Pendahuluan
A. Latar Belakang
1. Sejarah Pers
Sekitar 3.400 tahun yang lalu, di Mesir, Kaisar Amenhotep III (1405 – 1367 SM) merobak sistem pemerintahan, diantaranya membuka cara baru jalur komunikasi. Kaisar yang naik tahta diusia 15 tahun itu, mengutus ratusan “wartawan” membawa “surat berita” untuk seluruh pejabat ke semua Provinsi . Tindakan ini dianggap cikal bakal lahirnya jurnalistik.
Lislie G. Moeller dari Universitas Lowa Amerika Serikat dalam tulisan ensiklopedi berjudul The New Book of Knowledge, meskipun tidak menjelaskan secara rinci perihal diatas, akan tetapi, adanya berita tertulis yang disampaikan oleh utusan raja kepada pejabatnya dianggap ada kesamaan dengan profesi wartawan.
“…….., mungkin karena ada berita tertulis yang disampaikan oleh utusan raja kepada para pejabat diseluruh negeri. Jadi, ini ada kesamaan dengan profesi wartawan sekarang dan ini terjadi dinegara yang memiliki peradaban tinggi dimasa silam yang sangat jauh.”1
Pada masa Sriwijaya dan Majapahit, utusan itu disebut penyeranta. Kerjanya berkeliling menyampaikan pengumuman dari raja kepada khalayak ramai. Mereka berjalan kaki atau berkuda mendatangi tempat ramai atau mengumpulkan orang dengan memukul gong.
Sementara, pada kekaisaran Romawi, 2500 tahun lalu, setiap peristiwa penting sehari-hari seperti penobatan, kunjungan tamu agung dipublikasikan di papan pengumuman. Maka, munculah istilah jurnalis atau diurna yang artinya sehari-hari. Istilah lainnya, acta diurna, acta populi atau acta publica.
Senat pun demikian. Mereka mempublikasikan aktivitasnya, antara lain mengenai perundang-undangan atau peraturan. Kegiatan ini disebut acta senatus atau commentarii senates yang diprakarsai senator Tiberius pada tahun 1 masehi.
Kala itu, ada yang bekerja sebagai penyalin pengumuman. Salinan tersebut dijual kepada mereka yang enggan berdesak-desakan di depan papan pengumuman atau mereka yang tempat tinggalnya jauh dari lokasi. Namun, cara ini berbeda dengan Amenhotep III dan penyeranta.
Aktifitas tersebut terus menerus berjalan, seriring perkembangan, mengalami berbagai perubahan. Mulai dari istilah, praktek dan bentuk penyajiannya. Selain istilah jurnalis, ada juga yang menyebut wartawan, reporter dan pers.
Menurut P. J. Zoetmulder dalam bukunya, Kamus Jawa Kuno – Indonesia , Istilah wartawan, berasal dari kata sanskerta, wrtta. Artinya digerakan, terjadi, lalu, lewat, soal, peristiwa, tindakan, tingkah laku, atau bisa juga berarti berita. Istilah wartawan digunakan pada masa kemerdekaan sebagai pengganti kata jurnalis pada masa zaman Belanda.2
Sementara, istilah reporter diambil dari dunia birokrat pada abad 15. Pada waktu itu, para birokrat patut dijadikan tauladan lantaran tulisan mereka itu rapi, jelas, bagus, jujur dan objektif. Penggunaan istilah itu dengan maksud agar para wartawan bekerja seperti birokrat tersebut.
Sedangkan istilah pers (bahasan belanda) dan press (bahasa inggris) muncul setelah mesin cetak ditemukan pada tahun 1450 oleh Johannes Gutenberg, warga Sungai Rhein, Kota Mainz, Jerman. Pria itu merintis pembuatan mesin cetak sejak 10 tahun sebelumnya. Lamanya pembuatan mesin cetak itu lantaran sulitnya mendapat jenis kayu yang tidak susah digunakan untuk mengukir huruf dan kuat untuk dipakai mencetak banyak dan tahan ditekan berulang-ulang. Pers atau press atinya ditekan.
