat kabar harian Berita Yudha dengan tugas utama mengumandangkan Pacasilais dan perjuangan ABRI khususnya AD. Dikelompok mahasiswa menerbitkan Harian KAMI dalam memobilisir gerakan mereka yang terkenal dengan “Gerakan Ganyang PKI”.
Subandrio sebagai salah seorang yang berpengaruh dalam kabinet 100 menteri bentukan Sukarno, memahami betul betapa ampuhnya media massa dalam membentuk opini. Maka dari itu, pada akhir 1966 ia memerintahkan sepasukan Cakrabirawa ke beberapa kantor percetakan surat kabar di Jakarta dan melarang surat kabar tersebut dicetak.
Pada masa ini, ternyata pers di Indonesia tidak saja mengalami tekanan terhadap content media tetapi juga mengalami tekanan fisik berupa penyerangan dan intimidasi, sebagaimana halnya yang pernah dialami pers saat revolusi fisik oleh NICA dan Sekutu.
Kebebasan pers kembali ke alam demokrasi disaat Kolonel Soeharto “mengantongi” Surat Perintah 11 Maret 1966. Soeharto menyatakan partai Komunis sebagai partai terlarang di Indonesia. Langkah awal membersihkan orang-orang Komunis yang ada pada penerbitan pers. Salah satunya menutup Kantor Berita Antara selama 10 hari untuk membersihkan karyawan yang terlibat partai komunis.
Pers saat itu bahu-membahu dengan Angkatan Darat dan mahasiswa dalam membersihkan partai komunis di Indonesia. Era ini, terjadi ‘bulan madu’ antara pers dengan pemerintah dan tonggak sejarah kebebasan pers karena pemerintah memberikan kelonggaran dan toleransi terhadap kritikan dan melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers yang pada pasal 4 tegas mengatur bahwa terhadap pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan.
Pemerintah kala itu menitik-beratkan memperbaiki perekonomian Negara. Banyak modal asing masuk ke Indonesia. Efek negatifnya, terjadi korupsi dimana-mana. Banyak kebijakan pemerintah tidak populis. Beragam kritikan pun dialamatkan ke pemerintah. akhirnya, hubungan ini mulai meruncing.
Keberanian pers membongkar masalah sosial, masalah pemerintahan / kekuasaan dan korupsi di kalangan pemerintah, mengindikasikan bahwa pada era ini pers Indonesia menganut paham Libertarian, yang menempatkan manusia tidak targantung kepada kekuasaan dan tidak perlu dituntun dan diarahkan dalam mencari kebenaran, karena kebenaran itu sendiri merupakan hak azasi.
Akibatnya, pemerintah mereduksi kebebasan pers karena dianggap terlalu bebas. Maka, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 1970 yang mempertegas keberadaan Dewan Pers yang dibentuk berdasarkan PP No.5 Tahun 1967, sebagai konsekuensi diberlakukannya UU No.11 Tahun 1966. Salah satu wewenang Dewan Pers adalah Memberi pertimbangan kepada Badan / Instansi Pemerintah lainnya, mengenai kebijakan penindakan terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar UU No.11 Tahun 1966 Pasal 3 Ayat (3).
Hal ini menjadi kontroversial dalam implementasi kebebasan pers di Indonesia, karena saran dan pertimbangan Dewan Pers digunakan penguasa sebagai justifikasi terhadap berbagai tindakan yang dilakukan dalam menekan kebebasan pers di Indonesia. Dan ini mengingkari pasal 4 - UU No.11 Tahun1966 dan pasal 28 UUD 1945.
Pasca Malari , 1974 – 1998. Peristiwa Malari merupakan koreksi atas kebijakan politik dan ekonomi terhadap pemerintahan Orde Baru setelah 12 tahun berkuasa. Kebijakan pintu terbuka terhadap modal asing, yang saat itu didominasi oleh pengusaha Jepang, telah dapat meningkatkan ekonomi Indonesia setelah terpuruk lama.
Namun demikian, negatifnya membuka kesempatan bagi pejabat pemerintah melakukan korupsi dan menerima suap terutama dari pengusaha Jepang. Peristiwa Malari tanggal 14 – 15 Januari 1974, diawali dengan penolakan mahasiswa atas kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka.
