Hukum Perkelahian Sepak Bola

Wednesday, December 29, 2010

Dari :  Mas Sule
Pertanyaan:

Bagaimana jika dalam suatu pertandingan sepakbola terjadi perkelahian,apakah perbuatan tersebut dapat dipidana ???

Jawaban:

Mas Sule yang budiman,
Berikut kami sajikan jawaban yang diberikan oleh Sdr. CSA Teddy Lesmana atas pertanyaan Saudara:

A.  ANALISA
Penerapan hukum pidana atau pemidanaan terhadap pemain sepakbola yang berkelahi di lapangan pernah terjadi di Indonesia. Bahkan kasus seperti ini sudah banyak terjadi di beberapa negara. Alasan mendasar pemidanaan ini adalah bahwa pemain sepakbola, dan atlet pada umumnya, memang tidak boleh kebal dari hukum atas tindakan berlebihan mereka saat berada dalam satu arena pertandingan.

Kasus yang pernah terjadi di Indonesia yaitu pada tahun 2009 dimana ada pemain yang diduga telah melanggar Pasal 351 dan 352 KUHP. Dua pasal tersebut mengatur soal penganiayaan yang ancaman hukumannya paling lama dua tahun delapan bulan (Pasal 351) dan tiga bulan penjara (Pasal 352 KUHP). Dalam pasal yang disebutkan terakhir itu, ancamannya cukup ringan, karena akibat yang timbul dari penganiayaan tersebut tidak menghalangi untuk melakukan pekerjaan. 

Namun apabila merujuk pada Pedoman Dasar PSSI 2007, dalam Pasal 55 (1), pedoman tersebut ditegaskan setiap perselisihan harus diserahkan ke Badan Yurisdiksi (pengadilan) yang dibentuk PSSI atau FIFA. Selanjutnya dalam Pasal 56 (1) disebutkan, semua perselisihan diselesaikan di dalam organisasi PSSI sesuai dengan tingkatannya.

Adanya versi hukum yang berbeda tersebut tentu menimbulkan perdebatan baik dikalangan praktisi hukum, pengamat sepak bola, pengurus PSSI sendiri bahkan di masyarakat luas. Hal yang demikian itu dalam istilah hukum disebut dengan antinomi hukum atau contradictio interminis (konflik norma). 

Lantas apakah Pedoman Dasar PSSI sebagai hukum yang khusus (Lex Specialis) dapat begitu saja mengesampingkan KUHP sebagai hukum yang bersifat lebih umum (Lex Generalis)? Atau sebaliknya, KUHP sebagai ketentuan hukum yang lebih tinggi (Lex Superior) dapat begitu saja mengesampingkan Pedoman Dasar PSSI sebagai ketentuan hukum yang lebih rendah (Lex Imperior) ?
  1. Konflik Norma
Dalam ajaran hukum, apabila terjadi konflik norma seperti disebutkan di atas maka haruslah dilakukan preferensi hukum (Philipus M. Hadjon. 2005: 31). Preferensi hukum terkait dengan pertentangan antara KUHP dengan Pedoman Dasar PSSI di atas dapat dilakukan dengan:
  • Pengingkaran: melalui metode ini dapatlah diambil kesimpulan bahwa yang harus diterapkan adalah Pedoman Dasar PSSI dengan mengingkari bahwa antara KUHP dan Pedoman Dasar PSSI mengatur hal yang berbeda dalam ruang dan sifat yang berbeda 
  • Reinterpretasi: apabila yang digunakan adalah metode reinterpretasi, maka perlu dilakukan interpretasi kembali terhadap norma yang utama (dalam hal ini KUHP) dengan cara yang lebih fleksibel. Kalaulah metode ini yang dipakai, tentu hasil interpretasi akan memilih Pedoman Dasar PSSI sebagai pilihan hukum dengan alasan bahwa perbuatan yang dilakukan berada di bawah ‘pengampuan’ PSSI.
  • Pembatalan : kalaulah pembatalan dipilih sebagai metode penyelesaian konflik norma tersebut. Maka hukum yang lebih tinggi kedudukan dan lebih luas keberlakuannya yang dipilih, dalam hal ini tentu KUHP sebagai ketentuan Hukum Pidana Nasional-lah yang dipilih.
  1. Melihat Figur Hukum
Metode ini pada prinsifnya mengajarkan bahwa, bilamana ada suatu ketentuan hukum yang berlaku dalam wilayah yurisdiksi khusus, namun mengatur tentang hal yang telah diatur sebelumnya dalam ketentuan yang lebih tinggi, yang keberlakuannya bersifat umum termasuk wilayah tersebut, maka ketentuan hukum tersebut tidak boleeh bertentangan dengan ketentuaan hukum di atasnya. Jika hal itu terjadi, maka ketentuan hukum yang lebih tinggi lah yang diterapkan.
Sehingga dengan melihat kepada figur hukumnya, maka perkelahian antar pemain di lapangan (saat pertandingan berlangsung) haruslah tunduk kepada ketentuan yang di atur dalam KUHP. Akan tetapi, jika ketentuan khusus (dalam hal ini Pedoman Dasar PSSI) mengambil pola serta aturan penyelesaian perkara tersebut tidak bertentangan dengan KUHP, maka kedua aturan tersebut dapat secara bersamaan di berlakukan. Akan tetapi dalam hal ini, Pedoman Dasar PSSI tidak mengikuti pola serta aturan sebagaimana di anut di dalam KUHP. Sehingga KUHP-lah yang seharusnya di terapkan.

B.  KESIMPULAN
1.  Dari hasil preferensi hukum di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa; Pedoman Dasar PSSI merupakan hukum yang legitimasinya lebih kuat untuk menyelesaikan perkelahian antar pemain di dalam lapangan (saat berlangsungnya pertandingan). Akan tetapi, apabila melihat kepada figur hukumnya, maka KUHP merupakan aturan pidana yang seharusnya di berlakukan.
2.  Pendapat Akhir:
Beberapa asosiasi olah raga dunia, diantaranya FIFA dan UEFA telah membangun system peradilan yang mandiri, Hal tersebut tentu lebih baik mengingat dalam dunia olahraga sendiri sudah ada aturan asosiasi mengenai kedisiplinan. Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah komitmen dan konsistensi asosiasi dalam melaksanakan aturan tersebut. Tentu diperlukan standard dan aturan yang jelas serta sanksi yang tidak kalah tegasnya untuk menghukum pemain yang melanggar peraturan disiplin tersebut.
Dengan lemahnya penegakan kedisiplinan dalam organisasi sepakbola Indonesia, maka tentu saja KUHP menjadi ‘halal’ untuk di berlakukan.
Namun, apabila perbuatan yang justru menciderai semangat spotifitas tersebut telah mendapatkan pengaturannya sendiri yang lebih tegas, serta ditegakkan dengan konsisten, maka KUHP akan segera pergi menjauhi ranah sepak bola khususnya, umumnya olah raga.
Bila tidak, Hukum tetaplah hukum, dan atlet tetaplah subyek hukum, maka tidak ada alasan bagi KUHP untuk ‘berbaik hati’ kepada mereka.

Dijawab oleh
CSA Teddy Lesmana
***
Terimakasih atas pertanyaannya Mas Sule, semoga dapat menjawab.
(Tim_JLC)