Awalnya mesin cetak sangat sederhana dan hanya digunakan untuk membuat selebaran terkait suatu peristiwa. Itu pun disebarkan dalam bentuk panflet ke kedai kopi. Penyebaran ke café, muncul, setelah Columbus menemukan India Barat, 1492. Dalam pelayarannya, mereka mencari emas, permata dan rempah-rempah ke Asia. Sejak itu, Eropa berbondong-bondong mengikutinya sehingga pelabuhan ramai. Disitulah mereka bercerita dan saling bertukar informasi.3
Lama – kelamaan, mesin cetak makin canggih dan dapat mencetak banyak, misalnya mesin cetak menggunakan timah hingga cetak off set. Makanya, baru 169 tahun, sejak mesin cetak ditemukan, muncullah surat kabar pertama di dunia. Namanya Avisa Relation Oder Zeitung, di Augsburg Jerman, yang secara rutin terbit mingguan sejak 15 Januari 1609. Sementara koran yang terbit tiap harinya yakni Daily Courant di London 1702. Meskipun demikian, sebelumnya banyak juga Koran yang sudah terbit namun hilang timbul.
Namun kehadiran pers, ibaratkan “nyamuk yang menganggu,” khususnya bagi penguasa. Lembaga jurnalistik itu dianggap mampu mempengaruhi opini publik. Hitam kata pers, maka hitam pula anggapan masyarakat terhadap pemerintah. Begitu juga sebaliknya. Contohnya saja, bila pers memberitakan bahwa pemerintah korup, tidak pro rakyat, dll. Maka terbentuklah opini demikian. Padahal bisa saja, berita benar atau sebaliknya. Begitu besarnya pengaruh pers dalam menggiring opini publik.
Mengantisipasi hal tersebut, Kerajaan Inggris pada abad 16 memberlakukan hukum yang keras terhadap pers. Setiap berita yang hendak diterbitkan, wajib disensor terlebih dahulu. Bahkan, agar mudah dikontrol pemerintah, kantor penerbitannya wajib dekat istana. Parahnya lagi, bila pemerintah menilai pers melakukan kesalahan maka hukumannya adalah pancung bagi pimpinan redaksinya. Hukuman teringan adalah potong lidah. Sistem ini dikenal dengan istilah autoritarian.
Di Amerika, keberadaan pers pun mendapat tekanan dari pemerintah. pada tahun 1690, koran pertama bernama Public Onccurrences Both Foreign and Domestic yang didirikan Benjamin Harris baru sekali terbit langsung dibredel oleh Gubernur Massachussets lantaran dinilai kontra pemerintah.
Selain autoritarian, ada juga totalitarian. Artinya, sistem ini lebih kepada pers sebagai alat propaganda pemerintah. Dalam sistem ini, informasi dimonopoli oleh pemerintah. lembaga pers berada dibawah kekuasaan pemerintah dan tidak ada pers swasta. Sistem ini berlaku di Uni Soviet.
Kemudian libertarian. Sistem ini lahir setelah revolusi Prancis dan kemerdekaan Amerika Serikat lebih dari 200 tahun yang lalu. Dengan sistem ini, kebebasan pers dijunjung tinggi. Namun dalam perjalannya, pers akhirnya dikuasai oleh para pengusaha. Pers telah berkembang menjadi industri. Koran dan majalah dicetak dengan percetakan canggih dan itu butuh modal besar. Karena penguasa memiliki modal, maka lama-kelamaan, pengusahan menjadi penguasa pers.
Lalu, timbul persoalan. Kepentingan pengusahan kerap bersebarangan dengan kepentingan masyarakat. Kemanakah pers harus berpihak. Munculah sistem baru, yakni sistem tanggung jawab sosial. Disinilah pers harus bersandar kepada kepentingan umum.
Untuk itu, dibutuhkan kemerdekaan pers. Pasalnya, kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat terjamin.
Kemerdekaan menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai hati nurani merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki. Ini diperlukan untuk menegakan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun pers sebagai wahana komunikasi, penyebar informasi dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranannya dengan cara-cara professional.
Seperti yang disampaikan Jacoeb Oetama, tokoh pers nasional, dalam Buku Saku Wartawan, Lembaga Pers DR. Soetomo, Cetakan ke 2, Juli 2010 Hal vii, bahwa kebebasan pers akan lebih bermanfaat jika disertai peningkatan professional competence, termasuk didalamnya professional ethic.
Di Indonesia, kemerdakaan pers sesungguhnya telah diatur di dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945. Namun, sejauhman kemerdekaan itu dilindungi apakah kemerdekaan itu berjalan sebagaimana mestinya. Hal inilah yang akan penulisan uraikan dalam bab berikutnya.