Tentang hal ini pada tanggal 29 Desember 1973 surat kabar Pedoman sebagaimana yang dikutip Togi Simanjuntak dalam bukunya Wartawan Terpasung – Intervensi Negara di Dalam Tubuh PWI menyebutkan Kalau dewan-dewan mahasiswa menyatakan menolak kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka di Jakarta tanggal 14 sampai 17 Januari nanti, maka niscaya adalah satu alasan latar belakangnya ialah sikap ‘anti Jepang’ karena menurut hemat generasi muda, Jepang melalui investasi modalnya menguras kekayaan dan sumber alam negeri ini, selanjutnya membikin jiwa beberapa pejabat negara menjadi korup melalui pemberian.
Peristiwa itu dijadikan salah satu justifikasi oleh rezim Orde Baru untuk melakukan penekanan terhadap kebebasan pers di Indonesia. Hal ini dimanifestasikan dalam bentuk pembredelan surat kabar yang dikenal dengan ‘pembrangusan’, yaitu mencabut Surat Izin Terbit sekaligus Surat Izin Cetak yang dikeluarkan oleh Laksus Pangkopkamtib.
Surat kabar yang dibredel tidak hanya yang terbit di Ibukota Negara Jakarta, tetapi juga surat kabar penerbitan pers pada beberapa kota besar lainnya. Beberapa suratkabar yang dicabut SIT maupun SIC antara lain harian: Nusantara, Kami, Indonesia Raya, The Jakarta Times, Wenang, Pemuda Indonesia, Pedoman, dan majalah mingguan Ekspres, (Jakarta), harian Suluh Berita (Surabaya), Mingguan Mahasiswa Indonesia (Bandung), dan Indonesia Pos (Ujung Pandang).
Langkah penguasa selanjutnya adalah memangkas demokrasi secara luas, seperti memberlakukan wadah tunggal dan fusi terhadap beberapa parpol. Pemerintah mengeluarkan dua ketentuan berupa Keputusan Menpen tentang pengukuhan PWI dan SPS sebagai satu-satunya organisasi wartawan dan penerbit pers, serta pengukuhan Serikat Penerbit Surat Kabar sebagai satu-satunya organisasi percetakan pers.
Disisi lain, pemerintah juga masih membutuhkan dukungan media massa atau yang biasa disebut partisipasi aktif masyarakat daam pembangunan. Media berperan sebagai alat propaganda pemerintah. Hal itu dimanifestasikan dalam bentuk bantuan dan fasilitas dengan syarat tidak boleh menyinggung keluarga Soeharto, Dwi Fungsi ABRI dan SARA.
Kemudian, di awal tahun 1980-an, pasca Malari, pemerintah mengembangkan pers yang bebas dan bertanggung jawab yang diadopsi dari Social Responsibility Theory of The Press. Dinegara asalnya, teori ini muncul atas reaksi terhadap enam tugas pers dari The Libertarian Theori yang sangat bebas dan terlalu terbuka sehingga kebebasan melupakan etika. Hal ini dikemukakan Komisi Kebebasan Pers Amerika dalam A Free and Responsibility Press (1947) dan William E.Hocking dalam bukunya Freedom of the Press: A Framework of Principle (1947). Walaupun secara umum keduanya menerima keenam tugas pers menurut teori tradisional (Libertarian), akan tetapi teori ini tidak puas terhadap interpretasi para pemilik dan pelaksana media.
Penerapan teori ini memunculkan masalah. Ada perbedaan persepsi tentang bebas dan bertanggung jawab. Bebas sesuai kaidah jurnaliskah atau pemerintah. Begitu juga pengertian bertanggung jawab. Pers bertanggung jawab kepada siapa. Apakah kepada pembaca yang membutuhkan keterbukaan informasi atau pemerintah dengan pendekatan keamanan (security approach).
Tidak adanya batasan hal tersebut ternyata dimanfaatkan pemerintah untuk mengukung kemerdekaan pers. Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 yang mengatur tentang kehidupan pers, sebagai perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 1966 dan Undang-undang No.4 Tahun 1967.
Tindak lanjut dari undang-undang itu, pemerintah melalui Menpen juga mengeluarkan Peraturan Menpen Nomor 1 Tahun 1984 tentang Ketentuan Surat Izin Perusahaan Pers (SIUPP) yang menurut versi pemerintah merupakan penjabaran atas UU Nomor 21 tahun 1982. Aturan ini dimanifestasikan pembredelan atau istilah lain pencabutan SIUPP.
Cara lain yang dilakukan yakni melalui himbauan pejabat pemerintah atau lebih tepat dikatakan sebagai larangan untuk tidak memuat suatu fakta yang menurut pemerintah menimbulkan dampak terhadap keamanan, walaupun menurut kaidah jurnalistik mempunyai nilai berita yang tinggi. Himbauan dilakukan antara lain melalui chief editors meeting, atau melalui telpon oleh pejabat ke dewan redaksi. Hal terakhir ini oleh berbagai pihak dikatakan sebagai berkembangnya dengan subur ”budaya telpon” di kalangan pejabat
Beragam tekanan inilah akhirnya membawa kondisi yang sangat memprihatinkan bagi pers. Kontent berita menjadi mandul, media melakukan self censorship daripada mendapat teguran dari pemerintah. Pers kehilangan kemerdekaannya dan terkesan tiarap ditengah represipnya tindakan pemerintah.
Apalagi pasal 28 UUD 1945 ditafsirkan meyimpang dari esensi maksudnya dan pers yang telah berhasil dijinakkan penguasa. Kondisi ini menyebabkan pers tiarap, menggunakan jurnalisme kepiting, pemberitaan pers cenderung bergaya euphimisme dalam menyampaikan kritik, dan pers menjauhi “kawasan terbatas.” Kritik tidak sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat.
Pada rezim Orde Baru ini, tercatat beberapa surat kabar yang dicabut SIT-nya, yaitu Sinar Harapan,. Prioritas, dan majalah Tempo, Detik serta Editor. Periode ini juga melahirkan pers sebagai industri yang perkembanganya menjadi konglomerasi pers, akan tetapi dalam hal kebebasan mengemukakan pendapat sebagai manifestasi dari social control function, tidak diperoleh sama sekali.
e. Periode Reformasi (1998/1999) – sekarang
Era reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Kran kebebasan itu terbuka di zaman pemerintahan BJ. Habibie. Pemerintah mempermudah pengurusan SIUP. Sebelumnya, proses pengurusan SIUP ada 16 tahapan, pasca reformasi hanya 3 tahap saja. Bahkan berdasarkan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, SIUP dicabut dan pembredelan dilarang.
Gerakan reformasi 21 Mei 1998 merupaan titik balik bagi pemerintahan Orba dan memberikan angin segar bagi kebebasan pers. Peralihan kekuasaan dari Soeharto ke B.J. Habibie yang ditindak-lanjuti oleh Yunus Yoosfiah kala itu menj abat sebagai Menpen, mencabut Permenpen No.01/Per/Menpen/1984 Tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUP); dan SK. Menpen No.214A/Kep/Menpen/1984 Tentang Prosedur dan Persyaratan Untuk Mendapatkan SIUPP.
Dicabutnya ketentuan ini, membuka kran sebebas-bebasnya kepada masyarakat untuk membuat perusahaan pers dan melakukan kontrol sosial. Jumlah penerbitan pers meningkat dengan cepat, sampai 15 April 1999, Deppen sudah mengeluarkan 852 SIUPP baru. Pada akhir Tahun 2001 penerbitan pers di Indonesia diperkirakan sudah mencapai 1800 - 2000. Wilayah penerbitan pers juga semakin meluas, tidak hanya terpusat di ibukota negara dan kota propinsi, tetapi sudah sampai ke kota kabupaten, bahkan kota kecamatan juga memiliki surat kabar.
Di bidang kontent media, kebebasan pers dalam kondisi eforia, yang ditunjukkan dalam isi, gaya pemberitaan serta cara-cara memperoleh informasi yang berbeda dengan masa Orde Baru. Berbagai batas wilayah pemberitaan, yang masa Orde Baru dianggap tabu dan berbahaya secara politik, kini seolah-olah sirna diterpa angin kebebasan.
Bak lepas kendali begitulah eforia pers saat itu. Bahkan tidak sedikit pula pengamat mengeluh bahwa pers kini sudah menceritakan apa saja kecuali yang benar. Bila pada masa Orde Baru pers tidak bebas dan bertanggungjawab, pers Orde Habibie adalah pers yang bebas tapi tidak bertanggung jawab.11
Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap negatif. Di satu sisi, kebebasan agar leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan pendidikan kepada masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral.
Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi kebablasan pers. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan berbau seks. Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan. Terkadang informasi yang disajikan kerap melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain.
Selain itu kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.
Untuk lebih jelasnya, terkait peran, fungsi, hak dan kewajiban menjalankan kebebasan pers yang bebas dan bertanggun jawab di era reformasi, akan penulis uraikan pada sub bab berikut.
C. Implikasi yuridis berlakunya UU No. 40 / 1999 terhadap peran, fungsi, hak dan kewajiban pers dalam menjalankan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab.
Bicara periode sekarang, meskipun secara konstitusi kebebasan pers tegas diakui Negara. Bahkan secara kelembagaan, telah dibentuknya lembaga independen bernama dewan pers berdasarkan UU No. 40 / 1999 tentang Pers yang salah satu fungsinya melindungi kemerdekaan pers dari tangan pihak lain. Namun nyatanya, kebebasan itu masih mengalami penjajahan. Dan itu dilakukan oleh pelaku pers itu sendiri.
Hal ini terjadi lantaran dengan tidak adanya aturan SIUP dan pembrendelan sebagaimana telah dihapusnya UU No. 11 Tahun 1966, UU No. 4 Tahun 1967 dan UU No. 1 Tahun 1982. Sehingga membuka kran seluas-luasnya bagi masyarakat untuk melahirkan perusahaan pers berdasarkan Pasal 3 Ayat (2) undang-undang Pers. Sesungguhnya ini positif dan bentuk nyata dari kebebasan itu.
Namun, juga melahirkan perusahaan-perusahaan pers yang secara ekonomi tidak mampu membiaya kegiatan jurnalisnya sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Dewan Pers No. 4 / Peraturan – DP / 2008 tentang Standar Perusahaan Pers angka 11 dan 12. Dan ini juga berimbas pada tidak terjaminnya kesejahteraan wartawan yang bernaung dibawahnya.
Sehingga, tugas jurnalis yang semestinya menjunjung tinggi etika profesi sesuai Pasal 7 Ayat (2) UU Pers kerap terabaikan. Biasanya ini dilakukan wartawan-wartawan tanpa surat kabar atau wartawan bodrex. Secara tidak langsung, keberadaan perusahaan pers yang tidak bertanggung jawab itu telah merusak kebebasan yang diberikan konstitusi.
Padahal menurut Jacoeb Oetama, tokoh pers nasional, dalam Buku Saku Wartawan, Lembaga Pers DR. Soetomo, Cetakan ke 2, Juli 2010 Hal vii, mengatakan kebebasan pers akan lebih bermanfaat jika disertai peningkatan professional competence, termasuk didalamnya professional ethic.
Pada pasal 2 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan bahwa pers berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Pasal 3 Ayat (1) fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Ayat (2) menyebutkan bahwa pers dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Untuk menjalankan fungsinya, pers diberi jaminan perlindungan hukum sesuai dengan Pasal 4 ayat (1), (2), (3) dan (4) undang-undang yang sama.
Disisi lain, tidak sedikit pula insan pers mendapatkan kekerasan fisik yang berujung meninggal dunia saat ini. Contohnya, baru-baru ini, di Palembang, Sumatera Selatan. Wartawan Sriwijaya Post, Arsep Pajario, pada 17 September 2010 mati dibunuh. Kemudian di Tuol Sulawesi Tenggara, Ridwan Salumun - reporter SUN TV menjadi korban kekerasan masa disaat meliput kerusuhan di wilayah itu.
Peristiwa yang sama juga dialami wartawan Radar Bali, Anak Agung (A.A.) Gde Bagus Narendra Prabangsa, wartawan Radar Bali (Jawa Pos Group. Ia mati dibunuh lantaran mengungkapkan dugaan kasus korupsi yang dilakukan seorang anggota dewan setempat. Begitu juga dengan Muhammad Syaifullah, wartawan Kompas yang juga kepala biro Kompas di Kalimantan. Diduga mati karena tulisannya terkait persoalan lingkungan.
Selain dibunuh, ada juga mati dalam keadaan wajar. Contohnya Lukmanul Hakim dari Republika meninggal ketika sedang meliput SEA Games di Laos. Vincentia Hanni (Kompas) meninggal karena kanker. Kemudian Yan Arsil (RRI) dan Agus Sofyan (Jurnal Nasional) juga berpulang. Ketiganya mati dalam bertugas. Dan masih banyak lagi.
Jadi, kemerdekaan pers guna mewujudkan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 terjamin dan dilindungi hukum, nyatanya masih kabur.